Mohon tunggu...
Aliya MS
Aliya MS Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Ad Maiora Natus Sum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Putusan Bebas Ronald Tannur, Pertaruhan Martabat dan Integritas Hakim

28 Agustus 2024   10:10 Diperbarui: 28 Agustus 2024   10:30 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setahun setelah ramainya kasus penganiayaan hingga menyebabkan kematian yang dilakukan oleh Gregorius Ronald Tannur, publik kembali dihebohkan dengan keputusan hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memberikan putusan bebas kepada pelaku penganiayaan tersebut. Sebelummnya,  Ronald Tannur telah didakwa terkait pasal pembunuhan dan penganiayaan, di antaranya Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang Penganiayaan atau ketiga Pasal 359 KUHP tentang Kelalaian yang Menyebabkan Orang Lain Mati dan Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan. Pada tanggal 24 Juli 2024, hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik dan angota majelisnya membebaskan Ronald dari segala dakwaan dengan menyatakan bahwa dakwaan pembunuhan, penganiayaan, dan kelalaian yang menghilangkan nyawa orang, sebagaimana yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum, tidak terbukti.

Keputusan tersebut tentu memicu protes dari keluarga korban dan berbagai pihak lainnya. Hakim dianggap tidak melihat kasus terhadap terdakwa secara 'holistik', dimana hanya menilai peristiwa secara sepotong-potong. Salah satu pertimbangan hakim dalam membebaskan terdakwa adalah menganggap bahwa kematian korban dianggap karena pengaruh alkohol, mengingat sebelum kejadian tersebut korban dan terdakwa sempat pergi karaoke di salah satu club di Kota Surabaya. Ronald Tannur dinyatakan bebas oleh majelis hakim dari semua tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan juga dibebaskan dari tahanan setelah putusan dibacakan. Atas putusan tersebut, Kejaksaan Agung memutuskan untuk mengajukan kasasi.

Atas kontroversi terhadap vonis bebas Ronald Tannur oleh hakim, Komisi Yudisial RI menggunakan hak inisiatifnya untuk memeriksa majelis hakim PN Surabaya. Perlu diketahui bahwasanya Komisi Yudisial dalam tugasnya memiliki kewenangan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa:
1.dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas diantaranya untuk:
a.Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
b.Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
c.Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
d.Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
e.Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

Selain itu, dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut, Komisi Yudisial juga dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyandapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran kode etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim. Pada kasus ini, keluarga dari pihak korban diketahui melaporkan hakim-hakim PN Surabaya tersebut ke Komisi Yudisial. Alasan yang melatarbelakangi pelaporan tersebut dikarenakan terdapat perbedaan fakta-fakta hukum dan pertimbangan hukum terkait unsur-unsur pasal dakwaan dan penyebab asli dsari kematian korban yang dibaca saat putusan persidangan. Selepas penyelidikan, pada tanggal 28 Agustus 2024 kemarin, Komisi Yudisial melakukan rapat dengan Komisi III DPR RI. Dalam rapat tersebut, KY memutuskan sanksi bagi majelis hakim PN Surabaya yang membebaskan Ronald Tannur tersebut dengan pemberhentian profesi hakim. Bersamaan dengan penjatuhan sanksi, KY juga melakukan upaya pengusulan dibentuknya majelis kehormatan hakim ke Mahkamah Agung. Nantinya, MKH tersebut akan menjadi forum pembelaan bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan terbukti melanggar kode etik kehakiman.

Menilik dari keputusan vonis bebas Ronald Tannur, hakim dalam menjalankan amanah priofesinya juga sudah sepatutnya mengedepankan prinsip integritas sebagai bentuk kepatuhan pada kode etik profesi hakim. Integritas diwujudkan dengan sikap setia serta berpegang teguh pada nilai ataupun norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Dengan integritas yang tinggi, hakim akan terdorong untuk mengedepankan hati nuraninya dalam menegakkan keadilan dan memiliki keberanian untuk menolak godaan serta segala bentuk intervensi. Hakim PN Surabaya yang mengadili kasus ini diketahui dalam pembacaan putusan tidak pernah mempertimbangkan maupun memberikan penilaian tentang barang bukti berupa rekaman CCTV pada saat korban dianiaya oleh Ronald Tannur di lokasi kejadian. Sehingga dalam kasus ini Hakim termasuk mengesampingkan kode etik dan prinsip kehakiman yang seharusnya dijunjung tinggi. Ketika suatu suatu putusan pengadilan oleh hakim dinilai sudah mengedepankan keadilan, maka hal tersebut dapat menjadi upaya preventif pencegahan terjadinya perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran hakim (PMKH) oleh masyarakat maupun subjek hukum lainnya.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia No.8 tahun 2013 Tentang Advokasi Hakim, Perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim adalah perbuatan orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang mengganggu proses pengadilan atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan. PMKH di masa kini juga acapkali terjadi di lingkup teknologi informasi melalui media sosial. Sebagaimana ketika putusan bebas Ronald Tannur sampai di telinga masyarakat, media sosial majelis hakim yang mengadili kemudian dibanjiri oleh ungkapan kekecewaan bahkan ujaran kebencian yang dilayangkan para netizen. Hal ini tentunya mengancam martabat hakim sebagai penegak keadilan. Tidak hanya intimidasi yang datang dari masyarakat, tetapi sampai pada resiko doxing bagi majelis hakim dengan disebarnya informasi pribadi para hakim terkait. Perlu perhatian yang lebih serius untuk sistem peradilan di Indonesia dalam menghadapi ancaman PMKH di era digital ini, sebab di dunia digital yang menjadi tempat masyarakat untuk berpendapat secara bebas, PMKH akan semakin mudah terjadi.

Mengenai upaya pencegahan terjadinya PMKH perlu keselarasan antara masyarakat dan sistem peradilan di Indonesia, terlebih bagi para hakim. Selagi masyarakat diberi pemahaman mengenai pentingnya menghormati majelis hakim ketika persidangan berlangsung, pun para hakim juga haruslah menjunjung tinggi etika kehakiman. Hal ini merupakan bagian dari pengimplementasian sistem peradilan yang transparan bagi masyarakat demokratis. Dari putusan bebas Ronald Tannur, kita dapat memahami pentingnya hakim untuk menjaga integritasnya sehingga dapat menciptakan putusan yang berkeadilan sesuai nilai moral di masyarakat, serta masyarakat sendiri perlu menghormati jalannya proses peradilan. Pemerintah dalam hal ini juga dapat ikut andil dengan melakukan sosialisasi yang masif perihal PMKH dan urgensi menjaga martabat hakim guna mewujudkan marwah sistem peradilan yang lebih baik lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun