Mohon tunggu...
Ali Usman
Ali Usman Mohon Tunggu... Jurnalis televisi -

Pernah bekerja untuk koran Merdeka, IndoPos, Radar Bekasi, Harian Pelita, Majalah Maestro, Harian ProGol, Tribunnews.com (Kelompok Kompas Gramedia), Vivanews.com, kini di TVRI nasional. * IG aliushine * twitter @kucing2belang * line aliushine * blog www.aliushine.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sembilan Lelaki Purnama

6 September 2016   10:52 Diperbarui: 6 September 2016   11:16 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar: dagospia.com"][/caption]Malam kian temaram. Purnama kali ini tak seindah biasanya. Cahayanya pias tergerus mendung yang tak pernah hilang di mata gadis itu. Angin malam telah memaksanya mendaki pegunungan cinta. Tapi angin itu juga telah melemparnya ke tebing terjal penuh jurang derita.

Gadis itu memejamkan mata. Ia tak mau mendung tiba-tiba menurunkan gerimis dalam hatinya. Ia telah lama terluka karena cinta. Baginya, cinta tak ubahnya nestapa. Tak seorangpun mau berkawan nestapa. Tidak juga baginya. Ia telah pendam cinta itu dalam-dalam.

Lalu ia terbangun. Purnama kali ini, seorang pemuda kampung datang padanya. Menawarkannya jalan menjelajah ke awan-awan. Membawakannya sepasang sayap, mengajaknya memadu kasih di antara bintang dan cahaya rembulan. Lelaki itu datang membawa puisi disaat purnama tengah pucat pasi.

Puisi menghantarkan lelaki itu ke depan pintu hati si gadis. Tapi gadis itu masih ragu. Ia sudah melewatkan sembilan purnama dengan hati berserakan. Pecahannya bahkan masih ia genggam erat hingga malam ini. Semakin ia genggam, semakin sakit ia rasakan. Pecahan itu menusuk, menyayat, membuat luka menganga pada jemari gadis itu.

Ia ingin melepas pecahan itu. Membiarkannya menguap ke awan. Ingin ia hempaskan. Ingin ia lupakan. Tapi kadang ia tak sanggup. Kadang ia masih takut. Rasa itu begitu lekat padanya. Cinta memang punya garis tipis antara suka dan benci. Dan ia lebih banyak berjalan di garis benci. Gadis itu hanya bisa menangis.

"Aku ragu padamu. Seperti raguku pada sembilan purnama yang lebih dulu menjumpaiku." Gadis itu berbisik tenang pada debur ombak di tepian pantai.

Ia mulai berjalan diantara pantai dan tebing-tebing terjal hatinya.

"Bagiku, luka demi luka telah terbuka menganga. Menerimamu sama seperti memahat sembilu yang bisa melukaiku kapanpun. Kau bagiku sama saja tiada beda dengan mereka." Gadis itu terus berbisik pada debur ombak pinggir pantai.

Purnama kian tertutup kabut. Gadis itu lantas melihat ke arah sang lelaki. Dia yang datang pada saat purmama pucat pasi. Lelaki itu terlihat mulai terluka. Erat ia pegang hatinya yang mulai retak. Beberapa bagian sudah pecah berjatuhan di atas pasir. Lelaki itu tak kuat menahan sakit. Ia menangis.

Gadis itu tak mengerti. Tiap kata dari bibirnya kini mulai melukai sang lelaki. Ia tak lagi bisa bercerita seperti dulu. Setiap puisinya adalah sayatan. Setiap kata dari bibirnya adalah goresan. Senyumnya kini ibarat tusukan belati. Menghunus tajam. Ia tak tega. Gadis itu meminta sang lelaki segera berlalu.

"Kau datang padaku menawarkan hati yang biru. Tapi badai telah lebih dulu merenggut hatiku. Tidak ada lagi yang bisa kuserahkan padamu." Gadis itu berbisik pada angin yang berhembus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun