[caption id="attachment_314157" align="aligncenter" width="450" caption="Prof Rhoma Irama (foto : news.detik.com)"][/caption]
Judul tulisan ini, bukan menggambarkan bahwa saya punya hasrat untuk mencalonkan diri jadi presiden. Penting saya garis bawahi, bahwa tak sedikitpun terpikirkan oleh saya untuk jadi calon presiden. Yang pasti sangat mustahil. Jangankan untuk jadi capres, untuk bisa masuk figur yang terwacana jadi bakal capres juga sangat tak mungkin.
Keterkenalan atau popularitas kefiguran memang bisa menjadi salah satu pintu masuk agar bisa terwacana jadi bakal calon presiden. Dengan demikian sudah saya pastikan tak ada sedikitpun peluang bagi saya untuk bisa terwacana jadi bakal capres, karena saya bukan figur terkenal dan saya juga tak berpeluang jadi figur terkenal. Pastinya tak ada satu sisi pun dari sosok saya untuk bisa menjadi populer.
Selain itu saya juga masuk kategori rakyat kelas biasa yang tinggal di pemukiman biasa di sebuah kota sedang di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan. Pergaulan saya juga tak mendukung untuk masuk jajaran orang yang dicapreskan. Saya bergaul dengan orang biasa, dan saya tak punya kapasitas untuk bisa masuk ranah politik praktis karena saya bukan kader partai politik. Intinya jangankan untuk bisa nyapres, untuk bisa Nyawalkot (Nyalon Walikota) di kota kediaman saya, juga sangat jauh dari kemungkinan. Karena kodrat saya bukan orang yang bisa nyapres, maka angan-angan untuk nyapres tak pernah terlintas dipikiran saya. Saya pun takut ber angan-angan, nanti takut dibilang kurang waras atau gila nyapres.
Lalu saya berpikir, dengan modal kegetolan saya yang hobbi membaca dan mengikuti perkembangan politik di republik ini termasuk yang berkaitan dengan soal pencapresan, ditambah secuil kemampuan meniulis, maka saya berpikir ternyata lebih asyik mengamati, menilai serta membuat pendapat terkait figur-figur yang saat ini sedang terwacana sebagai capres melalui tulisan, ketimbang mengkhayal untuk mencapres. Dan itu sudah saya tuangkan melalui tulisan.
Saya telah menuangkan pendapat melalui sejumlah tulisan, tentang hal-hal yang berhubungan dengan pencapresan dan figur-figur yang sekarang terwacana sebagai bakal capres. Karena saya tipe orang yang kritis, maka tulisan saya menyangkut sejumlah figur bakal calon presiden sangat kental nilai kristisinya. Saya akui saya sedikit ngefans sama figur Jokowi karena sosoknya yang merakyat, sehingga tulisan tentang Jokowi tak ada nilai kritisinya. Itu karena saya memandang dan menilai sampai saat ini belum ada tak celah terkait figur Jokowi. Soal banjir Jakarta dan kemacetan di kota Jakarta tak saya jadikan celah atau bahan untuk dikritik dalam tulisan saya, karena saya berpandangan objektif, dan menilai soal banjir Jakarta dan kemacetan Jakarta bukan hal yang proporsional di cap sebagai kegagalan Jokowi sebagai pemimpin DKI Jakarta.
Saya tegaskan juga, kalau pun tulisan saya soal Jokowi minus kritik, bukan berarti saya termasuk Jokowi Lovers. Saya bukan pendukung Jokowi, famili tidak dan kenalan pun tidak, dan saya sama sekali tak pernah bertemu Jokowi secara langsung. Saya juga tak terdaftar sebagai orang yang ikut dalam kelompok yang mendukung Jokowi jadi presiden. Pastinya tak sedikit pun sosok saya punya keterkaitan dengan sosok Jokowi. Sama halnya saya juga tak ada hubungannya dengan figur-figur bakal capres lainnya.
Dari seluruh nama-nama yang sudah terwacana, ada satu nama yang mengusik daya geli saya, sehingga saya merasa tergelitik membahas dan menilai figur tersebut. Figur yang saya maksudkan adalah Rhoma Irama yang bergelar si Raja Dangdut. Siapa yang tak kenal dengan Rhoma Irama. Sosoknya sangat tersohor sebagai seorang penyanyi dangdut. Wajar saja keterkenalannya membuat dia merasa punya peluang untuk menjadi calon presiden. Dan untuk sementara pencapresannya terus mewacana karena popularitasnya. Ironisnya meskipun popularitas Rhoma Irama sangat tinggi, tapi dari sisi elektabilitas dia kalah dari figur lain yang juga terwacana sebagai bakal capres. Dari hasil survei sebuah lembaga survei, bahwa elektabilitas bakal capres yang bakal digadang oleh partai politik berbasis islam, ternyata elektabilitas Rhoma Irama berada diurutan paling bawah. Lalu dari ketiga kandidat capres yang bakal diusung PKB, Rhoma Irama juga berada diurutan ketiga soal elektabilitas,.
Banyak hal lucu yang saya tangkap terkait pencapresan Rhoma Irama. Rasa percaya dirinya mendeklarasikan diri sebagai bakal capres, atas pertimbangan banyaknya dukungan dari rakyat terutama dukungan para penggemarnya dan dukungan para ulama, membuat banyak orang merasa geli. Apalagi kemudian diketahui wadah penggemar bernama Sonata Fans Club Indonesia (SFCI) yang diklaim mendukungnya ternyata hanya berisi segelintir orang yang didramatisir seolah berjumlah besar.
Selain itu organisasi ulama bernama Wasiat Ulama (Wasilah Silaturrahmi Asatidz Tokoh dan Ulama) yang mendukungnya belakangan diketahui hanya oraganisasi ulama karbitan yang namanya tak pernah terdengar sebelumnya. Dan ulama-ulama yang tergabung dalam organisasi ulama tersebut terindikasi sebagai ulama tak ekspert dianggap sebagai ulama. Satupun diantaranya tak ada masuk kategori ulama sepuh dan kharismatik, dan tak satupun diketahui tak punya basis.
Selain itu, klaim Rhoma Irama bahwa dia telah resmi didukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai capres, terbukti hanyalah bohong besar, karena belakangan diketahui kalau PKB belum mengusung carpes secara resmi. Yang membuat saya merasa tambah lucu, karena belakangan pemimpin Soneta Grup itu mendadak punya gelar Profesor yang tak jelas dari mana juntrungannya.
Memang wacana sosok Rhoma Irama sebagai bakal capres terus menggelinding sampai saat ini. Karena kedekatannya dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan sempat terwacana sebagai capres yang bakal diusung PKB, membuat Rhoma Irama tetap masuk sebagai figur yang bakal ikut diseleksi sebagai kandidat capres PKB bersama Mahfud MD dan Jusuf Kalla.
Sayangnya dibanding kedua bakal capres yang masuk godokan PKB, Rhoma Irama ternyata kalah kualitas. Terlepas dari hasil surveri, memang kalau dinilai dari sudut kepemimpinan, inteklektuali serta kemampuan dan penguasaan soal politik, pemerintahan, hukum, dan perekonomian, maupun berbagai persoalan yang menyangkut urusan kenegaraan, Rhoma Irama ternyata tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Mahfud MD dan Jusuf Kalla. Itu ternilai, ketika Rhoma Irama bersama Mahfud MD dan Jusuf Kalla menjadi pembicara di Seminar Politik yang diadakan Fraksi PKB di Gedung MPR RI.
Saat berbicara sebagai narasumber dalam seminiar politik itu ,Rhoma Irama banyak dicibir dan dinilai tak layak jadi capres, karena pernyataannya yang mengusulkan pembubaran Mahkamah Konstitusi dengan alasan tumpang tindih dengan Mahkamah Agung, karena memiliki fungsi serupa. Dia juga menganggap mubazir, sehingga disarankannya MK dilebur kedalam MA. Pernyataan Rhoma jadi blunder, dan ditanggapi negatif banyak kalangan. Ada yang menuding Rhoma tak mengerti dan tak pernah membaca Undang-Undang khususnya UU MK dan UU MA, sehingga tak bias membedakan fungsi MK dan MA.
Komentar paling pedas pun terlontar dari mulut Ruhut Sitompul yang pernah menjadi lawan aktingnya dalam Film Sajadah Ka’bah. “Itulah kalau Raja Dangdut ikut politik, kita orang hukum jadi pening,” kata si Raja Sorot yang juga politisi dan jubir Partai Demokrat tersebut. “….Kalau capres pas-pas an ya begitu,” itulah kalimat lain yang diarahkan Ruhut menyikapi pernyataan Rhoma Irama itu.
Kalau dinilai dari aspek inteklektualis, ilmu politik, pemerintahan, hukum, termasuk maupun berbagai persoalan yang menyangkut urusan kepemimpinan dan kenegaraan, tak salah rasanya jika saya ingin membandingkan diri saya dengan legendaries Dangdut tersebut. (Ini hanya sekedar membuat perbandingan, tak lebih dari itu, karena sudah saya tegaskan sebelumnya mustahil saya bisa jadi capres, dan itu sudah sebuah kepastian). Diluar popularitas, maka kalau dinilai dari aspek inteklektualis, ilmu politik, pemerintahan, hukum, termasuk maupun berbagai persoalan yang menyangkut urusan kepemimpinan dan kenegaraan, kayaknya saya lebih layak jadi capres ketimbang Rhoma Irama meskipun belakangan diketahui dia bergelar Profesor. Salah satu hal yang membuat saya merasa yakin kalau saya lebih layak nyapres dibanding si Raja Dangdut tersebut, yaitu penilaian saya soal pernyataan Rhoma Irama yang mengusulkan MK dengan alasan punya fungsi yang sama dengan MA. Penryataannya itu menurut saya adalah wujud dari kebodohan Rhoma soal hukum pemerintahan dan ketatanegaraan.
Terkait latar belakang keilmuan terutama penguasaan ilmu tentang hukum, pemerintahan dan tentang ketatanegaraan, yang memang dibutuhkan untuk jadi seorang presiden, kayaknya saya sangat memenuhi syarat dan kelayakan jadi capres ketimbang Rhoma Irama. Kendati saya tak bekerja di pemerintahan, tapi background pendidikan saya adalah Ilmu Hukum Administrasi Negara, karena saya tamatan SI jurusan Hukum Administrasi Negara. Jadi jika dibandingkan dengan kandidat capres penyanyi dangdut, tentu lebih tinggi ilmu tentang pemerintahan yang saya kuasai ketimbang dia. Karena kami sama-sama belum pengalaman dan belum teruji memimpin pemerintahan. maka saya akan lebih berkemampuan dalam hal memimpin pemerintahan dan negara ketimbang Rhoma Irama. Alasannya karena saya sudah punya modal ilmu dan lebih mumpuni soal hukum, pemerintahan dan tentang ketatanegaraan, yang merupakan modal penting untuk menjadi presiden. Sementara seorang Rhoma Irama yang aslinya hanya tamatan SMA sudah terbukti tak menguasai ilmu hukum, pemerintahan dan ketatanegaraan.
Soal moral, di banding figur bakal capres dari penyanyi dangdut yang hobbi kawin siri, maka saya termasuk figur yang lebih bermoral dari Rhoma Irama yang terkenal hobbi kawin siri. Yang pasti saya masih bersih dari noda moralitas termasuk tak pernah kawin siri. Maka secara moral saya lebih layak jadi capres ketimbang Rhoma Irama.
Lalu kalau ditanya apa modal unggulan yang diandalkan si Raja Dangdut tersebut dalam mencapres. Tak lain dan tak bukan hanya popularitasnya sebagai pedangdut dan gelarnya sebagai Raja Dangdut. Tapi yang jelas kemampuan menyanyikan lagu dangdut plus menciptakan lagu dangdut, termasuk gelar profesornya yang tak jelas itu, tak ada korelasinya dan tak dibutuhkan sebagai referensi penilaian agar dianggap layak untuk mencapres.
Penulis : M Alinapiah Simbolon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H