Saat kita membicarakan aturan di sekolah, seringkali kita menemui kebingungan terhadap beberapa kebijakan yang terasa agak aneh atau tidak sesuai dengan logika umum. Salah satu contohnya adalah larangan terhadap rambut gondrong bagi siswa. Pertanyaan pun muncul, mengapa aturan semacam ini masih ada, padahal tidak ada korelasi yang jelas antara gaya rambut dengan kualitas akademik atau perilaku siswa?
Sejarah mencatat bahwa larangan rambut gondrong bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan, aturan semacam ini memiliki akar yang dalam, terutama di Indonesia. Pada akhir tahun 1960-an, razia rambut gondrong di Jakarta menjadi perhatian utama, di mana laki-laki dengan rambut panjang diwajibkan untuk memotongnya. Alasannya, rambut gondrong dianggap sebagai simbol gaya hidup urakan dan dianggap tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang menekankan pada kedisiplinan dan kerapian.
Namun, apakah aturan semacam ini masih relevan di era modern ini? Banyak pihak mulai mempertanyakan validitasnya. Sebagai contoh, dalam studi yang dilakukan oleh  cenderung dipelihara oleh guru-guru di sekolah. Mereka cenderung mengaitkan rambut panjang dengan kurangnya disiplin dan keteraturan, tanpa mempertimbangkan aspek lain dari kepribadian siswa.
Selain itu, banyak juga pendapat dari kalangan mahasiswa dan aktivis yang menolak pandangan stereotip tersebut. Mereka melihat larangan terhadap rambut gondrong sebagai bentuk penindasan terhadap ekspresi diri dan kebebasan berpenampilan individu. Aktivis seperti Arif Budiman bahkan menyoroti bahwa masalah yang sebenarnya adalah stigma terhadap anak muda dari kalangan atas perkotaan yang dianggap memiliki akses lebih leluasa terhadap budaya asing.
Hal yang perlu dipertanyakan adalah apakah aturan semacam larangan rambut gondrong ini efektif dalam mencapai tujuan pendidikan. Banyak yang berpendapat bahwa hukuman atau sanksi terhadap pelanggaran aturan tersebut cenderung hanya bersifat jangka pendek, tanpa memberikan dampak yang signifikan dalam pembentukan perilaku yang baik pada murid. Bahkan, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Susanto, menyatakan bahwa hukuman semacam itu lebih bersifat menghukum daripada mendidik.
Oleh karena itu, mungkin sudah saatnya bagi pihak sekolah untuk lebih berorientasi kepada murid sebagai subjek pembelajaran, bukan hanya sebagai objek yang harus dipatuhi perintah. Guru harus menjadi rekan diskusi yang memfasilitasi perkembangan siswa, bukan sekadar pemberi perintah. Hal ini penting agar aturan-aturan yang diberlakukan di sekolah lebih sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.
Dalam menyikapi masalah ini, langkah-langkah konkret perlu diambil. Diskusi terbuka antara pihak sekolah, murid, dan orang tua menjadi salah satu solusi yang baik. Melalui dialog yang konstruktif, kesalahpahaman dan stereotip terhadap rambut gondrong bisa dipecahkan, dan aturan yang lebih inklusif dan berbasis pada pendidikan yang bermakna dapat dirumuskan.
Dalam akhirnya, larangan rambut gondrong di sekolah bukanlah sekadar masalah gaya atau penampilan semata. Ini adalah cermin dari bagaimana kita memperlakukan kebebasan individu, ekspresi diri, dan nilai-nilai pendidikan yang sesungguhnya. Maka, mari kita bersama-sama memperjuangkan pendidikan yang inklusif, menghormati keberagaman, dan membebaskan siswa dari belenggu-belenggu stereotip dan diskriminasi.
Dalam konteks larangan rambut gondrong di sekolah, tidak ada hukum yang secara khusus mengatur hal tersebut di tingkat nasional dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia. Namun, aturan ini mungkin diatur dalam peraturan sekolah atau kebijakan internal yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan. Pada umumnya, kebijakan tersebut berdasarkan pada kewenangan kepala sekolah atau dewan sekolah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar dan Menengah.