Mohon tunggu...
Kurniawan Al Isyhad
Kurniawan Al Isyhad Mohon Tunggu... -

Suka menulis dan warna hitam. bisa dihubungi melalui email alisyhad212@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel "Realita hujan" Bab 1 (ditulis dengan spontan)

31 Maret 2014   23:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:15 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

1
Sepotong Episode
Bagaikan lahan kering merindukan hujan. Seperti katak menanti musim kawin. Seperti itulah hidupku kini. Padahal Sumpah! Aku pun sudah bosan mendapat sebutan bujang lapuk. Seusia batang pohon kelapa yang tergeletak begitu saja di jamban belakang rumah. Tempat aku biasa nongkrong setiap pagi dan sore menunggu giliran mandi. Berlumut lembap dan sudah pasti dingin. Tapi yang paling aku cemaskan adalah, aku mati kaget ketika ada seorang wanita yang mau padaku, seperti kering dan rapuhnya batang pohong kelapa itu ketika digaring Matahari. Akan tetapi mati jomblo tentu lebih menyakitkan dan memalukan.
Sebenarnya usiaku baru 28 tahun, dan wajahku tak jelek-jelek amat. Dagu yang kekar, hidung mancung serta alis yang tebal harusnya menjadi daya tarik tersendiri untuk menggaet hati mojang-mojang Bandung. Apalagi jiwa seni yang ku punya, harusnya menjadi nilai tambah bagi mojang-mojang untuk memilihku sebagai kekasih.
Tapi di Desaku, di Cihampeulas yang notabene penduduknya rata-rata hanya lulusan SMP, usia 28 dan masih bujang adalah salah satu aib yang lebih aib dari menghamili anak orang. Bahkan Pak Rt yang harusnya mengurus kerukunan antar tetangga pun terkadang ikut berbisik-bisik dengan Hansip Bandi ketika melihatku. Padahal sudah pasti mereka lebih jelek dariku.
“Atau mungkin aku harus hamilin dulu anak orang agar segera dikawinkan!” Gerutuku.
Padahal aku adalah putra tunggal Haji Munawir juragan angkot Dago-Cicaheum. Sedang ibuku yang biasa di Panggil Bu hajah mempunyai usaha Catering. Aku juga tak mengerti kenapa Ibuku di sebut Hajah. Padahal yang naik haji cuma bapakku. Tapi tak masalah. yang jadi masalah adalah bodoh jika wanita tak mau menjadi istriku.
Tapi itulah yang terjadi. Berkali-kali aku mendekati seorang wanita selalu gagal dan gagal. Jangankan pernah merasakan apa itu yang dinamakan pacaran, baru aku dekati saja gadis-gadis sudah kabur dengan berbagai alasan yang kadang membuatku semakin sakit hati. Ada yang pura-pura mendadak sakit perut, atau pura-pura sibuk menerima telepon. Dan yang lebih jahat lagi ada wanita yang langsung pura-pura mati saking tak inginnya didekati olehku.
“Ah sial! Kutukan macam apa ini? Apa karena dulu aku pernah menginjak seekor kodok? ( Apa hubungannya geura hehe) ” Tanyaku dalam hati setiap kali merasa dilecehkan oleh kaum wanita yang seharusnya rela dijajah pria sejak dulu,Sejak duluuu wanita diii jajah priaa.., wanita diii jajah priaa sejak duluu..., sejak dulu wanita dijajah priaa..dan seterusnya, aku bernyanyi untuk membangkitkan kepercayaan diriku.
Meskipun begitu aku tak pernah putus asa. Setiap ada kesempatan, setiap ada wanita didepanku, aku selalu berusaha mendekatinya. Tak peduli gadis atau janda. Kurus atau gemuk, yang penting bagiku, wanita itu bernafas dan berlobang, maka sudah masuk kriteria cewek idaman jomblo sejati sepertiku. Tapi hingga detik ini, saat aku duduk di Taman Jomblo di bawah fly Over Pasopati, aku masih belum bisa mendapatkan seorang wanita pun.
“Huh..!” Aku mengembuskan napas yang tadi sempat tertahan ketika melihat sepasang pria dan wanita bergandengan tangan begitu mesranya.
Kunyalakan rokokku, kemudian menghisapnya sangat dalam hingga apinya memercik. Seorang anak kecil menghampiriku. Dengan kecrekan yang dibuat dari tutup botol yang diikat pada sebatang kayu ia menyanyi sambil memukul-mukulkan kecrekan itu ketangannya. Sumbang memang, tapi lumayan menghiburku. Daripada aku harus mendengar kata-kata gombal seorang pria setengah baya botak yang tengah merayu wanita genit disampingnya. Aku berikan bocah pengamen itu dua ribu. Dengan sangat senang, ia pun pergi.
