Mematikan Islam dan agama-agama adalah pekerjaan terberat di zaman ini, yang justru inilah letak awal kegagalan sebuah agama. Hal ini disebabkan hampir setiap orang lahir dan tumbuh dengan kesadaran beragama, yang sayangnya dengan etos tertutup. Di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, pujian karena beragama adalah nilai yang sangat baik dan tertanam kuat. Kesadaran ini ditumbuhkan perlahan pemeluknya dengan kesadaran ideologis yang positif. Dalam artian beragama dijadikan solusi sepihak untuk semua masalah, baik individu maupun masyarakat.
Persoalan lebih jauh adalah sikap ini akhirnya menutup ruang kritis untuk melihat dimensi dan kemungkinan lain dari Islam dan agama-agama yang berada dalam ruang dan waktu yang bergerak. Pada sisi lain, Islam dan agama-agama mulai terlihat tak relevan dalam kecanggihan zaman bagi eksistensi sebagian manusia dan masyarakat kecuali sekadar simbol identitas yang mapan, kurang mencerahkan. Sayangnya, sikap ini dipandang bukan persoalan oleh kalangan mayoritas, dan ketika dipertanyakan malah dituduh mengancam, mencela atau merendahkan martabat Islam dan agama-agama.
Sebenarnya, menutup kemungkinan pembacaan lain terhadap Islam dan agama-agama di zaman ini, sebaliknya adalah sebuah etos yang mematikan Islam dan agama-agama. Ketika suatu ajaran gagal merespon keinginan dan kepentingan sejati manusia, maka kematiannya telah tiba. Tentu disayangkan ketika potensi sebuah ajaran dan pemikiran dimatikan oleh hasrat kekuasaan dan identitas tertentu.
Islam dan agama-agama apa pun selalu terbarukan dalam perubahan zaman. Sebab ajaran apa pun sesungguhnya hanya respon manusia (pemikiran manusia); para pemeluknya terhadap ruang dan waktu kekinian. Jadi sejatinya tak ada lagi cara pandang beragama di masa lalu. Hal ini seharusnya berlaku dalam beragam jenis pemikiran manusia juga. Prinsipnya adalah nalar dan masa kekinian manusia menciptakan ajaran dan pemikiran baru sebagai respon terhadap kematian ajaran dan pemikiran masa lalu.
Memang tak ada jaminan setiap orang menemukan Islam, agama-agama dan pemikiran besar lainnya sebagai kesadaran yang sempurna. Justru itulah letak menarik dan kesempurnaan suatu ajaran agama dan pemikiran. Ada ruang berijtihad menyesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan manusia. Walaupun, ada cacat bawaan yang dimiliki oleh manusia, bukan hanya karena keterbatasan manusia tetapi juga soal tak pernahnya ruang dan waktu itu menjadi utuh. Belum lagi ketika melihat kebutuhan praktis manusia untuk hidup dan berkuasa. Namun, tugas manusia adalah berijtihad tanpa tendensi melainkan karena cinta dan kesadaran terhadap proses menyempurnanya ajaran dan tugas penafsiran manusia.
Etos keterbukaan Islam dan agama-agama ini menjadi sangat berarti ketika melihat dengan cermat pola-pola beragama dalam masyarakat. Sebagian orang mendalami agama namun cenderung identik dengan pemikiran atau mazhab tertentu misalnya Islam ala Muhammadiyah atau NU, Islam Syiah, Islam ala Saudi dan sebagainya. Ke-ala-an ini cenderung tertutup dan menyalahkan yang lain. Etos keberagamaan yang belum matang dan mudah tergelincir dalam intervensi kekuasaan maupun provokosi pemimpin secara individual.
Sebagian yang lain hanya belajar agama seadanya dengan semangat beribadah yang tinggi, namun mereka lebih memilih menempuh pendidikan umum dan kehilangan sensivitas pemikiran beragama yang dinamis melainkan sebagai hanya basis doktrin moral dan politik yaitu obat semua penyakit zaman. Nah, mereka pun cenderung tertutup dan juga sebenarnya berkontribusi terhadap kematian pemikiran suatu agama. Artinya niat baik yang akhirnya berbuah simalakama di masa depan.
Islam yang terbuka sebenarnya punya tujuan yang mulia untuk menjadikan Islam sebagai nilai moral yang dinamis dan lebih aktif dalam merespon kebutuhan zaman dan manusia. Islam dan ajaran agama yang hanya dianggap sebagai basis moral yang kaku, statis saja tentu telah kehilangan salah satu dimensi terbaik dari sebuah ajaran yang baik yaitu penalaran manusia, yang tentu saja harus jernih dan mencerahkan zaman.
Ketika kepentingan manusia hari ini adalah menghidupkan suatu ajaran dalam kehidupan manusia maka jalan ke sana sebaiknya dilakukan dengan membuka cara pandang seluas-luasnya bahwa agama sangat mengapresiasi ijtihad nalar manusia. Maka para pemeluk Islam dan agama-agama yang ada lebih siap menerima perspektif yang tumbuh dan dapat membedakan antara Islam yang mereka pahami dan Islam yang sedang diperdebatkan untuk mencari kemungkinan tafsir baru suatu ajaran.
Jadi, Islam sesungguhnya dan agama agama apa pun itu, pada dirinya ada keterbukaan yang disebut Ijtihad. Justru kesempurnaan Islam dan agama agama adalah keterbukaannya kepada zaman dan pandangan manusia di zaman itu untuk menyesuaikan dan mengembangkan lebih jauh suatu ajaran dalam situasi-situasi tertentu.
Prasyaratnya adalah keterbukaan ummat yang tidak tiba-tiba alergi dengan pandangan yang unik. Nah, di titik inilah misalnya pemikiran Ulil Abshar Abdallah sangat baik, bukan saja karena Ulil pun masih mengacu kepada luasnya cakrawala sejarah dan teks pemikiran Islam tetapi juga ia memberi pandangan-pandangan yang segar terhadap zaman kita hari ini. Misalnya diskusi Miras dengan Fahira Idris di Twitter. Tentu saja, pemikiran keterbukaan yaitu Islam sebagai ruang ijtihad tidak harus melukai pemahaman mayoritas sebab hanya sebuah alternatif pandangan saja. Dalam artian, masyarakat Islam dan pemeluk agama harus lebih cerdas, tidak sensitif dan menyadari zaman kita sudah sangat berbeda. Kita hidup di zaman saling senggol dan kritik via Facebook dan Twitter. Dan hakikatnya, pandangan Islam dan agama-agama yang responsif terhadap perkembangan zaman lebih dapat diterima oleh para intelektual karena memastikan Islam memiliki dimensi sains.
Kritik satu-satunya kepada pemikir-pemikir agama kekinian, tinggal kritik profesionaldan aksi revolusioner tambahan saja agar tak terjebak kepada siapa yang harus bernalar, berkata dan lupa tujuan sebuah pemikiran. Jadi penting membuka ruang berpikir untuk siapa pun yang punya kemampuan untuk membuka horison pemikiran manusia terhadap Islam, agama dan pemikiran klasik apa pun secara jernih, murni dan bertanggung jawab, dan bukan sebab kepentingan tertentu sebagaimana marak hari ini, berkaitan dengan kepentingan kekuasaan politik, uang dan bahkan mazhab tertentu. Namun yang lebih prioritas adalah membawa dinamika pemikiran tersebut secara inklusif dan populis kepada aksi lanjutan yaitu revolusi membela rakyat kecil, merawat generasi dan mencerahkan negeri ini.
Notes'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H