Salah satu kesalahan terbesar kita secara paradigmatic adalah menganggap siswa sebagai gelas kosong dan lemah dalam kompetensi. Sehingga relasi yang terbangun cenderung pada siapa yang membutuhkan dan siapa yang dibutuhkan, padahal semestinya tidak demikian. Ini sama saja dengan mengkotakkan secara defenitif peran dan fungsi guru.Â
Beberapa tahun yang lalu saya melakukan penelitian tentang sudut pandang guru yang disukai oleh siswanya. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa sangat menyukai guru yang humoris, dekat dengan siswa dan enak diajak berkomunikasi. Persoalan penguasaan kompetensi keilmuan bukan hal yang utama bagi mereka meskipun itu juga hal yang penting. Â
Guru semestinya memaknai secara esensial hakikat mendidik manusia. Bahwa manusia secara fitrawi akan berkembang menemukan jalan terbaik dalam hidupnya dengan cara mereka masing-masing. Posisi antara guru dan siswa cenderung hanyalah persoalan usia saja.Â
Jika memang siswa membutuhkan guru, maka kebutuhan siswa adalah untuk dididik, didamping, difasilitasi dan dimotivasi. Meskipun secara kuantitatif guru yang memberikan nilai sebagai hasil sebuah proses pembelajaran bukan berarti siswa harus memelas dan mendapat perlakuan diskriminatif. Karena kegagalan siswa dalam pembelajaran disebabkan oleh guru juga.
Kita tidak juga kemudian mempersalahkan guru secara penuh tetapi memang harapan terbesar pendidikan kita sedang ada dipundaknya. Ada asumsi kecil di benak pribadi bahwa kemungkinan besar fakta bahwa guru merasa dibutuhkan disebabkan oleh banyaknya tugas dan besarnya effort yang harus dikeluarkan oleh mereka sebelum dan setelah mereka mengajar.Â
Mereka harus mematuhi peraturan sebelum belajar harus menyiapkan RPP, Bahan ajar, media pembelajaran, menentukan model, metode, pendekatan dan strategi pembelajaran yang tepat. Belum lagi harus mempersiapkan instrument penilaian yang meliputi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Dengan melakukan itu semua, sangat wajar guru untuk merasa dinantikan dan dibutuhkan oleh siswanya.
Dari segi kebijakan, beberapa waktu ini memang guru keteteran dan menjadi kewalahan. Bayangkan saja, hanya untuk Menyusun sebuah perangkat pembelajaran mereka harus menganalisis kurikulum, menentukan KI dan KD yang tepat, merumuskan indicator dengan memilih KKO yang sesuai. Belum lagi mereka merumuskan tujuan pembelajaran dengan kaidah tertentu. Hal tersebut cenderung sangat direktif atau bahkan diktatis.Â
Padahal dalam beberapa kesempatan guru mengakui bahwa tidak sedikit dari mereka yang menyiapkan perangkat sebatas formalitas ketika pengawas datang. Inilah wujud nyata "aturan dibuat untuk dilanggar", meskipun tidak semuanya.
Kelemahan ini terlihat dari kebijakan sistemik pendidikan yang cukup ekslusif dan direktif. Peraturan yang ada sangat spesifik mulai dari kurikulum, perangkat bahkan di dalam perangkat diatur lagi KI dan KD ditiap levelnya. Belum lagi bahan ajar, LKPD, evaluasi dan sebagainya.Â
Guru kehabisan waktu dalam penyusunan perangkat yang begitu sistematis padahal dalam pelaksanaannya belum tentu se ideal itu. Terkadang di lapangan (on-site) realitas persiapan guru atau tujuan pembelajaran yang disusun tidak berkorelasi positif dengan keinginan atau gaya belajar siswa. Fakta berdifferensiasi ini mengakibatkan ketidak-akuran dalam pembelajaran. Hal ini merupakan salah satu bentuk overloading yang mesti dihindari.
Dalam perkembangan teknologi dewasa ini, guru sangat dimudahkan secara fungsi. Mereka seharusnya memusatkan perhatian bagaimana mengarahkan siswa untuk belajar. Hal ini dimungkinkan karena sarana pendukung pembelajaran sudah tersedia di dunia maya. Guru butuh berpikir bagaimana mereka di arahkan kesana. Tantangannya tentu tidak mudah mengingat banyaknya gangguan yang akan menghilangkan focus siswa misalnya medsos dan game.