Mohon tunggu...
H Ali Siregar
H Ali Siregar Mohon Tunggu... -

saya @turuntangan tak rela lagi Nusantara dibajak karena orang baik diam & mendiamkan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ketika IPTEK Dibenturkan dengan Agama, Tanggapan atas Tulisan "Quick-Count Itu Perbuatan Dosa".

14 Juli 2014   09:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:23 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Awalnya tulisan perdana ini hendak saya beri judul,"Haram hukumnya terbang dengan Garuda Indonesia Airways" kala kepala masih panas setelah membaca tulisan saudara Tengku Bintang dengan judul Quick Count Itu Perbuatan Dosa. Namun setelah dipikir panjang, aah..sudahlah, mungkin karena beliau belum tahu. Apalah saya dibandingkan Orang Bijak yang walau telah dihina dan diperlakukan kasar hingga patah giginya, yang bahkan telah ditawari agar cukup meminta saja pada Yang Kuasa agar segera ditumpahkan sebuah gunung diatas kepala mereka yang telah berbuat aniaya tersebut, masih mampu bersabar dan menjawab dengan kebajikan yang sama.

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi -IPTEK- dan Agama sifatnya akan saling menguatkan. Ijtihad Galileo menentukan bentuk bumi yang bulat mungkin butuh waktu 300 tahun agar dapat diterima penuh oleh masyarakat. Hipotesis beliau ini memiliki konsekuensi luar biasa pada perkembangan IPTEK kala itu, tak kurang tentangan baik dari akademisi, dari institut keagamaan, rohaniawan dan politisi dengan berbagai bentuk menghalanginya, namun waktu jualah yang memberikan jawaban. Ijtihad kita dalam membuktikan Kalam Illahi yang tertulis dalam kitab-kitab barangkali butuh waktu ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun untuk dapat diterima. Semua memiliki proses perlantunan dan kecepatan masing-masing sesuai perkembangan jaman. Tanpa IPTEK, saudara Tengku Bintang barangkali perlu menyediakan waktu selama setahun penuh untuk berangkat ke tanah haram, dengan biaya yang tetap setara dengan 7 ekor sapi (rule of thumb dari almarhum opung saya), Tanpa IPTEK, peristiwa Lailatul Qad'r hanya akan mampu diturunkan dalam bentuk dogma dan cerita pengantar tidur, alih-alih sebagai sebuah inspirasi tentang teori kecepatan materi relatif terhadap waktu-yang saat ini buahnya adalah, jika Anda setuju, secara sederhana adalah pesawat terbang. Jika saudara tak setuju, berarti haram hukumnya percaya pada pilot/pemimpin kafir yang menjadi pimpinan penerbangan (flight commander) kala saudara hendak menaiki bouraq bernama pesawat terbang yang (mungkin saja) dibuat atau menguntungkan kaum zionis walau dimiliki oleh maskapai nasional kita. Teramat sangat banyak hutang kita pada Orang Bijak untuk membuktikan pada dunia bahwa keilmuan beliau adalah ilmu yang ilmiah dan amaliyah. (shalawat 3x untuk beliau)

Bagaimana pula Metodologi Hitung Cepat -Quick Count-, sebagai salah satu ijtihad kalangan pengamal statistik dapat saudara Tengku Bintang katakan sebagai perbuatan dosa? Sikap saudara yang 'pukul rata' tanpa menelisik asal-usul sekeping informasi dan menempelkan fitur dosa yang merupakan domain spiritual/habluminallah adalah sebuah kecerobohan kalau tak dapat dikatakan sebuah penistaan terhadap IPTEK dan tentu saja penghinaan terhadap prima-causa dari IPTEK itu sendiri. Metodologi ini sangat tidak layak disejajarkan dengan "mengundi nasib dengan anak panah", cara berpikir seperti ini sangat mengerikan bung...setara dengan menganggap hidup Anda bagaikan penumpang yang nasibnya tergantung orang lain. Anda sering menyalahkan orang lain atas peristiwa buruk dalam hidup Anda kan? Jangan tanya saya tau darimana asal sifat nyinyir saudara...

Jujur saya bukanlah orang yang piawai dengan statistik, tapi sebagai orang yang pernah diakui oleh kolega senior berkompetensi doktoral di wilayah teknik mesin, saya sangat teguh memegang metodologi ilmiah sebagai alat untuk mendekati/ijtihad sebuah permasalahan materil. Kalau saya diizinkan mendekati melalui logika saya, sederhananya sebuah metodologi -atau metode-, sebagai sebuah hukum, adalah sebuah perangkat sebab-akibat yang memiliki sifat baku dan mewarisi hubungan yang permanen antara variabel sebuah input dengan outputnya. Dengan metode yang baku, ketika menerima input yang kurang lebih sama, variasi keluaran/output-pun hanya akan memiliki hasil yang kurang lebih sama. Mari kita tafakur dulu kalau belum paham yah...*berfikirkeras*. Sebuah sepeda motor yang terdapat di pasaran umumsebagai sebuah 'hukum gerakan', ketika diisi bahan bakar dan dilajukan pasti akan bergerak ke satu arah saja, yaitu arah depan. Kalau bergerak kesamping atau belakang kemungkinan itu motor tong setan :)) Yang membedakan dapat dipastikan hanya variabel input (jumlah bahan bakar; jumlah terhitung dalam konteks quick-count) yang tentunya berpengaruh pada variabel output (jarak tempuh; akurasi data dalam konteks quick-count). Ada yang berkenan mengkoreksi saya? Alhamdulillah kalau ada dan sebelumnya saya ucapkan terima-kasih atas koreksinya.

Quick Count yang saudara labeli dengan dosa pastilah dalam konteks hiruk pikuk Pilpres kemarin. Sebuah acara akbar yang sayangnya diwarnai dangkalnya landasan pikir ketika hanya diberi pilihan hanya dua. Kedangkalan berpikir yang melahirkan prasangka-prasangka buruk seperti; jika disana orang baik, berarti disini buruk, jika disini benar maka disana pasti salah...masyaallahhh... Saya tak punya informasi kelas wahid yang dapat memberikan kepuasan pada saudara tentang mana yang lebih baik, tapi hendaknya saudara mengerti bahwa ada standar baku sebuah metodologi yang melahirkan hasil quick-count. Standar baku bukan tanpa cela, standar ini pastinya akan terus menerus diperbaiki sesuai kesepakatan keilmuan para pengamal statistik, namun akan ada sebuah standar resmi (atau hukum baku) yang umum diakui dan di exercise oleh kalangan tersebut, kalangan yang biasanya bergabung dalam sebuah syarikat, dalam hal ini PERSEPI (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia). Ketika standar yang digunakan sama namun memberikan hasil yang 'berbeda', wajar saja syarikat tersebut gusar dan meradang. Secara tidak langsung perbedaan ini memberikan sinyal bahwa amalan ilmu yang mereka kerjakan selama ini bisa jadi keliru dan hal ini merupakan bencana besar bukan hanya pada syarikat mereka namun juga pada sisi keilmuannya. Ilustrasinya kurang lebih seperti dalam 'keilmuan pesawat terbang' yang kita gunakan selama ini ternyata menyimpan sebuah resiko kecelakaan karena, katakanlah, terdapat kesalahan desain komponen utama yang berpotensi mencelakakan seluruh pesawat terbang (tentunya bersama kru dan penumpangnya) yang beroperasi di seluruh dunia, bayangkan betapa akan gemparnya dunia dirgantara, airlines dan pengelola perhubungan di setiap negara di kolong langit ini.... Tidak heran PERSEPI bergerak cepat dengan bersidang dan mengundang seluruh anggotanya untuk diaudit secara profesional sebelum kepercayaan publik pada industri ini luluh lantak menelan korban baik dari pihak yang benar maupun yang keliru.

Akhirul kalam saudaraku Tengku Bintang, himbauan saya hendaknya saudara mulailah berpikir secara sehat, berimbang dan memiliki dasar yang tepat dan kuat. Jika ada kekeliruan tulisan saya yang mengakibatkan saudara atau pembaca tersinggung, maafkanlah saya karena yang keliru pasti datang dari saya. Demikian pula jika ada hal baik yang dapat kita petik, pastilah berasal dari Allah SWT dan hendaknya kita panjatkan pujian dan doa pada-Nya, Sang pemilik ilmu yang utama dengan menghadiahkan shalawat kita pada Rasullulah SAW.. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun