Undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 Tahun 2003, Bab I Pasal 1 ayat 13, menyebutkan bahwa "Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan." Selanjutnya pasal 27 ayat 1 mempertegas bahwa kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Berbasis dari pasal tersebut saya menyatakan bahwa pendidikan informal adalah penting bagi setiap anak. Lebih dari itu, pendidikan adalah kunci dari segala permasalahan.
Sering kali saya melihat anak-anak melakukan tindak kekerasan, baik dengan sesamanya maupun yang tidak setingkat dengannya. Hal itu merupakan salah satu dampak yang timbul akibat kurangnya pendidikan pada diri mereka.
Melihat kejadian tersebut membuat saya prihatin dan bertanya-tanya. Pendidikan seperti apa yang telah mereka dapat?
Saya tak ingin lagi membahas lebih dalam permasalahan pendidikan di sekolah formal, "Sebutkan lima sila yang ada dalam Pancasila?", "Apa pengertian dari Pancasila?" Soal semacam itu sudah mencerminkan sifat pendidikan yang hanya berorientasi pada hafalan.
Sekolah tak lagi mengasah pemikiran kritis anak. Bahkan sekolah hanya menjadi tempat seseorang mencapai gelar yang diinginkan. Saya tidak yakin mereka yang telah lulus paham dengan apa yang telah mereka pelajari. Maka ini yang saya maksud, masalah kurangnya pendidikan atas pendidikan itu sendiri terjadi di negeri ini.
Anak didik di sekolah bagaikan robot, daya kritis tidak diberi ruang, pertanyaan-pertanyaan penting yang diperlukan manusia untuk bernalar dimatikan sedari muda dan bahkan, mata ajar kesenian yang diadakan untuk merangsang daya kreasi juga distandarkan dan dihafal.
Hemat saya, pendidikan yang benar adalah pendidikan yang menambah pengetahuan dan pemahaman. Bukan sekadar hafalan yang sifatnya terpaksa karena ujian sudah di depan mata.
Saya berharap pada alam keluarga yang menjadi pendidikan pertama bagi anak, yang mana sebaiknya keluarga mengikuti sifat-sifat bawaan anak (chils's nature) dalam mendidik. Keluarga memberikan kesempatan bagi anak untuk melakukan sesuatu yang bermula pada "sense-impression" menuju ide-ide yang abstrak.
Tokoh pendidikan asal Swiss, J.H. Pestolozzi mengatakan bahwa segala bentuk pendidikan berdasarkan pengaruh panca indera dan melalui pengalaman serta potensi-potensi yang dimiliki penting untuk dikembangkan.
Kesempatan untuk anak menemukan potensi dirinya terjadi pada periode keemasannya (golden age) yakni di usia 0-8 tahun. Masa emas ini hanya datang sekali, untuk itu pendidikan untuk anak dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.