Mohon tunggu...
Aliya Hamida
Aliya Hamida Mohon Tunggu... Mahasiswa - International Relations Enthusiast

International Relations Student

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hegemoni Amerika Serikat: Akankah Hancur karena Kebangkitan Tiongkok?

27 September 2021   15:02 Diperbarui: 27 September 2021   15:11 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hegemoni dapat dipahami sebagai kekuatan dominan yang mampu mengubah aturan dan nilai-nilai yang dianut seluruh aktor atas dasar keinginannya sendiri[1]. Sesuai dengan pengertian kekuatan (power) dalam Konsep Ilmu Hubungan Internasional, maka kemampuan yang dimaksudkan ialah mempengaruhi aktor lain. Hegemoni dalam suatu konstelasi global mampu mempengaruhi atau mengontrol politik dunia. 

Tentunya dengan berbagai cara, termasuk diantaranya dengan memberikan dukungan terhadap suatu pihak ketiga yaitu institusi internasional, sehingga dengan ini ia mampu menentukan masyarakat dunia. Meskipun dalam mengoperasikan kekuatannya sebuah hegemoni biasanya bersifat memerintah, namun mayoritas pihak mengikutinya dengan bangga dan penuh rasa percaya[2]. Mereka akan memandang sebuah hegemoni sebagai suatu 'keteladanan'.

Ketika kita memahami hal ini dalam konteks Amerika Serikat, maka Amerika Serikat sebagai suatu hegemoni memiliki kemampuan untuk mengontrol atau mempengaruhi aktor lain dalam konstelasi global. Kemampuan ini dapat diperoleh melalui kemajuan teknologi, ekonomi, dan militer serta kontrol terhadap pusat hubungan jaringan komunikasi internasional[3]. Kemajuan teknologi di Amerika Serikat tak hanya dapat dilihat secara kasat mata dengan produknya saja, namun kita juga dapat melihat pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat. 

Alokasi dana untuk penelitian dan pengembangan menjadi prioritas. Selain itu, pemerintah memfokuskan investasi agar terarah pada bidang teknologi[4]. Hal yang wajar apabila transfer teknologi para aktor di dunia banyak bergantung pada Amerika Serikat, terlebih pada masa pasca perang dingin. Kondisi ekonomi dan militer yang dinilai kuat juga menjadikannya sebagai sosok acuan bagi para aktor negara. Adanya ketergantungan para aktor pada Amerika Serikat menjadikan mereka menjalin hubungan kerjasama dan komunikasi dengannya. Para aktor ini secara tak langsung juga dipertemukan dengan lingkup yang sama, yaitu komunikasi dengan Amerika Serikat. Inilah yang kemudian dapat dimaknai sebagai pusat komunikasi internasional.

Seluruh sumber kekuatan tersebut disempurnakan dengan sebuah soft power yang berperan penting membuat sebuah negara superpower menjadi hegemoni yang memungkinkan negara dominan untuk menyebarkan nilai-nilai moral, politik, dan budaya. Soft power yang dimaksudkan ialah dengan bersikap persuasif dalam suatu kerjasama. Persuasi akan membuat negara percaya pentingnya kepentingan bersama[5]. 

Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Amerika Serikat menyebarluaskan ideologi liberalisme, isu counter-terrorism, dan lain sebagainya, yang semakin membuat para aktor negara bertindak dengan kiblat Amerika Serikat, perhatikan bagan 1. Bahkan pendidikan di seluruh dunia turut didominasi oleh barat khususnya Amerika Serikat. Pendidikan Indonesia sendiri dalam menyusun kurikulum seringkali berpacu pada penddikan barat[6]. Pengetahuan dan penelitian berasal dari Amerika Serikat menjadi panduan di berbagai bidang studi. Setiap melakukan penulisan tugas kuliah, para mahasiswa akan lebih leluasa mendapat sumber referensi jika mencari dalam bahasa Inggris.

Seluruh aspek yang telah dijelaskan di atas, jika ditarik benang merahnya dapat dipahami adanya kesempurnaan perpaduan yang mengakibatkan kuatnya hegemoni Amerika Serikat. Munculnya China sebagai suatu kekuatan baru di wilayah Asia, jika kita bandingkan sejatinya masih sangat jauh dari perjalanan dan sepak terjang Amerika Serikat. Meskipun banyak negara yang telah bergantung pada China, namun hal itu sekedar kerjasama suatu bidang saja, sementara dalam jalinan hubungan dengan Amerika Serikat, secara tak langsung sudah lebih diikat dengan pemahaman yang sama, rasa sepenanggungan, dan kepentingan bersama. Misal berkaitan dengan isu counter-terrorism dan human rights.

Memungkinkan bagi negara lain untuk muncul sebagai suatu kekuatan baru, namun belum pasti menjadi hegemoni yang jika disesuaikan dengan pemaknaan awal tadi, mampu mempengaruhi seluruh aktor hanya karena kemauan sendiri. Kemasan liberalisme yang lengkap dengan segala teori dan narasinya kini terasa paling cocok diterapkan sebagai suatu ideologi negara, dimanapun, termasuk di Benua Asia dan Afrika. Lalu, ajaran apa yang akan dibawa oleh negara yang muncul seperti China. Kalaupun ia memiliki suatu langkah baru yang lebih cemerlang dan memiliki pengaruh yang sama, pastinya akan memakan waktu yang lama layaknya bagaimana Amerika Serikat mencapai titik ia menjadi hegemoni dunia.

