Setelah ashar, aku mengantarkan Rahmat menuju tempat pengajian, yang berada di dekat lapangan sepak bola. Ia mengenakan baju muslim berwarna coklat muda dan sarung berwarna coklat tua bergaris. Dia terlihat tampan menggunakan pakaian tersebut.
Ketika melihat sarung yang digunakan Rahmat, aku jadi teringat saat-saat aku dikhitan. Hal yang sangat mengerikan, tetapi tidak menyakitkan. Apakah Rahmat sudah dikhitan? Lebih baik aku tanyakan saja, sebelum berangkat.
"Mamet, kamu sudah dikhitan?" tanyaku tanpa ragu.
"Khitan apa, Kak?" lugu Rahmat bertanya.
"Khitan itu disunat, kamu sudah disunat?"
"Oh sunat, sudah Kak tahun lalu. Saat itu ada sunatan masal di desa ini." Jawabnya.
Ternyata diumur tujuh tahun, ia sudah berani untuk dikhitan. Berbeda jelas denganku dulu, walau keluarga mampu membiayai untuk khitananku, aku baru memberanikan diri untuk disunat saat beranjak bangku kelas lima sekolah dasar.
Setelah Rahmat selesai mempersiapkan diri, aku mengantarkan Rahmat menuju tempat pengajian. Saat diperjalanan kami disapa oleh para tetangga, termasuk Ratih. Uniknya Rahmat ikut menyapa para tetangga, padahal ia belum mengenalnya.
Sesampainya kami di tempat pengajian Rahmat, ia mengucapkan salam padaku lalu memasuki tempat pengajian yang terlihat sangat kecil sekali. Lebih kecil dari rumah yang kusewa.
Seorang bapak berjenggot, memakai sorban dan ditangannya terdapat tasbih, datang menghampiriku. Ia tersenyum dan mengucapkan salam padaku. Mungkin ia adalah ustad di desa ini yang mengajarkan anak-anak desa untuk mengaji.
"Assalamualaikum." Ramah Ustad itu.