Mohon tunggu...
Alit Dichan
Alit Dichan Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Informatika yang menyukai Biologi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Awan Mendung dari Pulau Seberang

6 Oktober 2014   22:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:09 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pagi itu adalah hari Jum’at 19 Nopember 2012, tahun pertamaku di Bandung. Aku berpakaian rapi menggunakan seragam Taruna dengan sebuah topi dan tas taruna warna hitam hendak berangkat ke kampus tempat aku kuliah di Jalan Gatot Subroto, tepat sebelah timur Trans studio Bandung. Sepatu warna hitam yang sudah aku semir seolah hendak berangkat bekerja di sebuah kantor berlantai tujuh.

Jam menunjukkan 04.15 AM. Udara dingin Kota Bandung menyelimuti lengan dan tubuhku, menyusup melalui kerah dan lengan seragam Taruna yang akau dapat beberapa hari yang lalu. Dua menit kemudian aku menyetop sebuah angkot berwarna hijau bertuliskan “Cileunyi-Cicalengka”.

Angkot itu akan membawaku ke stasiun Cicalengka yang berjarak 2 kilometer dari tempat aku tinggal. Hanya ada 4 orang penumpang waktu itu. Seorang ibu yang hendak kepasar, dua orang bapak-bapak dan seorang lagi adalah aku. Tidak ada obrolan apapun antara aku dengan ke tiga penumpang yang lain. Aku belum mengerti bagaimana berbicara menggunakan Bahasa Sunda yang benar. 5 menit kemudian angkot itu berhenti di depan Koramil Cicalengka. Aku segera turun agar tidak ketinggalan kereta yang akan membawaku ke stasiun Kiaracondong. Aku keluarkan 4 koin uang lima ratusan dari saku celana kiriku, lalu bergegas menuju stasiun yang berjarak 200 meter sebelah selatan dari jalan utama.

Pagi itu kereta KRD jurusan Stasiun Padalarang datang terlambat 5 menit dari biasanya. Aku bergegas masuk ke Peron (tempat menunggu kereta datang di dalam stasiun) dan menunjukkan tiketku seharga Rp. 1000 yang berwarna hijau ke petugas penjaga pintu masuk, dengan menahan kantuk akibat sisa lelah dari DIKSAR TARUNA di SECAPA beberapa hari yang lalu, aku pakasakan kakiku menaiki kereta gerbong ke tiga di stasiun Cicalengka. Aku sengaja memilih tempat duduk yang kosong dekat pintu keluar, agar pada saat sampai di Stasiun Kiaracondong, aku bisa dengan mudah keluar tanpa harus berdesak-desakan dengan penumpang lainnya.

Satu persatu penumpang mulai memenuhi kereta, ada beberapa penumpang yang harus berdiri karena tidak mendapatkan tempat duduk yang sudah disesaki oleh ibu-ibu. Disamping kananku seorang bapak tua dengan wajah yang lesu menahan kantuk, sesekali ia menguap lalu memejamkan mata melanjutkan tidurnya. Seebelah kiriku seorang karyawati yang sibuk membereskan make-up nya yang sempat tertunda karena pedagang Tahu Sumedang yang berlalu lalang tidak beraturan didepannya. Aku memperhatikan satu persatu wajah penumpang pagi itu. Tampak sebagian dari mereka menahan kantuk yang luar biasa, sebagian lagi sudah tertidur pulas diatas kursi.

Salah satu petugas PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api) memberikan aba-aba tanda kereta siap di berangkatkan. Aku mendekap tas TARUNA ku yang berwarna hitam, ku peluk erat guna mengurangi udara dingin yang masuk dari jendela yang berada tepat dibelakangku. Kereta perlahan berjalan menyusuri inci demi inci rel kereta yang terpasang rapi diatas tanah. Sesekali aku bersandar, memejamkan mata menghilangkan rasa kantukku, sesekali juga aku membuka mata menyaksikan pemandangan pagi dan hamparan sawah yang terbentang luas. Sawah-sawah itu tidak berbeda jauh dengan sawah milik orang tuaku yang ada di Desa Tajjen, Madura, lalu aku kembali memejamkan mata.

Beberapa menit aku memejamkan mata, terdengar ringtone khas Nokia disaku kanan seragam Taruna ku. Aku lihat sebuah nomer tidak ada namanya masuk memanggil. Aku sempat berfikir, orang ini tidak ada kerjaan menghubungiku pagi-pagi. Dengan berat hati sambil mengucek kelopak mataku, aku mengangkat telpon itu berharap bunyi ringtone nokia itubtidak membangunkan bapak yang sudah terlelap tidur disebelah kananku.

“Hallo Mat Nor, be’en bedeh edimmah, pasabber yeh. Enni ‘ in be’en sateyah tade’ omor” (Hallo Mat Nor, kamu ada dimana sekarang. Sabar ya. Enni’ kamu sekarang meninggal dunia), suara perempuan yang aku kenal itu mengagetkanku, memberikan kabar yang membuatku tidak bisa berkata apa-apa. Semuanya serasa berhenti, diam memaku. Kedua mataku berkaca-kaca, batinku terguncang hebat, nafasku sesak lalu sedetik kemudian air mataku tumpah mengalir tanpa bisa ku bendung.

Teringat pada satu wajah seorang wanita luar biasa yang sudah membesarkanku sedari aku kecil. Wanita hebat, tekun, ulet, sabar dan yang paling mengerti aku didunia ini. “Mat Nor pasabber yeh, Dinah je’ tangisih enni’ in. du’a agi beih. Mole be’en telpon kakak an” (Mat Nor sabar ya. Biarkan, jangan tangisi enni’ kamu. Doakan saja. Pulang telpon kakak mu), suara didalam telpon yang masih aku genggam itu mencoba menenagkanku.

Kereta KRD Ekonomi itu masih tetap berjalan, menghiraukan gejolak batinku yang memuncak, lalu ia berhenti tepat disebuah stasiun bertuliskan “HAURPUGUR”. Aku tetap diam mematung, menahan rasa sesal yang teramat sangat, seskali aku menyeka air mataku meggunakan jaket coklat yang aku bawa dari rumah. Namun, tetap saja air mataku menetes seperti gerimis sedang sepanjang hari.

Hari ini aku kehilangan peri pelindungku. Ia bukan ibu kandungku. Ia seoarang wanita dari tanah Jawa, family dari ibu ku yang menghabiskan masa remaja sampai tuanya membesarkanku, saudara-saudaraku. Beliau membesarkanku sedari aku kecil, memandikanku, mengantarku kesekolah, pergi mengaji dan menjemputkusaat hendak pulang jam 8 malam.

Ia mengurusku saat aku sakit. Ia yang paling mengerti keadaanku, makanan kesukaanku, mencuci bajuku, menemaniku belajar dan membaca buku. ia tidak sepintar ibu-ibu jaman sekarang. Ia tidak bisa membaca dan menulis. Tapi ia adalah guru, ibu, dokter, perawat dan peri bagiku. Beliau lebih dekat denganku daripada ke 5 saudaraku yang lain. Saat aku mengaji dikamarku, baliau berbaring ditempat tidurku, memejamkan matanya mendengarkan lantunan surah Yasin yang aku baca, sesekali ia membuka matanya lalu tersenyum melihatku. Mungkin ia berfikir, anak kecil yang nakal dulu, sering menangis saat disuruh berangkat mengaji, kini tumbuh menjadi anak yang bisa melantunkan ayat-ayat suci Al-qur’an dengan fasih dan lancer.

Beliau akan menyisihkan apa saja yang beliau punya kepadaku. Aku tidak pernah meminta uang saku sekolah secara langsung kepada ayah ku. Aku tidak memiliki keberanian untuk itu, bahkan sampai sekarang aku menulis cerita ini. Aku hanya meminta uang saku kepada Enni’. Beliau yang memintakan uang saku kepada ayahku. Beliau sering menegurku. “Arowah Eppa’ an be’en je’ todus maloloh” (dia ayah kamu, jangan malu terus). Aku hanya menatapnya dengan polos, tersenyum manis lalu menarik tangannya dengan manja. Beliau mengerti dengan tingkah nakal ku itu.

Aku lebih banyak menghabiskan waktu ku dengan beliau. Saat pulang dari sekolah dan sampai dirumah. Beliau orang pertama yang aku cari. Bukan aku tidak mencintai ibu kandungku dan tidak mencarinya. Bagiku ibu kandungku adalah seorang bak malaikat yang selalu ada untukku, beliau selalu menungguku pulang, menyuruh makan masakan yang sudah dibuat oleh Enni’.

Aku masih terdiam menangis. Aku masih tidak percaya Enni’ sudah pergi selama-lamanya. “Mat Nor”, suara di telpon genggamku menegur, dan meyakinkanku. “Hari ini aku akan pulang”, hanya itu kata yang aku ucapkan, lalu aku segera menutup panggilan singkat itu.

Enni’ tidak memiliki suami. Ia tidak menikah. Aku tidak pernah menayakannya. Dia sudah menjadi ibu bagiku, dan baginya aku adalah anaknya. Dia merawatku dengan baik, mencintai dan menyayangiku. Berita duka pagi itu bak awan mendung dari pulau seberang lautan. Tempat kelahiranku, tempat beliau menghabiskan hidupnya bersama keluargaku.

Aku masih menangis, menyeka setiap bulir air mataku membayangkan wajahnya yang layu terbaring lemas dan kaku. Perjalanan kereta pagi itu menggoreskan luka sesal yang tak akan pernah bisa aku hapus sepanjang hidupku, aku adalah anaknya. Orang yang ia sayangi. Dipundak akulah harapan kecilnya bergantung. Baginya aku adalah sebatang Bougenville yang ia rawat, lalu tumbuh besar bersama dirinya.

Beliau tidak pernah meminta apa-apa kepadaku, tapi aku selalu meminta sayur bayam kepadanya, tumis bunga pisang, nasi jagung dan ikan laut yang digoreng agak renyah. Aku selalu menangis saat beliau tidak membuatkan kopi saat aku pulang dari mengaji. Tapi, disaat-saat terakhir melihat terangnya dunia, aku tidak ada disampingnya, tidak menemaninya melewati masa-masa sulit di hari-hari terakhirnya.

Perjalanan emosiaonal dengan kereta KRD Ekonomi pagi itu sampai di stasiun Kiaracondong. Aku masih tidak percaya. Kaki ku menginjak tanah Sunda, bukan Madura. Tangisku tumpah untuk kesekian kalinya saat aku tersadar tanah Sunda berada jauh dari tanah Madura. Aku tidak bisa mengikuti acara pemakamannya, tidak bisa memberikan penghormatan terakhir kepada peri pelindung dan penjaga hidupku. Rasa sesal itu kini menjadi bagian hidupku, bagitu nyata. Wajahnya datang didalam tidurku. Aku menggapainya, tapi ia sudah tidak lagi nyata.

Bougenville kecil itu kini sudah tumbuh dewasa, dan bunganya akan selalu menjadi doa pengharum namamu dikala senja dan fajar menyapa.

Forgive me ni’. I am your son. I ‘ll pray you in every moment. Everything you gave, I give back all to you using my prayer.

Your little bougenville “Mat Nor”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun