F. Memimpin Dalam Krisis; Menangani Bencana Tsunami Aceh
1. Dalam Krisis Pemimpin Harus Selalu Di Depan.
Bencana tsunamai Aceh memakan ratusan ribu korban jiwa, kerugian ratusan miliar rupiah, serta kerusakan struktur dan infrastruktur pemerintah daerah yang sangat parah. Saat kejadian, 26 Desember 2004, SBY sedang berada di Papua setelah habis memberi bantuan korban gempa di Nabire Papua.
Sementara informasi tentang kondisi Aceh sangat minim ; setetes demi setetes namun kualitasnya tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya, karena lebih banyak bersifat perkiraan, dan setiap informasi baru selalu lebih buruk dari informasi sebelumnya.
Menghadapi kegelapan informasi (information blackout) banyak pembatunya menyarankan untuk ke Jakarta lebih dahulu karena kondisi Aceh tidak menentu. Namun SBY sebagai seorang pemimpin menunjukkan keputusan yang berbeda. “Ini keadaan yang serius, dan bisa menjadi krisis nasional, oleh karena itu saya harus segara ke depan”.
Presiden SBY segera menugaskan Sekretaris Militer untuk mengatur penerbangan dari Jayapura ke Aceh. Rapat Kabinet darurat segera digelar malam itu juga di kediaman Gubernur Papua. Esok paginya SBY segera terbang dari Jayapura langsung ke Aceh. Memberi perhatian mendasar pada pemimpin daerah, Gubernur, Pangdam, Kapolda Aceh beserta seluruh komponen organisasinyan tentang tugas-tugas dan penanganan tanggap darurat bencana.
Karena pesawatnya kecil, harus transit di Makasar dan Batam untuk mengisi bahan bakar. Sore hari SBY sampai di Lhokseumawe. Dibandara segera meminta laporan dari Gubernur, Pangdam dan Kapolda. SBY segera mengeluarkan instruksi yang bersifat operasional untuk melakukan langkah-langkah tanggap darurat. Intinya penyelamatan jiwa penduduk, perawatan korban, SAR, dan bantuan pangan. SBY tidak tidur malam itu. Nalurinya sebagai Jenderal mendorong perintah cepat dan merencanakan strategi dan aksi penanganan bencana yang luar biasa ini.
Pertama, SBY dapat melihat sendiri skala kematian dan kerusakan akibat gempa dan tsunami. SBY melihat sendiri mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan, penderitaan luar biasa ribuan rakyat Aceh yang masih hidup namun kehilangan keluarga dan rumahnya. SBY melihat sendiri Aceh lumpuh total, dari segi komunikasi, transportasi, listrik, bensin, pelayanan masyarakat, infrastruktur, dan lain sebagainya. Dengan berada ‘didepan’ kondisi penderitaan yang luar biasa ini benar-benar masuk ke sukma SBY. Pemahaman seperti itu tidak mungkin didapat SBY kalau hanya membaca laporan tertulis atau mendengar paparan lisan di Istana.
Kedua, kehadiran SBY sebagai Presiden berdampak mengangkat semangat petugas di lapangan yang waktu itu sangat terpukul, baik karena kehilangan keluarganya, rekan-rekan mereka, maupun karena mata rantai komando yang tercerai berai. Ketiga, walaupun siaran radio, televisi, dan telepon lumpuh, kehadiran SBY penting untuk menunjukkan kepada rakyat Aceh bahwa pemerintah pusat memberiikan perhatian penuh dan dukungan total untuk membantu mereka keluar dari bencana ini.
Keempat, keberadaan SBY di garis ‘depan’ menurut Dino Patti Jalal menungkinkan SBY membuat penilaian yang diperlukan untuk menentukan rencana aksi Pemerintah Pusat, terutama operasi tanggap darurat. Sampai di Jakarta SBY langsung menggelar rapat kabinet darurat dimana SBY memberi instruksi yang tepat, jelas, praktis, dan responsif terhadap kondisi aktual di lapangan: mengirim bantuan TNI dan Polri untuk operasi penyelamatan dan tanggap darurat, mengirim KRI ke Meulaboh, dan Hercules ke Banda Aceh, mencari ribuan kantong jenazah; mencari kuburan missal untuk jenazah yang ditemukan, mengirim BBM, makanan dan air bersih; menghidupkan kembali listrik dan jalur telepon; menentukkan jumlah tenda yang dibutuhkan untuk pengungsi; mengirim dokter tambahan; mengirim truk ke Medan; dan lain sebagainya.
SBY tahu misi yang paling penting dan mendesak adalah penyelamatan nyawa orang. Yang selamat harus ditolong, yang sakit harus segera dirawat, yang kehilangan rumah harus segera ditampung, yang meninggal harus seger dikubur. Semua yang beruntung hidup harus diberikan makanan, air bersih dan obat-obatan. SBY Segera mengerahkan TNI dan Polri untuk secara maksimal menjadi juru operasi tanggap darurat. Kapal serta pesawat Hercules yang membawa personil, peralatan dan barang segera berangkat ke Banda Aceh., Meulaboh dan Medan. Menko Kesra Alwi Shihab yang ditugaskan SBY untuk terus tinggal di Aceh, memimpin langsung satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) yang baru dibentuk.