Mohon tunggu...
Aliva Rosdiana
Aliva Rosdiana Mohon Tunggu... Penulis - edupreneur

Sebagai seorang edupreneur, saya harus mengasah diri dengan meningkatkan kualitas diri agar menjadi seorang yang memberikan manfaat dalam dunia pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Krisis Etika dalam Komunikasi Digital

21 Juli 2017   22:01 Diperbarui: 25 Juli 2017   10:41 2972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah Anda menyadari bahwa komunikasi lewat text message itu sebagai pengganti komunikasi face to face? Pesan yang disampaikan secara verbal dan nonverbal memang akan berbeda penyampaiannya jika pesan yang disampaikan menjadikan orang salah menafsirkan. 

Katakanlah verbal pun baik melalui face to face maupun telepon terkadang menjadikan pendengar salah menafsirkan pesan. Berkomunikasi dengan face-to-face atau tatap muka antara pembicara (speaker) dan lawan bicara (interlocutor) mampu meminialisir kesalahpahaman mengenai penafsiran pesan. 

Ketika tatap muka kedua pembicara melihat langsung pada ekspresi muka (face expression), gerakan anggota tubuh (gesture), maupun gerak tubuh (body language) masing-masing lawan bicara. Alhasil seseorang terkadang lebih memperhatikan apa yang dilihat dibandingkan isi pesan itu sendiri. Contohnya saja ketika seorang karyawan mengatakan 'lapar' kepada teman sejawatnya, kata 'lapar' tersebut memiliki makna ajakan untuk makan siang. 

Berbeda lagi ketika seorang pengemis mengatakan 'lapar' dengan menadahkan tangan, kata 'lapar' di sini berarti si pengemis meminta uang kepada orang yang melintas di depannya. Kedua situasi dengan kata 'lapar' di sini memiliki situasi berbeda yang dikatakan oleh dua orang yang memiliki keadaan atau status yang berbeda pula. Sehingga kata 'lapar' disini walaupun artinya sama namun makna (sense) nya berbeda.

Bagaimana dengan komunikasi lewat telepon? Ketika seseorang berbicara lewat telepon, pendengar tentu saja hanya memperhatikan suara pesan pembicara. Dan pendengar biasanya akan lebih memperhatikan intonasi dan penekanan kata pada kalimat ujaran yang disampaikan pembicara dibandingkan pesan itu sendiri. Alhasil untuk komunikasi lewat telepon pun, kesalahpahaman masih bisa sedikit diminimalisir jika ada kesalah pahaman dibandingkan jika berbicara lewat tatap muka.

Bagaimana dengan komunikasi nonverbal atau tulis? Gaya bahasa tulis dibedakan menjadi 3 yaitu formal, semi formal, dan informal. Bahasa formal sudah jelas aturannya. Harus mengikuti aturan tulisan formal, baik itu laporan (report), makalah, tesis, surat resmi, dan lain-lain. Dalam hal ini kesalahpahaman hampir tidak ada, dan kalaupun ada mungkin hanya pada faktor kebahasaan saja. Di era digital sekarang ini seringkali surat digantikan dengan digital baik eMail, SMS, MMS, WA, BBM, Line, Instagram, dan sebagainya. 

Sehingga jarang orang mengirim surat kecuali sifatnya resmi dari instansi. Dulu ketika Handphone mulai mendunia, kita hanya mengenal SMS (Short Message Service). Seiring dari tahun ke tahun, teknologi digital semakin berkembang. Begitu pula perusahaan yang bergerak dibidang teknologi digital berlomba-lomba menawarkan handphone (hp) seri terbaru dengan fasilitas canggih. 

Sistem program yang bisa ditanam di hp pun ditawarkan, antara lain WA, MMS, Line, dan lain-lain. Berkembang pula facebook, messenger, twitter, dan sebagainya. Semakin marak dunia teks tulis menulis pesan yang bisa dipilih oleh penggunanya. Alhasil, terkadang pengguna kurang memperhatikan etika cara penulisan pesan lewat digital.

Entah kesengajaan atau tidak pernah kita temui beberapa orang dalam mengirim pesan menggunakan symbol atau emoticon yang tidak pada tempatnya. Hal ini yang sering menjadi konflik karena pengguna tidak tahu penggunaan simbol dalam pesan atau tahu dan sengaja melakukannya. Namun jika simbol yang sering digunakan seperti tanda seru (!) dan kata-kata kasar si penerima atau si pembaca tentu saja akan berasumsi orang tersebut marah. Seperti yang terjadi di bawah ini :

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Pesan di atas merupakan potongan percakapan seorang pegawai notabene dosen bahasa di mana diamanati tanggung jawab oleh Universitas dalam urusan hubungan perguruan tinggi dengan luar negeri. Hanya karena tidak mau mengemban amanah tersebut dengan alasan sakit atau alasan apapun melemparkan tanggung jawabnya kepada teman sejawat. 

Dan bisa dilihat sering dia menggunakan simbol kata seru ditambah kata yang diambil dari bahasa daerah (yang barusan saya tahu dari teman yaitu bahasa Kudus. Sedangkan saya sendiri orang Surabaya yang artinya "jangan bercanda" namun memiliki makna kasar (rude). Ini sudah bukan lagi soal solidaritas, akan tetapi unsur politik pun dimana-mana ada dalam urusan pekerjaan. Ini bukan masalah solidaritas, akan tetapi urusan etika pun tidak lepas dari unsur solidaritas. 

Jika itu yang memerintah adalah atasan, masih bisa diterima. Namun jika itu teman sejawat yang dia sendiri melemparkan amanat begitu saja tanpa surat keterangan resmi apalagi pakai embel-embel kata-katanya yang kasar, sudah bukan lagi persoalan pertemanan. Justru ini yang disebut musuh dalam selimut.

Entah yang melakukan pria atau wanita bukan perkara jenis kelamin. Perkaranya adalah seberapa dalamkah seorang dosen bahasa memahami kebahasaan baik itu ujaran maupun tulis? Dan seperti apa track record nya selama ini terutama dalam hubungan sosialnya? Dan selama penulis telusuri dari hasil wawancara dengan beberapa teman yang terlibat dan pernah masuk perangkapnya, tidak lebih sesuai dengan potongan pesan gambar di atas. 

Mungkin sebagai wacana dan gambaran bahwa pesan digital tidak selalu sesuai jika urusannya dianggap penting dan verbal sangat diperlukan di sini. Kecuali jika hanya berupa informasi, teks tulis cukup dilakukan. Mengingat sifatnya yang singkat. Terkadang jika seseorang sudah kenal sangat dekat, pesan singkat terkadang sering dijadikan obrolan. 

Krisis etika sudah mewabah di negeri ini. Dan sering kita temui di dalam situasi kampus yang dilakukan oleh mahasiswa. Sebagai guru atau dosen perlu kita maklumi jika memang si mahasiswa tidak paham soal etika. Makanya di mata kuliah jurusan bahasa ada mata kuliah Lintas Budaya, Pragmatik, atau Sosiolinguistik yang dianggap mewakili urusan etika. Sastra pun dalam karyanya dimana merupakan tiruan kehidupan juga sarat etika, masalah kritis, dan solusinya. 

Lalu bagaimana jika dosen bahasa yang notabene seharusnya tahu dan mendapatkan mata kuliah-mata kuliah tersebut melanggar etika dalam pesan digital? Silakan Anda jawab sendiri. Politik, materialisme, dan egoisme sudah mewabah sehingga orang menganggap keakuannya dan tidak mempedulikan sekitarnya. Allahu A'lam Bishawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun