literasi seakan tak ada habisnya untuk kita kupas bersama. Bahkan era penggerak literasi di sekolah-sekolah menjadi kurikulum Merdeka dalam Gerakan Literasi Sekolah. Tujuannya adalah untuk membangun kesadaran lingkungan sekolah tentang pentingnya membaca untuk meningkatkan kekritisan berpikir bagi siswa. Salah satu cara untuk meningkatkan  kekritisan siswa dalam berpikir adalah melalui kegiatan mengikat makna. Kegiatan ini sangat efektif dilakukan dengan cara menuliskan kembali ide pokok dari bacaan dengan penjelasan pendukung. Kemampuan berpikir kritis dengan menuliskan kembali bacaan akan meningkatkan literasi menulis seseorang dan secara tidak langsung juga meningkatkan kemampuan komunikasi seseorang.Â
DuniaEra digital saat ini sangat mendukung kegiatan pembelajaran yang bisa dilakukan guru, salah satunya adalah menggunakan media sosial facebook. Namun tak menutup kemungkinan aplikasi media lain seperti instagram, TikTok, dan Youtube menjadi pertimbangan dalam membantu pembelajaran. Siswa diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pikiran orisinilnya dengan memilih topik sebagai bahan penulisan.Â
Kecakapan berkomunikasi membutukan pengolahan pikiran dalam memahami secara jelas, tertata, dan unik dalam mengungkapkan pikiran serta gagasannya. Stephen Covey mengungkapkan dalam The Seven of Highly Effective People bahwa seseorang dikatakan memiliki kehebatan dalam bidang tertentu bila ia berhasil menjadikan pengetahuan dan keterampilannya sebagai kebiasaan. Ada tiga cara untuk melatih kebiasaan yaitu dengan berdialog dengan diri sendiri, mengevaluasi diri, dan mengenali diri sendiri. Ketiganya akan memunculkan kemampuan berbahasa secara perspektif dalam mengikat makna secara privat kecuali diri sendiri. Dengan kata lain, mengenali diri sendiri lebih bisa menemukan kebiasaan diri sendiri dan keunikan pribadi yang membedakan dengan orang lain.
Sebenarnya Ali bin Abi Tahalib, r.a. pernah berpesan "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya." Konsep ini maknanya sangat luas. Tak hanya makna bacaan, termasuk dalam kehidupan kita sehari-hari. Bentuk paling nyata menulis di ruang privat adalah menulis bebas tanpa ikatan sebab segala emosi terbuang melalui kegiatan menulis. Dengan menulis, hati kita menjadi lega, dan dengan menulis kita berpikir. Menulis adalah kegiatan hiburan yang menyenangkan, sebab pikiran menjadi tidak terpenjara. Dengan menulis pula, otak kanan kita mengalir bebas mengungkapkan segala rasa emosi, sementara otak kiri menata struktur kalimat yang kita susun dengan tertib. Pemikiran orisinil gagasan kita membawa kita pada karakter. Peta pikiran yang kita ungkapkan mampu membuka pikiran dan mengelompokkannya, lalu mengkonstruksinya.
Jean Piaget mengatakan bahwa ilmu itu tidak dikonsumsi melainkan diproduksi. Dengan mengonstruksi kata-kata menjadi sebuah kalimat, secara tidak langsung kita berada pada tahapan merangkai kata sebagai teknik yang mampu mempertajam penulisan. Rangkaian kata dari pengetahuan dan pengalaman bersifat abstrak. Oleh karenanya, kita perlu terapkan agar tulisan kita bersifat nyata. Melalui teknik clustering, kita memahami keragaman kata-kata dari bacaan yang bergizi dan menyehatkan ruhani. Makna yang sebenarnya adalah bahwa kehidupan tak hanya sekali, namun berkali-kali bila kita memyadari begitu banyaknya jenis kehidupandan memilih kehidupan apa yang kita inginkan.Â
Membaca efektif adalah kegiatan membaca yang mampu menemukan petunjuk makna yang berkualitas dari isi bacaan sehingga bacaan ini menjadi bergizi sebab ada peran bahasa dari kata-kata yang mampu membangun kepribadian manusia. Pembaca seolah diantarkan pada percakapan dengan para cendekiawan yang hidup di masa lampau tanpa perlu bertatap muka.Â
Kebiasaan membaca harus dibangun disejak dini agar kelak anak-anak dapat menerima pelbagai pengetahuan baru sejak mereka menginjakkan bangku sekolah pertama kali. Mereka akan memperoleh kesenangan membaca sejak dini sehingga menjadi pembaca andal kelak, dan mampu menyusun kalimat dengan baik dalam penulisan maupun berbicara. Pembiasaan sejak dini ditunjukkan anak-anak melalui perbendaharaan kata-kata dan mengkoneksikannya menjadi sistem auditif yang baru. Kelak bila mereka dewasa, mereka akan terlatih mentalnya secara emosional, sosial, kognitif, fisikal, dan reflektif.Â
Kesulitan menulis tak lepas dari keminatan membaca sejak dini. Orang tak akan memiki pengalaman membaca menyenangkan bila ia terbebani sebelum melakukan kegiatan membaca. Tak semua menyadari bahwa membaca bukanlah karena nilai uang dan waktu, melainkan gairah dan kerendahan hati untuk mengetahui banyak hal. Apalagi sebagian besar orang setuju bahwa buku membangkitkan kebahagiaan hanya dengan meraba, melihat, dan menciumnya memberikan kehangatan, rasa aman, dan cinta.Â
Menurut Hasim (2016) dalam bukunya Flow di Era Socmed ada tiga tingkatan dalam membaca. Yang pertama adalah melihat. Pada tingkatan melihat, mereka tak ada niatan untuk menangkap makna dalam membaca sebab mereka belum memanfaatkan kemampuan pikiran untuk mengolah, mencerna, menafsirkan, dan menyimpulkan isi bacaan. Biasanya mereka yang berada pada tingkatan ini cenderung mengandalkan orang lain untuk membacakan dan menceritakan isi buku dengan irama yang tepat akan pendengar mudah menafsirkannya.Â
sementara itu, tingkatan kedua yaitu membaca untuk meniru. Pada tingkatan ini pembaca mempelajari apa yang dilihat dan diteladani bahkan hingga pemakaian struktur kalimat dan gaya bahasa. Mungkin saja, pembaca belum sampai hingga taraf mengikat makna sebab mereka hanya berhenti pada pembelajaran dalam penulisan kalimat, pemilihan diksi, dan tanda baca.
Tingkatan mengikat makna ada pada tingkatan ketiga yaitu reading comprehension. Ini adalah tingkatan membaca paling tinggi. Ada hal-hal berharga untuk diserap. Istilah lainnya adalah deep reading. Ada rasa penjelajahan paling dalam dalam ruang diri dan suaka paling pribadi untuk menterjemahkan teks melalui dirinya dengan melakukan penggalian makna. Saat melakukan deep reading, waktu seolah berhenti. Itulah waktu meditatif.  Â