Dalam kamus onlen Bahasa Indonesia (KBBI online) ketika saya mengetikkan kata mudik untuk mencari makna ada dua maknanya. Pertama, mudik dimaknai berlayar atau pergi ke udik (hulu sungai, pedalaman). Kedua, pulang ke kampung halaman. Sedangkan frasa pulang kampung ya dimaknai pulang ke kampung halaman atau mudik. Loh kok tidak berbeda ya?
Karena tidak berbeda bisa disimpulkan secara semantis mudik dan pulang kampung memiliki makna yang sama. Namun itu hanya terjadi ketika kata mudik dan frasa pulang kampung ini berdiri sendiri tanpa ada kata lain yang menggandengnya atau tidak muncul dalam suatu konteks tertentu.
Sebut saja makna semantis ini adalah makna lapis pertama. Beda lagi ceritanya pada makna pragmatis yang menyangkut konteks penggunaannya pada situasi tertentu.
Mudik dan pulang kampung menjadi entitas makna yang berbeda kata ia muncul dan digunakan oleh Presiden Jokowi pada konteks situasi tertentu. Ketika Najwa Shihab menunjukkan bahwa data Kemenhub sudah hampir 1 juta orang curi start mudik. Presiden Jokowi menjelaskan itu bukan mudik tapi pulang kampung.
Bagi Presiden, mudik dan pulang kampung itu berbeda karena dipengaruhi oleh waktu dan pelaku. Ketika waktunya belum mendekati hari raya tidak dianggap mudik tapi pulang kampung.
Mudik adalah ritual rutin yang terjadi setiap hari raya, waktunya konsisten dan tidak berubah. Sedangkan pulang kampung menurut Pak Presiden terjadi ketika pelakunya sudah tidak memiliki pekerjaan di kota. Sebut saja perbedaan makna secara pragmatis ini sebagai makna lapis kedua.
Lantas bagaimana dengan makna politis yang ada dibalik perbedaan kata mudik dan pulang kampung sesuai tuturan Presiden?
Ada makna politis yang membedakan antara mudik dan pulang kampung dari apa yang disampaikan Presiden.
Secara politis pernyataan Pak Jokowi itu bermakna ya tidak apa-apalah mereka pulang kampung karena kangen keluarga. Tidak mungkin mereka dibiarkan tinggal di kota tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan. Perusahaan saja sudah banyak merumahkan karyawannya. Jika dipaksakan nanti mereka jadi begal di kota.
Pemerintah tidak mungkin sanggup untuk menyiapkan kebutuhan mereka di Jakarta yang jika dihitung-hitung bisa mencapai 500 miliar perhari. Untuk sepuluru hari saja angka yang keluar sudah 5 triliun. Bagaimana jika ternyata wabah ini tidak berhenti sampai tiga bulan? Bagaimana jika tidak berhenti sampai satu tahun?
Pulang kampung adalah pilihan paling logis yang bisa dilakukan oleh mereka yang sudah tidak punya penghasilan di kota. Negara tidak akan kuat menanggungnya.