Penganalisa wacana menyelidiki bahasa dari konteksnya. Ahli linguistik formal yang fokus pada deskripsi sintaksis kalimat dan semantik terkadang kurang memperhatikan unsur konteks yang mana termasuk bagian wacana. Salah satu unsur konteks sebagai penyampai pesan berupa referensi adalah deiksis, dalam bahasa Inggris misalnya here, now, I, you, this,dan that.Unsur deksis tersebut dapat ditafsirkan jika diketahui siapa penuturnya (speaker) dan siapa pendengarnya (hearer) dan kapan produksi wacana itu dilakukan dalam percakapan. Maka unsur konteks lain pun tidak luput perannya, seperti referensi (reference),praanggapan (presupposition), implikatur (implicature), dan penarikan kesimpulan (inference).
Referensi berarti acuan. Ungkapan acuan disini berdasarkan penyelidikan bahasa yang diungkapkan oleh penutur mendeskripsikan bahasa dengan realita (semantik leksikal) atau sifatnya analitis (pragmatis). Searle mengatakan bahwa ungkapan tidak mengacu pada sesuatu, akan tetapi perlakuan referensi oleh perbuatan penutur atau penulis. Dengan informasi berupa referensi yang disampaikan penutur/penulis sebagai praanggapan (presupposition)yang ditangkap oleh pendengar/pembaca merupakan dasar yang dipakai sebagai bentuk tantangan bahwa informasi yang akan disampaikan berhasil diterima oleh pendengar/pembaca.
Stalnaker mendefinisikan praanggapan mengenai apa yang disampaikan penutur merupakan "dasar" dalam percakapan. Anggapan yang disampaikan oleh penutur akan dicerna dan ditafsirkan oleh pembaca atau pendengar dengan logis sesuai dengan tuturan atau kalimat yang disampaikan oleh pewicara atau penulis. Jika penutur menyampaikan tuturan, "ayahku membelikan aku sepeda baru." Lalu jika ini berupa bentuk pengingkaran (denial), akan berupa kalimat, "ayahku tidak membelikan aku sepeda baru ."
Praanggapan logis diperoleh: "saya punya ayah." Informasi semacam ini oleh Grice diistilahkan informasi "nonkontroversial." Karena adanya denial tersebut, informasi yang diperoleh sudah jelas bahwa sang penutur tidak akan mengatakan bahwa dia punya ayah. Namun bagaimana jika kalimatnya dibalik seperti, "ayahku tidak membelikan aku sepeda baru karena aku tidak punya ayah?" Kalimat ini bisa saja logis jika keadannya berbeda. Jika ayahnya sudah tiada bisa jadi kalimat ini logis.
Ujaran yang disampaikan penutur bisa jadi disimpulkan keliru oleh pendengar jika ujaran yang disampaikan maksudnya berbeda. Hal ini disebut Implikatur Konvensional.Dalam hal ini penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa apa yang disampaikannya itu memiliki sebab lain atau hal yang memperkuat pendapatnya tersebut. Contohnya, "She is from Surabaya, she is, therefore, open-minded." Ini jika seseorang memiliki stereotype terhadap orang Surabaya dan itu benar jika semua orang Surabaya memiliki sifat open-minded berarti implikatur itu benar. Jika sebaliknya maka implikaturnya salah.
Di dalam percakapan, disebut implikatur percakapan, terdapat aturan yang disebut Asas Kerja Sama (Cooperative Principle). Menurut Grice, berikan informasi seperlunya dalam percakapan sehingga pada prosesnya, tujuan bisa diterima oleh penutur dan pendengar yang terlibat di dalamnya. Adapan konvensi atau aturannya ada empat, yaitu kuantitas (quantity), kualitas (quality), hubungan (relation), dan cara (manner). "Kuantitas" berarti memberikan informasi seperlunya dan tidak berlebihan. "Kualitas" artinya berikan informasi sesuai apa adanya atau sesuai bukti. "Hubungan" berarti relevan atau nyambung antara ujaran pertama dengan ujaran kedua dan seterusnya. Dan "cara" berarti jelas, tidak ambigu, teratur, dan tidak berbelit-belit.
Implikatur dalam analisa wacana merupakan segi-segi pragmatis arti yang mana mempunyai ciri khusus untuk mengidentifikasikannya. Kaidah bahasa percakapan dalam Cooperative Principle ini sebagai batasan agar penutur mematuhi Asas Kerja Sama ini. Namun kenyataannya penganalisa wacana memiliki kemampuan terbatas untuk memahami penutur sehingga pada akhirnya sifatnya hanya berupa tafsiran saja.
Karena penganalisa wacana tidak bisa langsung memahami maksud penutur, maka seringkali penganalisa berusaha untuk menarik kesimpulan berupa penafsiran, disebut inference,bisa deduktif maupun induktif. Kesimpulan yang diambil baik deduktif maupun induktif selalu menghadirkan premis-premis yang mendukung. Premis-premis yang muncul tentu saja diselingi dengan konteks situasi. Hymes (1964) memerinci ciri-ciri konteks dengan singkatan SPEAKING yaitu setting, participants, end, act sequence, key, instrumentalities, norms, genre.
Tafsiran tidak hanya sebatas pada konteks saja, namun ko-teks berperan pula disini. Batasan tafsiran ditemui dari bentuk-bentuk yang disematkan dalam ko-teks, seperti kata-kata treatmentdalam kalimat The children of the Indians are saved, to be sold or given away as servants, or rather slaves for as long a time as the owners can make them believe themselves slaves. But I believe in their treatment there is little to complain of. Kata treatment disini tentu saja mengacu pada  saved, sold or given away as servants, slaves. Treatment apa saja itu dijelaskan secara rinci.
Teorinya, semakin banyak ko-teks, semakin kuat penafsirannya. Teks itu menciptakan ko-teksnya sendiri. Ditegaskan oleh Isard bahwa komunikasi tidak mengubah konteksnya untuk penafsirannya, namun komunikasi juga mengubah konteks itu. Artinya sekalipun konteksnya tidak begitu jelas, namun jika merekonstruksi bagian tertentu akan didapati tafsiran mengenai teksnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H