Kini bocah kecil itu terlihat menyanyi di depan sepasang kekasih yang sedang berbincang begitu mesra. Meringis genit, tertawa laknat. Namun, sudah hampir satu album bocah itu menyanyi, sepasang kekasih itu tetap sibuk saling mencubit, sesekali terdengar tawa laknat pria botak itu. Tak peduli pada bocah yang sedang menengadahkan tangan mengharap belas kasihan.
“Ah, itu bukan cinta. Cinta harusnya membuat kita lebih peka terhadap sesama.” Gumamku. Sambil melemparkan rokokku kemudian menginjaknya gemas.
Kulihat jam tanganku. Sudah hampir jam 5 sore . Langit mulai mendung. Tapi Ramdan sahabatku belum juga muncul. Bahkan ketika langit mulai mengerimis, cecunguk batu itu belum juga memperlihatkan batang hidungnya.
“Aah, sial! Jangan –jangan dia di perbudak pamannya lagi!” Gerutuku.
Ya, Sahabatku itu memang sering diperbudak oleh Pamannya sendiri, dari mulai disuruh mijit, ngisi bak mandi, mencuci baju, bahkan nyebokin ponakannya. Sedang pamannya yang bernama Bahar itu asik-asik main krambol di Pos Kamling bersama tukang ojeg sambil menunggu penumpang. Sedang Bi Murni (Istri Pamannya) dari pagi hingga sore hari harus bergelut dengan benang-benang di sebuah pabrik textil. Sungguh kejam pamannya itu, tak bertanggung jawab.
Seharusnya pria macam Si Bahar itulah yang menderita penyakir kronis Jombloigisme. Bukan aku! Aku tertalu baik, setia dan alim untuk menjomblo begitu lama. Atau mungkin karena itulah (Baik, setia dan Alim) aku menjadi jomblo? Apakah aku harus merubah gaya hidupku?
***
Para Pengunjung Taman Jomlo dibawah Play Over Pasopati satu-satu mulai pergi meninggalkan kursi-kursi berbentuk kubus warna-warni, takut kehujanan mungkin. Hingga ketika hujan mulai mengguyur kota Bandung hanya tinggal beberapa orang saja disini, termasuk aku. Terperangkap hujan dan angin yang berembus kencang. Langit pun semakin gelap.
Kulihat jam tanganku, jam 6 kurang 15 menit. Kunyalakan lagi sebatang rokok. Aku menoleh ke sebelah kiri, bocah-bocah pengamen sedang berkumpul menyandarkan tubuh rungkai mereka ke tiang beton penyangga jembatan. Anak-anak itu ternyata tidak benar-benar dipelihara oleh negera seperti yang tertulis di kitab Undang-Undang Dasar yang aku singkat UUD. Kata Guru SMAku, UUD adalah Ujung-Ujungnya Duit. Dan memang begitulah adanya. Dengan duit, Semua Undang-Undang dapat diubah sesuai kebutuhan si pemegang duit.
Namun,
Deg! Jantungku seolah berhenti berdetak ketika aku menoleh kesebalah kiri. Di kursi berbentuk kubus warna hijau daun tak jauh dari tempat aku duduk, seorang wanita bergaun panjang berwarna hitam terliht sedang melamun. Kedua tangannya didekapkan didadanya yang kira-kira berukuran 36B. Dari samping, wajahnya terlihat putih, hidungnya mancing eh mancung, menaungi sepasar bibir yang mungil. Dan rambut sepunggungnya sedikit meriap tertiup angin.
“E do do e...ada gadis cantik rupanyo!” Gumamku dalam logat Padang.
“Alah siah meni geulis!” Seruku lagi dalam Bahasa Sunda.
“Busyet nyaaaak...senyumnye, bikin hati ni cenat-cenut!” Seruku lagi dalam logat betawi ketika wanita itu tersenyum menatapku.
Seketika aku membayangkan bahwa aku adalah boyband yang sedang konser.” Kenapa hatiku cenat-cenut ketika melihatmu” laguku, Sambil menggoyang-goyangkan dadaku. Lebih mirip artis organ tunggal memang daripada boyband. Namun, ketika para penonton berteriak, “Turuunn...lo mau nyanyi atau mau netein orok!” aku pun segera tersadar bahwa Boyband itu tak lebih jelek dari artis organ tunggal saweran. Dan aku kapok, tidak akan sekali-kali lagi menghayal jadi seorang Boyband.
Pandanganku kembali menatap makhluk indah disana. Rupanya dia masih tersenyum manis kepadaku, matanya berbinar-binar bagai kunang-kunang dalam kegelapan yang selalu hinggap di daun pohon jambu dihalaman rumahku. Pohon jambu itu kini sedang berbunga, tapi itu tidak penting, ngapain juga aku harus memikirkan pohon jambu yang menurut tetanggaku setiap malam selasa dan jum’at selalu terdengar suara wanita menangis. Eh, kok keterusan.
Kembali kepada wanita cantik nan mempesona itu, sangat disayangkan jika kesempatan emas ini aku biarkan berlalu dengan hanya mengagumi kecantikanya dari jauh. Aku pun memutuskan untuk mendekatinya. Setiap langkah aku jaga agar terlihat berwibawa. Aku simpulkan senyum termanisku untuknya. Semakin dekat, semakin jelas kecantikannya. Semakin dekat semakin tercium wangi minyak yang dipakainya. Entah sinyongnyong atau minyak wangi yang iklannya seorang wanita cantik dikejar-kejar puluhan pria. Semakin dekat, semakin bercahaya juga matanya, menatapku penuh harap seolah mengajakku bercinta.
“Busyet! kenapa tiba-tiba otakku jadi jorok!” Gerutuku.”Apakah ini karena aku sering menonton tv yang hampir setiap acara selalu menampilkn wanita-wanita kurang mampu sehingga pakaiannya serba mini?” Tiba-tiba saja celanaku menyempit.
***
“Sendirian aja, Neng?” Tanyaku setelah berada dihadapannya.
Gadis cantik itu hanya menjawab dengan senyuman. Namun, dia menggeser duduknya seolah memberi tempat kepadaku untuk duduk disampingnya.
“O Tuhan, terima kasih kau telah membuat Ramdan diperbudak Pamannya hingga tak jadi datang. Dan aku bertemu dengan gadis cantik ini.” Gumamku. Lalu mengusap kedua tanganku kewajah.
Perlahan dan dengan sangat hati-hati, aku pun duduk disampingnya. Seerr..aku pipis, eh bukan! hatiku berdesir ketika tubuhku menempel ditubuhnya. Sejenak aku tak mampu berkata-kata menikmati momen yang romantis ini. Betapa tidak, baru kali ini seumur hidupku aku duduk berdampingan dengan seorang wanita cantik. Aliran darahku pun semakin cepat mengalir ke otak. Mengajaku untuk berpikir yang ‘iya iya’. Karena tak ada kata ‘tidaktidak’ dalam pikiranku ketika aku mulai berani semakin menempelkan tubuh bagian sampingku kepadanya.
“Alamaak..halus sekali kulit tangannya, berbulu lagi, seperti kulit bayi yang seminggu baru dilahirkan.” Jeritku menahan godaan Syetan yang terkutuk.
Gadis ini pun hanya diam. Bahkan dia pun seolah menikmati suasana yang sangat indah ini.
“Mhh..boleh kenalan, Neng?” Tanyaku lembut namun tetap berwibawa layaknya seorang motivator.
Gadis cantik bergaun hitam itupun menatapku sekilas disertai senyum. Namun, masih tetap tanpa kata. Aku mulai berpikir yang aneh-aneh. Kutatap kaki gadis itu, ternyata tak menapak bumi, terang saja karena dia sedang duduk, aku pun begitu. Atau mungkin gadis ini gagu? Ah, mana mungkin gadis dengan senyuman seindah pelangi senja hari setelah turun hujan ini gagu. Pikirku.
“Tapi, andai pun gadis ini benar-benar gagu itu tak jadi soal buatku. Bukankah lebih baik mempunyai pacar yang cantik tapi gagu dari pada harus menjomblo seumur-umur!” Seruku dalam hati.
Otakku yang memang sedikit encer ini segera berpikir mencari kata yang pas agar gadis cantik ini mau ngobrol denganku. Aku buka mulutku, lalu menempelkan telapak tangan dan, “Haah!” ternyata mulutku sedikit bau roko. Tapi tak masalah, dari pada bau sepiteng. Aku pun kembali melancarkan seranganku.
“Hujannya kok makin deras ya, Neng!” Seruku menatap rintik hujan.
Kini gadis itu mengangguk. Tak lupa tersenyum. Lesung pipitnya pun seolah menantang untuk dikecup. Tapi tentu saja ku tolak tantangan itu, karena bisa-bisa aku ditamparnya. Dan tentu saja aku harus terlihat baik dan sholeh dihadapan wanita secantik ini agar kesan pertama ini membuat dia tertarik kepadaku.
Gadis itu mempererat dekapan tangan didadanya. Aku paham. Segera ku buka jaketku dan langsung diselimutkan ketubuh gadis itu. Gadis itu menatapku dengan mata yang kian berbinar.
“Terima kasih.” Lirih. Sejenak aku termangu mendengar suara yang begitu lembut di pendengaran.
“Baru pertama aku bertemu dengan Pria yang sangat perhatian seperti kamu. Padahal kita baru saja bertemu.” Dia menatapku lembut.
Alammaaakk...hatiku sangat bahagia mendengar pujiannya. Aku yakin, kali ini tidak akan gagal. Jombloku akan segera berakhir. Namun, tentu saja aku tidak boleh menunjukan kekagumanku akan pujiannya. Aku harus selalu bersikap rendah hati. Dan ada satu pelajaran yang aku dapat hari ini, ternyata wanita lebih cepat luluh dengan perhatian tingkah daripada ucapan.
“Ah, biasa aja Neng. Bukankah memang seharusnya seorang pria itu melindungi seorang wanita!” suaraku kini lebih mirip Rendra ketika sedang bersajak. Tak lupa sedikit membusungkan dada.
Wanita itu tersenyum.
“Saya Rana,” Mengulurkan tangannya, tatapannya seolah menguliti dadaku, mengorek isi hatiku. Dan, dia berhasil.
“Buju bunengg.., halus benerr..” jeritku lagi dalam hati. Sementara detak jantungku semakin berdegup kencang. Kucoba menarik beca eh, napas dalam-dalam untuk menenangkan gejolak dalam dada yang semakin menggelegak. lalu menghembuskannya pelan-pelan. Aku pun tentram.
“Saya Sabda, Neng.” Jawabku sambil tetap menggenggam tangannya. Andai saja bukan suatu dosa, pasti langsung kucium tangan gadis ini.
“Kok ujan-ujan begini sendirian, Neng. Malam lagi, apa nggak takut?” Tanyaku.
“Kok sendirian, kan berdua sama kamu!” Bibir dengan lekukan indah itu menawan tatapanku. Ditambah lagi dengan suara lembut bernada manja yang selalu mengajak urat sarafku menegang.
Aku tersenyum. Tak menyangka sedikitpun dia akan menjawab seperti itu.Dia seolah menantangku untuk semakin menggodanya.
“Mhh..maksud saya, apa kamu lagi nungguin seseorang?” tanyaku lagi.
“Hu’um”
“Siapa?”
“Siapa aja.”
“Kok siapa aja?”
“Ya, memang siapa saja yang bisa membayarku, maka aku akan pergi bersamanya. Termasuk kamu!”
“Masybuloh...jadi kamu?” Aku tak berani meneruskan kata-kataku. Takut menyakiti perasaannya.
“Kenapa tidak diteruskan?” matanya tajam menyelidik.
“Ma maafkan aku.”
“Kenapa harus minta maaf, kamu nggak salah kok, aku memang pelacur. Dan aku tidak malu menjalani ini semua.” Serunya.
Aku hanya bengong mendengar pengakuan wajah tanpa dosa darinya. Aku yang sudah gila atau dunia ini yang semakin edan? Ah gusti, bukankan ketika kemaksiatan dianggap biasa dan kebaikan dan kejujuran sudah menjadi sesuatu yang asing bukankah itu tandanya kiamat sudah sangat dekat?
“O, Gusti..jangandulu diakhiri dunia ini, aku masih belum kawin!” Seruku dalam hati.
“Kok diam, Mas. Nyesel ya kenal sama pelacur?”
Ditanya seperti itu aku semakin bingung. Kata apa yang pantas aku jadikan jawaban. Aku sangat takut jika menyinggung perasaannya. Karena apapun pekerjaannya, dia tetaplah perempuan. Dan setiap perempuan pasti perasaannya lebih peka, mudah tersakiti. Mungkin juga dia mau bekerja seperti ini adalah karena dia pernah disakiti oleh seorang pria hingga membuatnya prustasi.
Karena tak mendapat jawaban dariku, Rana pun hanya tersenyum. Kemudian berdiri dan melangkah ke pinggir jalan bertepatan dengan berhentinya sebuah mobil sedan putih. Tak kulihat pria atau wanita yang mengendarai mobil itu, yang pasti setelah berbicara sedikit, Rana langsung masuk kedalamnya. Dan mobil pun segera meluncur membawa serta Rana bersamaan dengan redupnya harapanku kepadanya.
Sepeninggal Rana aku kembali terhanyut dalam lamunanku. Ya apalagi kalau bukan hayalan tentang seorang wanita cantik dan solehah yang akan menjadi istriku. Karena aku yakin, lelaki yang baik adalah untuk wanita yang baik. Begitu juga sebaliknya. Jadi sangat mustahil jika pria macam aku yang masih perjaka hingga usiaku 28 kini harus beristri seorang wanita nakal. bukan berarti aku merendahkan mereka (wanita nakal), hanya saja aku berpegang teguh pada janji Tuhan dalam Al-Qur-an.
Aku pun melangkah pulang.

_____________________________________________________________________________

-Kurniawan Al Isyhad, Tinggal di Kota Cimahi. Bergiat di komunitas penulis Fiksi Rumpun Nektar. Novelnya yang sudah beredar 'Kau Bidadari Surgaku' dan segera menyusul 'Dan Cinta pun Berkiblat Pada-Nya'


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun