Mohon tunggu...
Thaufan Malaka
Thaufan Malaka Mohon Tunggu... profesional -

Eksistensialis-Belajar Menulis Revolusi

Selanjutnya

Tutup

Humor

Mogok Dokter Nasional 11/27: Sinisme, Anti-Sinisme dan Agenda yang Lebih Besar

28 November 2013   15:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:34 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1385624573623969135

[caption id="attachment_280802" align="aligncenter" width="640" caption="Sepeda mogok sejenak di bawah Sakura musim gugur di sudut kampus Nagoya University "][/caption]

Saya setengah hidup lagi menaklukan kebosanan mencari titik focus dalam proses menulis tesis. Jadi tak ada salahnya menulis isu kesehatan paling seksi pasca Reformasi tentang kriminalisasi dokter dan mogok. Tentu dengan kedangkalan perspektif saya yang anti-sinisme ala Slavoj Zizek, menerima semua jenis argumentasi kritis yang diyakni dan diperjuangkan. Ini juga melanjutkan diskusi yang dihadirkan oleh saudara Asri Tadda di media social, yang menurut saya, pribadi dan catatan media sosial beliau sebaiknya dibaca dalam konteks filsafat Julian Benda yaitu intelektual yang ingin menjadi otentik, menolak untuk berkhianat, dan kajian Gidden tentang resiko sebuah peradaban, bertabur media social. Saya selalu harus percaya bahwa kebenaran di ruang social manusia itu tampak permukaan senyatanya tergantung ruang, waktu dan posisi dalam kasus tertentu. Makanya ia kompleks sekompleks kepentingan manusia itu sendiri. Tentu banyak teori yang canggih bisa menyelesaikan ini. Biar orang pandai dan waktu yang mengamini. Jika melihat kasus kriminalisasi dokter dan mogoknya, saya hanya bisa mengelus dada dan menepok jidat menjadi pengamat kecil berbagai posisi dan cenderung menyetujui semua posisi argumentasi yang ada. Bukan karena plin-plan tapi betapa satirnya mencoba memahami kebenaran di ruang social yang tak hitam apalagi putih. Mereka yang melakukan dan mendukung aksi, bagi saya lumrah-lumrah saja, sebab kita hidup di negeri yang gonjang-ganjing, di mana isu social secepat pergantian status di facebook tapi tak pernah selesai. Maklum ini proyek demokrasi yang tak selesai ala Habermas. Tentu solidaritas kelompok itu penting tak hanya (memburu rente) tetapi juga dalam memperjuangkan idealisme jangka pendek dan panjang. Di tambah lagi hukum kita dalam banyak catatan, semua kurang jelas dan serba tidak pasti. Yang jelas adalah kesamaran dan ketidakpastiannya. Ketika hukum berubah entah benar atau salah. Tipis. Mencari celah hukum akan dilakukan. Dalam teori social mainstream yang berseliweran, kita sering mengenal adanya kelompok lobby dan penekan yang diyakini semua pihak secara apriori bisa efektif. Soal benar, salah dan imej public adalah cerita lain. Indonesia kita belum beranjak jauh dari era otoriter, dan baru belajar memulai mendiskusikan di ruang penalaran public tentang Human Rights, Global Justice dan entah sebagainya. Nada-nada seperti ini masih pasti akan terlihat lazim ke depan di mana banyak kelompok kepentingan akan mulai membangun gerakan social kecil-kecilan untuk mengamankan kepentingan ekonomi politiknya baik jangka pendek dan panjangnya. Momentnya seringkali terbuka hari ini. Jangan kaget jangan heran. Ini menuju 2014 dan periode katastropik masa depan peradaban manusia. Aksi dan mogok kaum dokter (konon latar dokter itu sangat berperan dalam membangun nasionalisme modern Indonesia, lihat novel Pram) boleh jadi klimaks dari fenomena gunung es persoalan kesehatan di Indonesia yang menggmabarkan demikian parahnya. Dokter saja yang diasumsikan professional, stabil secara intelektual dan emosional sudah mulai teriak. Kalau rakyat dari kemarin mengelus dada. Jika saja aksi-aksi ini yang tentu sah-sah saja bisa memicu kelompok kepentingan lain bersinergis bersama rakyat untuk mendorong gerakan social revolusioner-sistemik di negeri kita. Sebab di bawah bendera patron demokrasi hari ini sulit membayangkan menyusun strategi gerakan revolusi klasik di mana ketika terbangun esok pagi semua telah berubah ideal. Ini bisa menjadi harapan yang melampaui isu kriminalisasi dan mogok. Perbaikan agenda kesehatan secara sistemik mencerminkan kepedulian semua terhadap salah satu hak paling asasi manusia. Ini harus dipejuangkan bersama dengan tetap menitip satu mata kita terhadap masalah-masalah krusial lain semisal korupsi, krisis kepemimpinan, pendidikan, lingkungan dan banyak lagi. Butuh kapabilitas Negara, dokter dan masyarakat agar tak menyerah pada fenomena negara salah urus. Ini bisa dimulai dari suara-suara kritis kelompok kepentingan masing-masing. Menolak aksi dan mogok dengan nalar sejati keberpihakan kepada kebenaran dan proses keadilan hukum, dan tentu juga cermin fenomena gunung es atas kekecewaan terhadap mentalitas pelayanan dokter di negeri ini yang tak semua tapi lazim dijumpai tak humanis. Tentu karena banyak factor. Di tambah rahasia umum rakyat kecil di negeri ini banyak yang menjadi korban malpraktek dan saat yang sama hukum tak ditegakkan. Bagi kita kadang kebenaran itu sangat jelas ketika digantungkan pada fenomena rakyat kecil. Siapa pun membenarkan. Apalagi kita rakyat kecil. Jika hanya melihat kedua posisi ini, lalu mencoba melihat dalam kerangka psikologis perdebatan dan aspek sosiologis dinamika keIndonesiaan kita rasanya, saya tak mau dan tak bisa mengatakan ini yang paling abash alias sahih karena itu sebaiknya saya mengatakan kita harus melampaui isu moralitas standard ini dan mecoba lebih substantive. Parahnya, ketika kita mencoba menakar dengan parameter ini, pikiran kita dibajak dengan isu baru yang berdatangan. Ini lumrah di Negara krisis legitimasi. Akan ada hidden agenda di balik isu-isu baru yang by design atau mentalitas kita menutup isu-isu besar dan lebih penting di negeri ini. Mari kita rayakan. Ada tulisan sejuk dari filsuf popular Bung Yusran Darmawan “Belajar dari Dokter Amerika”, mencoba melihat dari kerangka berbeda berbasis pengalaman beliau di Negara maju, Amerika sana di mana masalah-masalah kecil yang bisa memicu fenomena gunung es kekecewaan dan frustasi public teratasi. Pola komunikasi dan pelayanan yang maksimal “sakit berobat dulu, administrasi birokrasi, uang belakangan”. Situasi ini pun saya alami ketika putri saya dilahirkan di salah satu rumah sakit pemerintah Jepang. Keluarga saya dilayani maksimal dengan system komunikasi humanis dan administrasi yang terintegrasi. Malah saya sempat bingung karena belum punya pengalaman sebelumnya apakah semua proses pra dan pasca melahirkan 5 hari di rumah sakit dibayar atau tidak. Soalnya tak ada sedikitpun pembicaraan tentang uang. Tentu kami ikut asuransi sebagai kewajiban bernegara di sini. Dalam kasus lain, system medis di Jepang bersandar pada harmonisasi pola hidup sehat manusia, kearifan menjaga alam, dan profesionalitas dokter yang dipanggil sebagai Sensei (orang ahli dalam bidangnya). Yah ini fenomena kecil dari apa yang saya sebut agenda besar dalam gerakan social kelompok kepentingan. Gerakan mencoba upaya integrasi holistic system kesehatan kita agar soal-soal kecil seperti kles psikologis tak menjadi gunung es kesedihan dan bom waktu. Tentu dengan modal semangat dulu dan bukan mental poskolonial. Di Negara maju Amerika saja, Obamacare masih kritis dihantam perbedaan politik. Jika mungkin semua harus terlibat mengusung isu-isu social yang lebih besar lagi ke depan. Biarkan bola demokrasi oleh semua kalangan dan kelompok kepentingan bergulir. Mari kita nonton, tunggu hasilnya tentu dengan catatan kita semua korban yang berharap. Tapi hukum harus tetap tegak tanpa pandang bulu walaupun langit akan runtuh. Benar akan datang dengan jelas tak berpihak kecuali pada dirinya. Jaalhaq wazahaqalbatil. Nagoya Daigaku, 28 November 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun