Mohon tunggu...
Ali Usman
Ali Usman Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Student at Padjadjaran University (Unpad Bandung)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konspirasi Mafia Besar Daging Sapi

10 Oktober 2015   02:59 Diperbarui: 10 Oktober 2015   09:58 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Hampir puluhan juta peternak Indonesia didominasi oleh peternak rakyat. Baik beternak unggas (kecil) maupun ruminansia (besar). Untuk peternakan ruminansia atau sapi potong mereka hanya memiliki ternak 3-5 ekor, akan tetapi problem dasar untuk peternakan rakyat adalah maindset dari pada peternak kecil ini umumnya punya ternak hanya sebagai usaha tabungan bukan sebagai usaha yang menjanjikan. Ketika butuh uang atau hajatan keluarga seperti nikahan, butuh uang untuk biaya kuliah anak dll. Ternak mereka dijual atau di potong, tidak melihat sapi betina produktif atau sapi jantan mereka pasti jual siap potong.

Ini momok besar bagi dunia peternakan indonesia bagaimana dunia peternakan kita mau maju sedangkan maindset dan minimnya pemahaman peternak rakyat indonesia masih ketertinggalan jauh dengan peternak Negara tetangga seperti Australia dan selandia baru. Mereka sangat modern dengan konsep Family Industry yang berbasis teknologi dengan kempemilikan sapi hingga mencapai ribuan ekor dalam usaha keluarga ini. Beberapa tahun yang lalu, hingga sampai saat ini ternak sapi Australia masuk ke Indonesia hampir 90% sapi ekspor ke Indonesia dan juga masuk ke negera ASEAN seperti Malaysia, Singapore dan Vietnam. yang diterima oleh Feedloter atau pengusaha industri penggemukan sapi potong di Indonesia.

Indonesia salah satu negera konsumen tertinggi di dunia menyedot perhatian kalangan pengusaha. Baik pengusaha kelas bawah, menengah, hingga kelas kakap. Tidak kalah penting dengan dunia peternakan yang sangat menarik bagi pengusaha kelas kakap. Jika kita tinjau dari berbagai kasus dilapangan “pengaturan kuota import daging sapi” beberapa tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2012 yang menyeret presiden PKS Lutfi Hasan Ishak dan Ahmat Fatonah di tangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan beberapa bulan yang lalu muncul kasus baru terkait dengan pengendalian stock daging sapi yang membuat pedagang daging di pasar utamanya Jakarta Bogor dan Bandung mogok jualan 3-5 hari. Hingga sampai saat ini masih menjadi teka teki siapa sebenarnya yang bermain daging sapi? Mungkin ini lah yang disebut konspirasi BOS besar mafia daging sapi.

Konspirasi daging sapi ini mengejutkan lapisan masayarakat baik kalangan akademis, stakeholder bahkan peternak rakyat sekalipun. Tentu saja, membut peternak rakyat merasa dirugikan karena ada permainan harga dari berbagai BOS pengusaha daging sapi. Perternak rakyat tidak bisa berbuat apa-apa untuk bisa kompetisi barang produknya di pasar. Bagaimana mungkin jika mereka tidak punya akses untuk transaksi jual beli selain pasar hewan ternak itupun hanya sesama peternak kecil. Dan sekalipun mereka jual harga akan jatuh karena di lindas oleh pengusaha besar daging sapi ini.

Apa lagi masuk ke rumah pemotongan hewan (RPH) rasanya sangat sulit bagi peternak rakyat, RPH yang notabe-nya milik Negara harusnya untuk peternak rakyat bukan membantu pengusaha besar sebagai jembatan Suistanable Market untuk keberlangsungan usaha besarnya. Memang sangat sulit jika tidak ada regulasi kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Fasiltas negara harus kembali ke rakyat bukan mempermudah pengusaha kelas kakap. berharap RPH kedepannya di peruntukan sebagai mana yang di inginkan oleh peternak rakyat sehingga, sangat membantu peternak rakyat untuk mensinergikan roda ekonomi yang berbasis Home Industry.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun