Pendidikan seharusnya menjadi landasan penting bagi masa depan setiap individu, namun kenyataannya, sistem pendidikan di Indonesia sering kali dinilai gagal mencapai tujuan ini. Sekolah-sekolah sering dikritik karena lebih banyak tekanan yang dipenuhi dan hafalan daripada mendorong pengembangan potensi unik setiap siswa.Â
Pendidikan, yang seharusnya mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan dunia, justru sering dianggap menghambat bakat dan minat alami para siswa. Sistem pendidikan saat ini sering kali mengabaikan perbedaan individu. Setiap anak memiliki bakat dan minat yang unik, namun mereka dipaksa mengikuti standar yang seragam. Contohnya, seorang anak yang berbakat dalam olahraga atau seni sering kali harus fokus pada mata pelajaran seperti matematika atau bahasa Indonesia, yang mungkin tidak menarik bagi mereka. Akibatnya, potensi alami mereka terabaikan, dan kesempatan untuk mengembangkan keahlian di bidang yang mereka minati hilang.
Pendidikan yang tidak sesuai dengan minat dan bakat anak dapat berdampak buruk di masa depan mereka. Anak-anak yang dipaksa mempelajari materi yang tidak relevan atau tidak menarik bagi mereka cenderung merasa tidak termotivasi dan bahkan trauma terhadap proses belajar. Hal ini tercermin dalam fenomena banyaknya siswa yang lebih menantikan jam kosong atau liburan daripada waktu belajar.Â
Kritik utama terhadap sistem pendidikan adalah standarisasi nilai dan kurikulum yang kaku. Sistem ini membuat siswa yang seharusnya bisa berkembang dalam bidang tertentu menjadi tertinggal karena tidak mampu memenuhi standar di bidang lain. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan dan kesuksesan pribadi malah menjadi alat yang membuat banyak siswa merasa gagal dan tidak percaya diri.Â
Selain masalah dalam sistem pendidikan, fenomena sosial seperti kecanduan olahraga juga mencerminkan keutuhan dalam masyarakat. Kecanduan terhadap sepak bola, misalnya, sering kali dikaitkan dengan tingkat stres yang tinggi. Di negara-negara Barat, Kecanduan ini lebih sering terjadi pada orang dewasa yang stres karena pekerjaan, sementara di Indonesia, remaja lebih sering mengalami kecanduan ini karena tekanan dari sistem pendidikan.Â
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat kita mungkin mengalami tekanan berlebihan dari berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan pekerjaan. Remaja yang seharusnya menikmati masa muda malah terjebak dalam sistem yang membuat mereka merasa stres dan kehilangan arah masa depan.Â
Lebih jauh lagi, institusi pendidikan keagamaan seperti pesantren juga tidak luput dari kritik. Beberapa pesantren diketahui terlibat dalam kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya, sebuah laporan dari Komnas Perempuan pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 300 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pesantren selama periode lima tahun terakhir.Â
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang pengawasan dan standar yang diterapkan di lembaga-lembaga tersebut. Pesantren, yang seharusnya menjadi tempat pendidikan moral dan spiritual, sering kali menjadi korban dari ketidakberesan sistem yang ada. Misalnya, kasus kekerasan yang terjadi di sebuah pesantren di Jawa Barat pada tahun 2021 menunjukkan adanya kelemahan dalam pengawasan dan penegakan hukum di lingkungan pesantren. Pesantren adalah produk budaya yang sah untuk dikritik dan diperbaiki. Kesalahan dalam sistem ini tidak boleh dibiarkan hanya karena dianggap sakral.
Mengkritik pesantren bukan berarti mengkritik ajaran agama, tetapi mengkritik bagaimana lembaga ini dikelola dan berfungsi dalam masyarakat. Reformasi pengelolaan pesantren, termasuk penerapan standar pengawasan yang lebih ketat dan transparan, sangat diperlukan untuk memastikan bahwa lingkungan pendidikan ini benar-benar aman dan mendukung perkembangan moral serta spiritual para santri.
Dalam konteks yang lebih luas, masyarakat sering kali memilih untuk tidak menyadari atau tidak peduli terhadap kesalahan yang ada. Menjadi berkesadaran dan pintar membutuhkan keberanian dan usaha yang besar. Banyak orang memilih untuk tetap berada di zona nyaman mereka, mengikuti arus tanpa berusaha memahami atau mengkritisi keadaan sekitar. Kebodohan yang disengaja ini memudahkan penyebaran gosip dan fitnah.Â
Orang yang merasa kalah atau terpinggirkan sering kali menggunakan gosip sebagai mekanisme pertahanan diri untuk menjatuhkan orang lain dan tetap berada dalam kelompok mereka. Fenomena ini mencerminkan ketakutan akan isolasi dan keinginan kuat untuk tetap menjadi bagian dari kelompok, meskipun harus mengorbankan kebenaran dan keadilan. Untuk mencapai perubahan yang signifikan, kritik dan evaluasi harus menjadi bagian integral dari proses pendidikan dan sosial. Memahami dan mengakui kesalahan adalah langkah pertama menuju perbaikan.Â