Bisa dikatakan kedua hal, bertahan ataupun runtuh ialah sama-sama mungkin terjadi. Ia dapat bertahan karena hegemoni ini kuat melihat pada kesempurnaan integrasi sumber kekuatannya. Di sisi lain, Amerika Serikat sejatinya ialah negara yang sangat rentan. Kita dapat melihatnya dari aspek yang sama. Amerika memiliki teknologi yang sangat maju, siapakah konsumennya? Negara miskin atau negara lainnya yang memang membutuhkan. 

Maknanya, tak hanya suatu negara membutuhkan Amerika saja, namun juga Amerika sendiri memiliki ketergantungan dengan negara lain sebagai konsumen atas produknya. Pada segi ekonomi, memang Amerika Serikat menjadi aktor utama dalam perekonomian global, terlebih dalam organisasi bidang ekonomi yang diinisiasi olehnya, namun seiring berjalannya waktu banyak negara yang mengalami perkembangan sehingga ia muncul sebagai kekuatan ekonomi baru. 

Kondisi ekonomi domestik sendiri, Amerika Serikat justru mengalami pelemahan dengan banyaknya kasus korupsi[7]. Artinya, dalam aspek ekonomi, Amerika Serikat ialah negara yang memiliki ketergantungan ekonomi tinggi terhadap dunia.

Lemahnya kondisi ekonomi domestiknya, membuat Amerika Serikat menggunakan "Strategy of Tension" yang merupakan langkah membuat kondisi dunia internasional berada pada kondisi tegang. Tujuannya jelas untuk mengalihkan perhatian dunia dari kondisi lemahnya ekonomi Amerika Serikat. Isu paling besar ialah war on terrorism yang merupakan 'ilusi fiktif' adanya kondisi bahaya yang membutuhkan perlindungan Amerika Serikat di dunia tengah. Hal ini nampak dari istilah terorisme itu sendiri yang hingga saat ini tidak dapat dirumuskan definisi tetapnya.

Kondisi ekonomi yang buruk dan ditutupi oleh strategi tegang justru membuat beban ekonomi semakin tinggi, karena ada alokasi dana yang besar pada bidang militer. Hal ini menuntut adanya partisipasi dari kelas menengah yang mampu mendukung ekonomi negara. Kondisi ini memunculkan tricle up effect dimana orang kaya mendapat kemudahan secara ekonomi, dan justru melupakan pembangunan perekonomian kecil, sehingga kesenjangan semakin curam[8].

Kesenjangan ini secara tidak langsung telah membuat pincang teori demokrasi dan liberalisme yang menarasikan hak manusia dan kesetaraan. Diperkeruh dengan kondisi Amerika Serikat yang masih memiliki problem rasial berupa diskriminasi etnisitas. Hal ini ditandai pula dengan data statistik yang menyakan bahwa 98% kulit hitam di wilayah Amerika Serikat menikah dengan sesamanya, dan tingkat kematian bayi di bawah usia satu tahun jauh lebih tinggi terjadi pada kalangan kulit hitam.

 Kesempurnaan narasi isu yang dibawa Amerika Serikat dengan adanya kenyataan-kenyataan seperti ini bisa dinyatakan telah ternodai. Rasa segan dari negara-negara tentunya akan mengalami pergeseran ke arah mengecam jika kasus pelanggaran hak terjadi. Pada akhirnya hegemoni Amerika Serikat dapat dilihat dengan sudut pandang baru yang menunjukkan ia tak sekuat yang dibayangkan.

Pandangan kemungkinan terjadinya pergeseran atau bahkan kehancuran hegemoni dengan bertahan atau bahkan menguatnya hegemoni seluruhnya memiliki landasan yang kuat. Sehingga jika ditanyakan bagaimana hegemoni Amerika Serikat di masa depan, masih menjadi pertanyaan besar yang mungkin hanya akan dijawab oleh waktu. 

[1] Volgy, T. J., Kanthak, K., Frazier, D., & Stewart I, R. (2005). Resistance to Hegemony within the Core: Domestic Politics, Terrorism, and Policy Divergence within the G7. the Ridgway Working Group on Challenges to U.S. Foreign and Military Policy chaired by Davis B. Bobrow, Hal.3

[2] Dutkiewicz, Piotr; Casier, Tom & Scholte, Jan A. (2021) "Hegemony in World Politics: An Introduction", dalam "Hegemony and World Order: Remaining Power in Global Politics". New York: Routledge.

[3] Yilmaz, S. (2010, Desember). State, Power, and Hegemony. International Journal of Business and Social Science, 1(3), Hal. 195-196

[4] States, O. o. (1994). Multinationals and the U.S. Technology Base: Final Report of the Multinationals Project. Washington, DC: U.S. Government Printing Office. Hal. 13

[5] Hasyaimi, M. A. (2016, Juli-Desember). Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Untuk Menciptakan Stabilitas Hegemoni pada Era Pasca Perang Dingin. Global & Policy, 4(2), Hal. 113

[6] Sholahudin, Muhamad A (2018). "Mem-barat-kan Indonesia", diakses melalui https://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/07/12/pbqnos396-membaratkan-indonesia pada tanggal 1 Maret 2021 pukul 02:38 WIB

[7] Todd, E. (2003). "After the Empire: the Breakdown of the American Order". New York: Colombia University Press. Hal. 61

[8] Nilasari, S. (2017). "Trickle Down Effect atau Trickle Up Effect?" diakses melalui https://www.kompasiana.com/shindy/58c9e57e2223bd7d598958ef/trickle-down-effect-atau-trickle-up-effect pada tanggal 1 Maret 2021 pukul 03:23 WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun