Akhir akhir ini marak kasus kekerasan di pondok pesantren yang viral di media sosial bahkan kasus  terbaru yang sempat menghebohkan dunia maya dimana seorang santri yang berasal dari Banyuwangi dipulangkan ke rumah oleh pengurus pondok dalam keadaan tidak bernyawa dengan alasan terjatuh di kamar mandi, ternyata santri tersebut sempat menghubungi keluarganya beberapa hari sebelumnya agar segera dijemput dan ingin segera pulang. Setelah dilakukan penyelidikan, ditemukan fakta bahwa korban meninggal karena dikeroyok oleh empat kakak kelasnya,namun yang lebih mirisnya lagi pihak pengurus pondok berusaha untuk menutup nutupi kejadian tersebut demi menjaga reputasi pondok pesantren. Kasus tersebut menambah catatan dalam daftar kasus kekerasan di pesantren yang terus eksis dan terjadi. Data terakhir Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat bahwa terdapat 6 kasus kekerasan yang dilaporkan di satuan pendidikan yang ada di bawah naungan Kemenag sepanjang tahun 2023. Itu pun kasus yang dilaporkan, belum dengan puluhan kasus lain yang tidak dilaporkan dan tidak tercatat karena korban diancam agar tutup mulut atau korban tidak berani melapor mengenai hal yang dialaminya.
Memang hal ini sangatlah miris mengingat pondok pesantren adalah tempat yang seharusnya nilai-nilai agama ditanamkan dan kebaikan diajarkan tetapi malah menjadi tempat yang sangat berbanding terbalik dengan kedua hal itu. Sudah bukan menjadi rahasia umum dimana pandangan masyarakat mengenai pondok pesantren adalah "bengkel anak-anak nakal" sehingga membentuk stigma negatif tentang pesantren itu sendiri, dan sudah menjadi rahasia umum juga dikalangan para santri  jika pesantren sangat kental dengan budaya senioritas dan kekerasan fisik terutama dalam pemberian hukuman. Tentu hal ini merupakan PR besar bagi pemerintah dan dinas dinas terkait untuk segera menuntaskan permasalahan ini sampai ke akarnya. Meskipun Kementrian Agama sudah berusaha mulai menanggulangi hal ini dengan membuat  Program Pesantren Ramah Anak dimana program ini Kemenag akan mengawasi pondok pesantren apakah sudah memenuhi syarat yang ditetapkan dalam menjalankan kegiatan kepesantrenan seperti menghilangkan hukuman fisik dan menggantinya dengan hukuman yang bersifat lebih mendidik. Akan tetapi program ini tentu belum bisa menjangkau semua pesantren yang ada di Indonesia mengingat banyaknya jumlah  pesantren yang ada di Indonesia. Seharusnya program ini menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya Kementrian Agama tetapi juga tanggung jawab masyarakat, warga pesantren dan wali santri atau orang tua. Pemerintah pusat juga seharusnya lebih memperhatikan masalah ini dengan lebih menggalakkan dan mengadakan sosialisi Program Pesantren Ramah Anak ini ke pesantren-pesantren yang ada di Indonesia serta menggandeng kementrian-kementrian lain dan masyarakat dalam menjalankan program ini agar menghindari kasus kasus serupa di kemudian hari. Peran orang tua juga sangatlah penting dalam program ini dimana orang tua harusnya lebih selektif dalam memilih pesantren dan lingkungannya sebelum memasukkan anaknya ke pesantren tersebut, dan selalu aktif memantau kondisi dan kabar sang anak di dalam pesantren jangan sampai menjadi orang tua yang acuh terhadap kondisi anak.
Program Pesantren Ramah Anak ini  diharapkan diharapkan juga dapat menciptakan kondisi dan lingkungan belajar yang kondusif, nyaman, dan aman sehingga dapat meningkatkan prestasi-prestasi santri di dalam pesantren, serta dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan di pondok pesantren mengingat sudah banyak nilai-nilai agama yang sudah mulai luntur di masyarakat maka pesantren memiliki peranan yang penting karena pendidikan pesantren yang berfokus pada penanaman nilai-nilai agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H