Mohon tunggu...
Ali Usman
Ali Usman Mohon Tunggu... Jurnalis televisi -

Pernah bekerja untuk koran Merdeka, IndoPos, Radar Bekasi, Harian Pelita, Majalah Maestro, Harian ProGol, Tribunnews.com (Kelompok Kompas Gramedia), Vivanews.com, kini di TVRI nasional. * IG aliushine * twitter @kucing2belang * line aliushine * blog www.aliushine.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan dan Sekeping Kenangan

12 Agustus 2016   10:28 Diperbarui: 12 Agustus 2016   11:09 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore itu di bawah langit Jakarta. Rembulan terlihat separuh. Hanya sepotong kecil. Menggantung diantara langit yang masih cerah dan bayang-bayang keremangan malam. Tak berapa lama, guratan mega yang kemerahan mulai terlihat di ujung jauh bentangan awan. Seolah ingin mengalihkan keberadaan rembulan. Menepikan keindahan pucuk-pucuk cemara yang berderet rapi di tepian jalan.

Angin mulai berhembus kencang. Menerbangkan debu jalanan. Mendung pun menghantarkan gerimis tipis yang hampir tidak kentara. Kami bertemu untuk kesekian kalinya. Perempuan itu duduk dengan mata masih memerah. Jarak kami sangat dekat. Suara tarikan napasnya bahkan bisa terdengar jelas di telingaku. Kusibak beberapa anak rambut yang melintang di sebagian wajahnya. Ia begitu nampak cantik meskipun gurat kecemasan mulai jelas terlihat di sudut-sudut bening matanya.

Perlahan kuhadirkan senyum termanis di depan perempuan itu. “Kenapa lagi dengan rumah tanggamu? bukankan kalian sudah bisa hidup sendiri, sudah punya rumah sendiri,” Kucoba membuka obrolan. Perempuan itu hanya tersenyum kecil mendengar perkataanku. “Aku bosan dengan kehidupanku sekarang,” ujarnya dengan nada berat. Perempuan itu mengangkat dagunya yang lancip, menengadah ke arah langit yang membentang biru.

Ingin sekali rasanya kusibak kembali anak rambut yang kini mulai melintang di sekitar matanya itu. Tapi kali ini kuurungkan niat itu. Jemari ini rasanya sangat berat untuk diangkat. Hanya gerak bola mataku yang terus menangkap guratan cantik paras perempuan itu. Ingin aku menyentuhnya. Mengusap lembut pipinya. Membelai rambutnya yang panjang terurai dan memeluknya erat. Seperti yang biasa kulakukan saat kami sekolah dulu. Kenangan indah masa-masa itu.. Ah, biarlan tetap kuikat erat pada hatiku.

“Kamu ingat tidak, dulu kan aku jadi idola di sekolah. Semua mata teman-temanmu  pasti melirik ke arahku jika aku lewat depan kelasmu.” Perempuan itu mencolek hidungku. Matanya kini berbinar-binar. “Waktu itu, kamu salah satu yang mengejarku juga. Harusnya kamu sekarang berterimakasih. Dulu dengan tampang culunmu itu, mana ada yang mau sama kamu. Tapi karena aku baik hati, yaa aku menerimamu apa adanya,” Perempuan itu kemudian tertawa kecil. Sementara aku hanya bisa tersenyum mendengar celotehnya sore itu.

Kami memang pernah saling mencintai. Tapi saat itu, cinta bagi kami sangat sulit dipahami. Tepat sebelum kelulusan sekolah, perempuan itu tak lagi menyapaku. Entah bagaimana awalnya, hubungan kami berdua jadi serba kaku. Setelah lulus sekolah, kami kuliah di kampus berbeda. Persoalan yang membuat jarak bagi kami semakin lebar. Dan cinta seolah kian menjadi semu bagi kami berdua.

“Kita pesan makan yuk, perutku sudah mulai lapar,” segera kugenggam tangan perempuan itu. Menariknya ke arah antrian orang-orang yang memesan makanan. Tapi segera ditariknya jemari itu dari genggaman tanganku.“Hey.. jangan nakal ya. Aku udah ada yang punya loh,” ujarnya ketus. Tapi wajah dengan guratan cantik itu seketika tersenyum kembali. “Suamimu kan sedang kerja. Pegang sedikit kan tidak apa-apa,” ujarku menggoda. Perempuan itu tidak memperdulikan. Dia sudah asyik memilih menu makanan yang ingin dipesannya.

Sudah tiga jam lebih kami ngobrol di resto cepat saji itu. Bagiku, inilah saat yang paling bahagia. Kulihat perempuan itu juga merasakan hal yang sama. Raut kecemasan yang sempat kulihat tadi, kini berganti senyum yang mengembang. Ada saja bahan obrolan yang membuat kami tertawa bersama. Obrolan-obrolan yang sebenarnya tidak penting, malah justru membuat kami semakin dekat dan akrab.

“Aku hanya kangen dengan hal-hal seperti ini. setiap hari aku lelah dengan persoalan rumah tanggaku. Suamiku tak pernah punya waktu untuk hal-hal sepele seperti ini,” Perempuan itu tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Sepertinya aku harus tahu diri disaat ia membicarakan persoalan rumah tangganya. Posisiku saat ini hanya sebagai teman yang mencoba membantunya menghilangkan penat. Tak lebih dari itu. Kemudian kami saling terdiam dan bermain dengan perasaan masing-masing.

Kudengar rumah tangganya tidak begitu bahagia. Suaminya seorang dosen yang mengajar di sejumlah kampus ternama. Mereka belum dikaruniai anak meski usia perkawinan mereka mulai menginjak tahun ke lima. Sementara perempuan itu, ia berhenti bekerja dari salah satu perusahaan asuransi, setelah suaminya tidak mengijinkannya lagi untuk tetap bekerja. Setelah tiga tahun berumah tangga tak jua mendapat momongan, suami perempuan itu menganggap faktor kelelahan setelah bekerja menjadi salah satu penyebab mereka tak kunjung mendapatkan momongan.

Setahun terakhir, perempuan itu kudengar rajin mencari keberadaanku melalui media sosial dan sejumlah teman yang kukenal. Aku tak mengerti kenapa ia melakukan itu. Akupun awalnya bersikap acuh dengan keberadaannya itu. Perempuan itu, sudah kuanggap sebagai kepingan episode lama yang terkubur jauh di dalam hatiku. Aku sendiri saat ini sedang menjalin hubungan serius dengan seorang wanita. Kami bahkan berencana mau menikah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun