Mohon tunggu...
Dik Ror
Dik Ror Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - saya adalah pelajar MA Tahfidh Annuqayah

saya adalah seorang yang suka bergurau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Parto dan Tetesan air Matanya

15 September 2024   11:10 Diperbarui: 17 September 2024   21:17 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan yang sudah sekitar setengah tahun tak turun kini kembali mengguyur pipi Parto. Bengkakan kedua matanya kini tampak kembali. Suara isakan tangisnya terdengar lagi. Setelah istrinya kembali dari kelenyapan kini direnggut oleh kenyataan.   

Kala itu Parto tertunduk. Meratapi apa yang sudah menghilang. Separuh—bahkan seluruh—jiwanya sudah lenyap ditelan tanah. Yang selalu tersenyum di kala ia mempunyai masalah, menyemangati di kala kalah, menasehati di kala salah. Istrinya sudah lenyap.

               Dahulu kala saat Parto menumpangi kendaraan umum dan kehilangan tiga carik uang ratusannya, istrinya menasehati penuh makna, ‘tak perlu bersedih, rezeki ada di tangan-Nya’, sambil tersenyum menatapnya.

               Akhirnya setelah sekian lama hilang kini senyumnya kembali terang bersama kenangan itu. Nasehat itu masih sangat diingatnya. Namun senyuman itu tak kuasa mengusir kehitaman mendung di wajahnya dan kederasan hujan di kedua pelupuk matanya yang sipit.

               Di atas kursi rotan di depan rumahnya ia terduduk. Orang dengan rambut kusut tak terawat itu berlinang air mata. Suara isak tangisnya kini semakin membahana. Tetangga-tetangganya menatapnya bengis disebabkan terganggunya telinga-telinga mereka mendengarkan isak tangis si Parto yang siang-malam menggema. Bentakan-bentakan kasar mereka agar si Parto tak lagi menangis tak sekalipun digubrisnya. Sudah sekitar setengah tahun ia berkabung.

               Langit pun mulai menggelap. Malam tiba tanpa  tercegah. Burung-burung mulai kembali menemui anak-anak mereka setelah seharian mencari makan tanpa harus hirau akan diri mereka. Berbeda dengan si Parto yang tak henti-hentinya menangis. Ia masih terduduk di atas kursi rotannya. Bahkan sampai malam mulai larut dan orang-orang sudah larut dalam selimut si Parto masih asyik dengan nyanyiannya. Hingga pagi tiba ia masih dalam nada dan posisi duduk yang sama.

Air mata itu hanya kering satu kali. Sekitar seminggu lalu, ia dikagetkan oleh sapaan seorang perempuan. Kala itu dalam tunduknya, perempuan itu menyapa. Si Parto terkesiap dengan suara sapaannya. Suara itu. Ia pun mengangkat pandangannya. Tampak seorang perempuan berdiri dengan sangat anggunnya tersenyum penuh asmara di depan rumah si Parto. Wajah itu. Pikirannya kembali mengingatnya yang sudah tiada. Kedua matanya, pipinya, dan bibirnya sangat mirip dengannya yang sudah tiada. akankah ia kembali? Seketika air matanya mulai mengering. Rindunya mulai terobati. Si Parto pun bangkit dari duduknya berniat memeluknya. Belum sampai berdirinya setegak tugu Monas, ‘rumah Paidi mana, ya, mas?’ Perempuan itu bertanya. Niat itu pun hancur. Paidi adalah tetangga si Parto yang rumahnya berjarak tiga rumah ke barat. Ia pun mengangkat tangannya dengan tenaga seadanya dan menunjuk rumah Paidi sebelum duduk kembali dengan air mata yang kembali mengalir. Si Parto kembali tertunduk. Berkabung kembali tanpa harus menggubris perempuan yang mengucapkan terima kasih padanya.     

               Si Parto dengan tubuh yang semakin hari semakin ringkih sebab sudah tak makan dan minum selama setengah tahun akhirnya berdiri dari kursi rotannya yang sudah ia duduki selama itu. Ia langkahkan kedua kakinya yang tanpa alas kaki dengan penuh usaha menuju kamar mandi. Dibukanya pintu kamar mandi itu. Tatapannya mengarah akan air yang sudah berlumut sebab lamanya tak dikuras. Kedua kakinya memasuki kamar mandi itu manuju bak air. Di ambilnya air dari kedua telapak tangannya. Diusapkannya air itu pada wajahnya yang berkerak bekas air mata di kedua pipinya. Digosoknya kedua matanya yang seakan sudah bengkak. 

               Si Parto pun menatap cermin yang tergantung di sebelah kiri bak air. Tertegun dengan apa yang ia lihat. Sebuah keajaiban pun terjadi. Ia pun mengambil cermin itu dan lalu menggoyang-goyangkannya. Memastikan bahwa apa yang ia lihat bukanlah bualan semata dan memastikan bahwa kejadian seminggu lalu tak terulang kembali. Wajah istrinya tergambar jelas di cermin itu. ‘Apa kabar, mas Parto?’ Bukan hanya wajah, istrinya pun dapat berinteraksi dengan si Parto yang terheran-heran sampai bungkam suara tak sanggup menjawab pertanyaan sang istri.

               Sejak saat itu, si Parto dan istrinya sering berinteraksi. Bercanda tawa tanpa henti. Dan mulai saat itu, tetangga-tetangga si Parto mulai terheran-heran sebab ketidaknampaannya. Siang-malam ia hanya menghabiskan waktu-waktunya di kamar mandi bersama istrinya. Kini kerinduannya terbalas tuntas. Air matanya tak mengalir lagi. Gelak-tawa terlontar tanpa menghiraukan pergantian siang dan malam.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun