Kajian Filosofis tentang Hukuman Mati di Indonesia.
Alit Amarta Adi[1]
NIM : 10/ 305791/ PHK/ 6315
Abstrak Pancasila merupakan filosofi dan ideologi negara Indonesia yang seharusnya menjiwai setiap peraturan perundang- undangan dalam sistem hukum Indonesia. Salah satu sila dalam Pancasila berbunyi "kemanusiaan yang adil dan beradab", dalam sila tersebut terkandung penghargaan atas nilai- nilai kemanusiaan. Nilai- nilai kemanusiaan tidak dapat dilepaskan dari konsep "hak untuk hidup" sebagai bagian dari hak asasi manusia. Amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28 ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", Walaupun hak untuk hidup dilindungi oleh konstitusi yang dijiwai oleh nilai kemanusiaan dalam Pancasila tetapi sampai saat ini dalam sistem hukum di Indonesia masih berlaku hukuman mati. Hal tersebut sepertinya kontradiktif dengan konsep kemanusiaan dalam Pancasila. Dalam essai ini, penyusun mencoba melakukan kajian filosofis terhadap hukuman mati di Indonesia dan melakukan perbandingan dengan beberapa negara lain. A. Pendahuluan Berdasarkan data Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sampai akhir tahun 2009 di Indonesia telah dilakukan eksekusi hukuman mati terhadap 63 orang[2]. Dari 63 terpidana tersebut, 6 orang karena terlibat terorisme, 23 orang karena terlibat pembunuhan yang direncanakan, 6 orang karena terlibat narkotika, 25 orang karena terlibat kejahatan politik dan 3 orang karena hal lain. Berdasarkan sistem hukum Indonesia terdapat beberapa kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, antara lain: makar, menghasut atau mengajak negara lain untuk menyerang Republik Indonesia (R.I); melindungi atau menolong musuh yang berperang melawan RI; membunuh kepala negara sahabat; pembunuhan yang direncanakan; pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam dengan merusak rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau mati; pembajakan di laut, di tepi laut, di sungai sehingga ada orang yang mati; menganjurkan pemberontakan atau huru hara pada buruh terhadap perusahaan pertahanan negara waktu perang; melakukan penipuan dalam menyerahkan barang-barang di saat perang; pemerasan dengan kekerasan[3]; penyalah gunaan senjata api[4]; tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan[5]; tindak pidana ekonomi[6]; Pemberantasan kegiatan subversif[7]; kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan[8]; psikotropika[9]; narkotika[10]; korupsi[11]; kejahatan terhadap hak Asasi Manusia[12]; terorisme[13]. Kejahatan- kejahatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan serius yang perlu ditanggulangi dan bahkan dicegah jika dapat. B. Teori Pendukung Hukuman Mati Ada beberapa teori yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung hukuman mati, antara lain: teori Absolut, teori Relatif dan teori Gabungan. Menurut teori Absolut, syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri, siapa yang mengakibatkan penderitaan, maka ia pun harus menderita. Hal tersebut tampak dalam pendapat Immanuel Kant[14]: "Di dalam hukum, pidana tidak dapat dijatuhkan hanya sebagai sarana untuk memajukan kesejahteraan umum. Hukuman atau pidana hanya dapat dijatuhkan pada seseorang karena ia bersalah melakukan kejahatan." Teori kedua adalah teori Relatif. Menurut teori Relatif, penjatuhan pidana tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Hal tersebut tampak dalam pendapat Feuerbach dalam teorinya menghendaki penjeraan bukan melalui pidana, melainkan melalui ancaman pidana dalam perundang-undangan[15]. Teori ketiga adalah teori Gabungan. Thomas Aquinas membedakan antara pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat. Ketika negara menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula fungsi prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan ajaran ini akan tercipta kepuasan nurani masyarakat dan ada pemberian rasa aman kepada masyarakat. Pembelajaran dan rasa takut juga akan muncul dalam masyarakat, termasuk perbaikan dari pelaku kejahatan. Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, penjeraan, dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipandang sebagai sarana untuk menegakkan tertib hukum. C. Sanggahan terhadap Teori Pendukung Hukuman Mati. Hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hak untuk hidup. Hak untuk hidup adalah hak yang paling fundamental, merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi  dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Hak untuk hidup dijamin oleh Pasal 28 Undang- Undang Dasar 1945 yang selaras dengan sila kedua Pancasila yang berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Secara sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah bahwa hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan bahwa hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup[16]. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat huku/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku. Berdasarkan data Amnesty International sekitar 92 negara dari seluruh wilayah di dunia telah menghapuskan hukuman mati bagi semua jenis tindak kejahatan. Sementara itu, 10 negara juga telah menghapuskan hukuman mati kecuali bagi tindak kejahatan tertentu[17]. Negara- negara tersebut sudah jelas tidak menganut Pancasila sebagai filosofi dalam membentuk produk- produk hukumnya tetapi mereka sudah selangkah lebih maju dalam penghargaan hak untuk hidup sebagai hak asasi yang paling asasi. D. Penutup Bahwa hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28 huruf I ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 dan cacat ideologi karena tidak sesuai dengan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab dari Pancasila. Berdasarkan hal- hal tersebut maka sebaiknya dilakukan pengujian produk hukum dengan ancaman hukuman mati terhadap Konstitusi. [1] Mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (e-mail: alit.amarta@yahoo.co.id) [2] http://www.kontras.org/data/Update%20Death%20Penalty%20Log%202010%20-%20KontraS.pdf, diakses 2 Oktober 2010. [3] Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. [4] UU Darurat No. 12 Tahun 1951. [5] Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959. [6] Perpu No. 21 Tahun 1959. [7] UU No. 11/PNPS/1963 [8] UU No. 4 Tahun 1976. [9] UU No. 5 Tahun 1997. [10] UU No. 22 Tahun 1997. [11] UU No. 31 Tahun 1999. [12] UU No. 26 Tahun 2000. [13] UU No. 15 Tahun 2003 [14] Jan Remmelink, Hukum Pidana, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 600. [15] Loc cit, hlm. 601-603. [16] http://www.kontras.org/hmati/index.php?hal=pers&id=41, diakses 2 Oktober 2010. [17] http://www.amnesty.org/en/death-penalty/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H