Oleh : Ali Suyanto Herli
Berita tentang pemecatan beberapa politikus muda sebuah partai politik besar sedang ramai dalam beberapa hari terakhir ini. Pemecatan itu mengakibatkan jabatannya yang sedang diembannya pun di DPR akan dicopot, diganti rekan lain dari partai politik yang sama.
Konon menurut pengakuan versi sang 'korban', pemecatan tersebut dilatar-belakangi karena kehadiran mereka dalam suatu peresmian sebuah ormas. Sebenarnya bagi politikus untuk hadir di berbagai macam jenis acara apa pun adalah merupakan suatu kewajaran, terlebih jika itu mempunyai tujuan dan terkait dengan fungsi tugasnya. Masalahnya disini adalah penggagas ormas tersebut mempunyai sejarah yang kurang mulus dengan para pimpinan partai politik tersebut, sehingga masalahnya menjadi lebih peka.
Dalam situasi yang peka, maka segala hal langsung masuk ke dalam hati, atau perasaan. Dalam kondisi normal, dimana rasio masih berjalan baik, maka umumnya setiap hal masuk lewat kepala dahulu, dicerna secara logika nalar, baru kemudian turun ke hati untuk dicerna secara emosi. Mengambil keputusan dalam kondisi emosional umumnya hanya akan menghasilkan penyesalan. Berita buruknya, penyesalan selalu datangnya di akhir. Terlambat. Kalau datangnya di awal, itu namanya pendaftaran.
Dalam iklim demokrasi tentu saja hal ini menjadi preseden buruk bagi kita semua. Walau setiap perbuatan akan selalu ada alasannya, tetapi kesan moral yang didapat dari kasus ini membuat kita berpikir seribu kali untuk selalu mandiri dan kritis di masa mendatang.
Namun para pimpinan partai politik tersebut segera membantah alasan tersebut, berkilah bahwa pergantian tersebut hanyalah karena masalah biasa saja terkait dengan penugasan. Ada juga yang sempat menambahkan dengan masalah loyalitas kepada partai. Bahasa politik memang demikian, apa yang dilakukan dengan apa yang diucapkan belum tentu diucapkan dengan langgam bahasa yang searah. Dan, hal itu (pahitnya) memang secara jujur sah-sah saja dilakukan oleh mereka. Benar, dan berhak.
Pilihan Bersikap
Hidup adalah pilihan. Menjadi orang idealis dan berani, ataukah menjadi tipikal 'safe player' dan penurut. Masing-masing punya konsekuensi berbeda, tentu saja ada plus minusnya. Menjadi tipe pertama juga membutuhkan pengorbanan, kadang memang sakit manakala harus 'bertabrakan' dengan 'tembok tinggi besar' yang bernama kekuasaan (atau pemimpin). Seperti yg sedang dialami oleh para politikus muda yang diberhentikan itu.
Memang suatu kekuasaan (atau kepemimpinan) cenderung memilih orang-orang yang mudah diatur. Itu wajar. Namun jika 100% bawahan kita adalah orang-orang yang amat penurut dan tipe murni 'safe player', lalu siapa lagi yang berani mengingatkan kita (sebagai pemimpin) jika kita misalnya secara tidak sadar telah melakukan kesalahan-kesalahan fatal? "To err is human," katanya.
Dalam posisi korban seperti para politikus muda tersebut, sebagai posisi bawahan yg 'diobok-obok' suatu kekuasaan besar, barulah kita tahu betapa tiraninya suatu kekuasaan / kemapanan. Mungkin ini adalah ekses negatif ilmu manajemen dari suatu organisasi modern, yang atas dasar alasan apa pun (tanpa dasar pun tetap berhak) tetap berhak untuk melakukan apa saja terhadap para anggotanya (bawahannya).
Moral