Fenomena masyarakat Indonesia masih dalam kecenderungan “latah”, mudah memaafkan dan juga feodal. Pada pemilihan langsung pertama Presiden RI, SBY terpilih sebagai Presiden dengan prosentase 60 % lebih di 2004. SBY dengan tutur katanya yang tertata, gagah, santun dan dipersepsikan teraniaya menjadi magnet baru dalam oase politik Indonesia di era reformasi. Dengan kelatahannya masyarakat dari awam hingga pejabat mulai bertranformasi mengikuti ketataan tutur kata, kesantunan, politik beretika ala SBY.
Memasuki era kepemimpinan periode kedua SBY masyarakat mulai melupakan tutur kata dan kesantuanan SBY. Masyarakat memandang hal demikian hanyalah politik pencitraan dari SBY. Bahkan, sekitar 100 orang tokoh lintas agama mengungkap kebohongan pemerintahan SBY. Tidak hanya itu berbagai jejak pendapat berbagai media massa juga menempatkan penurunan apresiasi masyarakat terhadap pemerintah SBY. Apalagi Partai politik yang menopang SBY, yaitu Partai Demokrat tersandera oleh kadernya banyak tersangkut masalah korupsi.
Politik pencitraan lebih sederhana jika dipersepsikan sebagai politik “Ada Apanya”, karena dibalik pencitraan tersebut tersembunyi keinginan untuk mendapatkan simpati masyarakat. Dengan ada apanya seringkali mengorbankan kesejahteraan rakyat hanya untuk memuaskan nafsu kekuasaan para penguasa dalam mempertahankan kekuasaanya. Kepemimpinan ada apanya ini tidak terlepas dari kultur masyarakat Indonesia dimana berasal dari masyarakat feodal.
Gaya kepemimpinan apa adanya
Ditengah merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan SBY yang cenderung protokoler, secara perlahan masyarakat seakan menemukan tokoh baru untuk menyelesaikan berbagai kompleksitas permasalahan. Berbagai permasalahan bangsa dimana dipandang tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan keraguan pemimpinnya, tetapi oleh pemimpin tegas tanpa teding aling-aling. Tokoh itu adalah Gubernur DKI Jakarta, Jokowi. Gaya kepemimpinan Jokowi yang apa adanya telah mencuri kepercayaan masyarakat DKI Jakarta.
Kedewasaan masyarakat Jakarta dengan cepat dapat melihat sosok Jokowi yang apa adanya dinilai mampu dalam menuntaskan permasalahan akut DKI Jakarta khususnya tentang Kemacetan dan banjir. Dengan gaya blusukannya, Jokowi coba memahami berbagai permasalahan masyarakat tanpa protokoler baku sehingga dapat menyentuh pokok permasalahan di lapangan. Gaya blusukan Jokowi menjadi fenomena baru dalam masyarakat, apalagi kecenderungan masyarakat feodal mengakibatkan adanya jurang pemisah antara pemimpin dan rakyatnya. Di era kepemimpinan Jokowi hal tersebut tidak terlihat sama sekali, sehingga membuat Jokowi sangat dinantikan kehadirannya di tengah masyarakat.
Tidak adanya sekat antara Jokowi dengan masyarakat juga membuat Jokowi menjadi barometer bagi insan media untuk memburu agenda kegiatannya. Totok Suryanto, Wakil pemimpin Redaksi TVOne mengatakan, sejak Jokowi masih berstatus calon gubernur hingga sekarang, Jokowi menjadi sumber kesayangan media (media daling). Pasalnya, Jokowi memiliki nilai berita dan sosoknya bisa memengaruhi tingkat popularitas (rating) berita. (Kompas, 20 Januari 2013). Saat ini ternyata Jokowi tidak hanya menjadi kesayangan media, tetapi mulai menjalar menjadi kesayangan masyarakat dalam menanti sepak terjangnya dalam menyelesaikan kesemerautan Jakarta, bahkan banjir besar yang sedang melanda Jakarta sebelum 100 hari kepemimpinannya.
Fenomena Jokowi seakan menjadi antitesis dari kepemimpinan “Ada Apanya”. Di dalam kepemimpinan ada apanya, pemimpin cenderung mengkemas berbagai programnya hanya untuk mencuri simpati masyarakat dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan kroni-kroninya. Sedangkan, kepemimpinan apa adanya Jokowi lebih mengedepankan kesederhanan, kelugasan, ketegasaan, keikhlasan, mendengarkan aspirasi, demokratis, transparansi anggaran, dan langsung menyelesaikan permasalahan masyarakat. Kepemimpinan apa adanya Jokowi ini sebenarnya sangat sejalan dengan birokrasi modern. Michael G. Roskin, et al. menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada 4 fungsi birokrasi di dalam suatu pemerintahan modern. Fungs-fungsi tersebut adalah meliputi administrasi, pelayanan, pengaturan (regulasi) dan pengumpul informasi.
Dalam menerapkan kepemimpinannya Jokowi telah menerapkan pola-pola birokrasi pemerintahan modern seperti disebutkan Michael G. Roskin seperti, gaya blusukannya adalah dalam rangka pengumpulan informasi, begitu juga dengan gaya lainnya yang mana dimodifikasi oleh Jokowi dengan apa adanya dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakatnya. Walaupun, masa kepemimpinan Jokowi di Solo tidak mungkin sempurna, akan tetapi gaya kepemimpinan apa adanya Jokowi di Solo dengan kesederhanaanya, kelugasan, ketegasaanya keikhlasanya, dan anti korupsinya dengan jargon “berseri tanpa korupsi” telah mencuri perhatian masyarakat luas, khususnya masyarakat DKI Jakarta yang sedang mendapat musibah banjir. Kepemimpinan apa adannya Jokowi diharapkan dapat menyelesaikan kompleksitas permasalahan ibukota, tanpa harus memindahkannya kedaerah lain. Keberhasilan kepemimpinan apa adanya Jokowi di DKI Jakarta diharapkan dapat menstimulus keberhasilan di seluruh bumi pertiwi Indonesia, semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H