Mohon tunggu...
Aliurridha
Aliurridha Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah dan penulis lepas

Menulis untuk tetap waras

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Please, Jangan Sembarangan Menggunakan Google Translate dalam Menerjemahkan Naskah Publikasi

22 Mei 2020   15:39 Diperbarui: 22 Mei 2020   15:58 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah pesan masuk ke WA grup yang seketika itu juga membuat saya berserta teman-teman dalam grup itu tidak henti-hentinya tertawa membahas pesan tersebut. Pesan itu berupa gambar hasil tangkap layar dari salah seorang teman dari mesin pencarian Google. Gambar tersebut menunjukkan beberapa publikasi dari repository sebuah kampus di kota Malang. Yang lucunya adalah pada abstraknya penulis menerjemahkan kota Malang sebagai Unlucky City, nama ini mungkin akan terkenal sebagai nama lain Kota Malang.

Sepertinya penulis menerjemahkan naskah tersebut menggunakan Google Translate tanpa melakukan post-editing dan menganggap cukup hasil terjemahannya sudah cukup bisa dimengerti. Mungkin lebih tepatnya dimaklumi sebagai tugas akhir dari negeri +62 yang memang tidak untuk dibaca hanya untuk syarat lulus saja.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Google Translate (GT) sebagai mesin penerjemah memang mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan masif. Sepuluh tahun lalu saya pernah mencoba menerjemah menggunakan GT hasilnya sangat buruk. Seiring waktu berjalan GT memperlihatkan hasil yang luar biasa namun bukan berarti GT sudah mengalahkan kemampuan penerjemah manusia. Paling tidak untuk saat ini belum. Jadi kalian para pengais rezeki dari jasa terjemahan masih bisa bernafas lega untuk beberapa tahun ke depan karena lapak kalian belum sepenuhnya diambil alih oleh mesin.

Meski begitu tetap saja perkembangan GT yang begitu masif ini menakutkan buat para penerjemah karena semakin kesini lapak pekerjaan semakin terbatas seperti menerjemahkan dokumen atau publikasi penelitian untuk jurnal atau prosiding. Apalagi ditambah dengan banyaknya orang yang menyadari perkembangan hasil terjemahan GT telah sampai pada titik dapat dimengerti. Saya tekankan lagi ya, dapat dimengerti.

Menurut Larson (1984) ada tiga aspek yang dilihat untuk menilai hasil terjemahan bisa dikatakan baik, yakni aspek akurasi, keberterimaan, dan keterbacaan. Hasil terjemahan yang akurat belum tentu berterima. Seperti halnya Kota Malang yang diterjemahkan menjadi Unlucky City yang sebenarnya akurat namun tidak berterima karena bagaimanapun itu adalah nama kota buka sesuatu yang memiliki makna.

Jangan salah paham ya para warga Malang, saya tidak sedang mengatakan bahwa kota Malang tidak bermakna, namun Malang sebagai kota tidaklah bermakna malang sebagai kata sifat seperti Unlucky City itu yang jika diterjemahkan balik ke bahasa Indonesia menjadi kota yang malang. Hasil terjemahan ini akan membuat pembaca bahasa sasaran keliru dalam memahaminya. Jadi ini yang saya maksud dengan dapat dimengerti, dapat dimengerti bahwa hasil terjemahan GT masih harus melalui yang namanya post-editing.

Saya sebagai pelaku dalam industri penerjemahan tidak memungkiri bahwa GT telah banyak mempelihatkan perkembangan yang luar biasa sebagai alat bantu terjemahan. Alat bantu ya, bukan sebagai pengganti penerjemah manusia. Karena melihat perkembangan GT yang luar biasa itu dan didorong oleh keinginan luhur untuk membantu para pengguna GT untuk menggunakan GT dengan tepat sekalian memperlihatkan GT belum layak untuk menggantikan penerjemah manusia, maka pada tahun 2019 saya melakukan penelitian yang membandingkan bagaimana GT menerjemahkan dua jenis teks berbeda.

Ini penelitian serius lho, saya tidak sedang bercanda. Kalian bisa baca hasil penelitian saya di Jurnal Leksema, Vol 4, Isu 1, tahun 2019. Penelitian itu bertujuan untuk melihat proporsi post-editing yang perlu dilakukan penerjemah dalam menerjemahkan dua jenis teks yang berbeda, teks informatif dan ekspresif. Teks informatif biasanya dikaitkan dengan teks-teks non-fiksi dengan nuansa bahasa yang lugas, seperti karya ilmiah, artikel, berita, dll. Sedangkan teks ekspresif adalah teks-teks yang menggunakan bahasa yang menonjolkan unsur estetika, seperti pada karya sastra yang meliputi puisi, cerpen, maupun novel.

Selain itu penelitian itu juga untuk mengungkap fitur linguistik apa yang perlu diperhatikan ketika menerjemahkan menggunakan GT. Hasil penelitian menunjukkan pada teks informatif GT boleh saja digunakan untuk menerjemahkan teks secara langsung selama tetap melakukan post-editing. Namun jangan sekali-sekali menggunakan GT secara langsung untuk menerjemahkan teks ekspresif kecuali untuk menguaraikan makna dan pesan.

Untuk aspek linguistik yang perlu diperhatikan dalam menerjemahkan menggunakan GT salah satunya adalah proper nouns. Yang termasuk proper nouns adalah nama diri, nama kota, nama julukan, termasuk nama mantanmu yang kamu tulis di skripsi yang ujung-ujungnya putus juga. Jadi mbok ya kota Malang iku jangan ikut diterjemahkan pak.

Jadi saran saya kalau kalian masih mau menerjemahkan menggunakan GT, boleh saja tapi paling tidak punya kemampuan bilingual dari bahasa yang diterjemahkan dan juga pemaham linguistik dan budaya yang cukup. Atau jika memang terpaksa boleh saja menerjemahkan ke bahasa ibu untuk teks informatif karena kalian pasti memahami kaidah bahasa dan budaya dari bahasa ibu kalian. Kalau tidak tahu kan keterlaluan.

Untuk menerjemahkan ke bahasa lain yang tidak kalian kuasai baik kaidah linguistik dan budayanya lebih baik serahkan pada ahlinya apalagi jika kebutuhannya adalah untuk publikasi baik itu di jurnal, prosiding, maupun repository kampus. Jangan mentang-mentang Harari mengatakan bahwa suatu saat mesin akan mengalahkan kapasitas manusia dalam berbagai bidang dan memunculkan kelas baru, kelas manusia tidak berguna jadi kalian menganggap GT sudah cukup untuk menerjemahkan naskah penting yang bisa dibaca oleh banyak orang.

Hati-hati kawan, dulu skripsi dan thesis hanya tersimpan di perpustakaan yang jarang sekali dibaca orang. Sekarang semuanya terbit online dan masuk ke mesin pencarian Google yang bisa dibaca oleh orang di seluruh penjuru dunia. Daripada jadi aib seumur hidup lebih baik serahkan pekerjaan itu kepada kami para penerjemah yang sedang terhimpit oleh kebutuhan ekonomi yang semakin tidak tercukupi dan susahnya lapangan pekerjaan

Artikel ini pernah terbit di Terminal Mojok, 10 Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun