Lelaki itu menengadah ke langit. Seraut wajah kosong yang datang saat purnama pucat pasi itu kian terlihat memudar. Lelaki itu mau roboh. Ia kini berjalan tak tentu arah. Melangkah dengan hati berceceran di atas pasir, berjalan kemana angin membawa.
Lelaki itu tulus ingin mengabdikan cintanya pada gadis itu. Ia tahu sembilan purnama sebelumnya telah merenggut senyum gadis itu. Tapi ia tak bisa menahan cinta dalam dadanya. Keinginan itu begitu kuat. Sulit untuk dilawan, dihilangkan.
Tapi matahari telah berjalan sejengkal menuju mati. Gadis itu menutup erat pintu hati pada guratan awan yang pasi. Badai belumlah laju di dada gadis itu. Baginya, lelaki purnama kali ini sama seperti debu yang diterbangkan angin. Hanya sepintas datang lalu ia kan menghilang.
Gadis itu terlihat mulai menutup matanya. Menahan laju tangisan yang tiba-tiba ingin keluar. Sepintas ia melihat lelaki itu terus berjalan pada awan yang beriringan. Pada ombak yang berdebur. Pada angin malam yang ringan berhembus. Langkahnya kian lunglai. Lelaki itu tersungkur di tepian tebing curam.
Gadis itu bimbang bukan kepalang. Tangisan rupanya tak bisa menolong kegalauan hatinya. Ia tak tega melihat lelaki itu mau mati. Gadis itu mulai melangkah mendekati. Tapi bayangan lelaki lain yang datang pada sembilan purnama sebelumnya, kembali menghampiri. Gadis itu menjerit. Kepalanya mulai berat. Pikirannya membuncah.
Purnama kian temaram. Gadis itu tak sanggup lagi berdiri. Sembilan lelaki yang datang di saat purnama yang lalu telah mencabut nyawa cintanya. Tak ada lagi yang tersisa bagi lelaki yang datang lewat puisi itu. Gadis itu hanya bisa melanjutkan tangisnya. Menyaksikan lelaki di depannya perlahan mati. (*)
Â
Beirut, Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H