[caption id="attachment_313837" align="aligncenter" width="841" caption="foto : berita.muslim-menjawab.com"][/caption]
Menjelang Pemilu legislatif  2014 tampang para calon legislatif yang bertarung untuk merebut kursi DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan DPD RI, terpampang, terpancang dan bergantungan dimana-mana. Tampang para caleg yang terbingkai pada Alat Peraga Kampanye (APK), dengan berbagai ukuran baik dalam bentuk baliho, spanduk, stiker dan sejenisnya bertebaran dan bertaburan di berbagai sudut tempat di pelosok nusantara. Pagar, dinding rumah atau dinding gedung, berikut tiang listrik, tiang telepon sampai tiang jemuran. menjadi lokasi pampangan alat peraga kampanye para caleg. Pepohonan yang nota bene makhluk hidup, terpaksa jadi korban yang terluka dan tersakiti, karena jadi sasaran paku untuk tempat cantolan alat peraga kampanye para caleg. Tak hanya itu, body mobil pun jadi tempat alat peraga kampanye, dan itu dianggap efektif karena bisa bebas bergerak dan berpindah kemana saja.
Gambar para caleg dengan nuansa warna-warni, tak terhindar menjadi pemandangan menyilaukan. Saat ini siapapun yang menoleh kiri kanan dan muka belakang, akan melihat penampakan berupa tampang para caleg baik yang terpancang, yang bergelangtungan maupun yang berseleweran di jalanan. Selain nomor urut para caleg, termasuk nomor partai politik yang mengusung sang caleg, pada alat peraga kampanye tertera juga kata-kata ataupun kalimat yang seolah menegaskan mereka layak untuk dipilih juga terangkai dan menghiasai gambar tampang para caleg.
Maraknya para caleg yang jual tampang melalui alat peraga kampanye, sebuah gambaran kuatnya ambisi para caleg untuk meraih kursi kehormatan sebagai wakil rakyat. Kondisi seperti itu, hal yang wajar terjadi, dan sudah tradisi musiman yang menggebyar menjelang berlangsungnya helatan demokrasi bernama pemilihan umum legislatif. Memang terkesan menghamburkan uang, apalagi kalau dinominalkan dengan nilai rupiah, sudah pasti tak sedikit uang yang dikeluarkan masing-masing caleg untuk pengadaaan alat peraga kampanyenya. Kalau diglobalkan, jelas tak terhitung jumlah uang yang dikeluarkan seluruh caleg hanya untuk biaya pengenalan wajah melalui alat peraga kampanye.
Meski tak ada jaminan akan efektif membuat para caleg dipilih oleh rakyat, namun pamer tampang melalui alat peraga kampanye terlihat sangat kompetitif terjadi di lapangan. Kesan yang ditangkap dari bertebar dan bertaburnya alat peraga kampanye adalah bentuk keseriusan para caleg agar dikenal dan dipilih rakyat, dengan satu tujuan yaitu meraih dan menduduki jabatan sebagai anggota legislatif.
Berbicara ambisi, dipastikan sebagian besar atau bahkan seluruh caleg berambisi agar terpilih sebagai legislator. Maraknya alat peraga kampanye, bukti para caleg memang berambisi untuk menang. Selain itu tak sedikit dari para caleg yang awalnya hanya sekedar mencaleg atau memenuhi kuato jatah caleg, terutama caleg perempuan, ketika mendekati hari pemilihan, obsesinya berubah menjadi caleg yang ambisius dan menjadi serius bertarung mencari simpati rakyat agar menjadi caleg terpilih. Banyak juga para caleg  yang ambisius tanpa mempertimbangkan peluang dan batas kemampuannya mendapat simpati rakyat. Bagi yang tak punya materi atau minim materi, maka untuk mewujudkan ambisinya, berusaha maksimal meningkatkan sosialisasi dan bahkan ada yang tak sungkan-sungkan mengumbar janji agar terpilih. Tak sedikit juga caleg yang mengandalkan uang semata, dan  berprinsip uang akan bisa menjadikannya terpilih sebagai legislator.  Munculnya caleg demikian karena masih banyak masyarakat tak punya prinsip, sehingga tak berpikir cerdas dalam menggunakan hak pilihnya atau memilih karena orientasi materi semata.
Jabatan legislatif adalah jabatan yang diimpikan dan berusaha diraih para caleg. Sebagian besar para caleg yang sudah merasakan nikmatnya kursi legislatif , seperti terkena zat adiktif sehingga ketagihan menduduki jabatan tersebut, dan kembali mencalegkan diri (caleg incumbent atau pertahana). Untuk caleg incumbent atau pertahana, tampak tak merasa malu kembali mereproduksi diri alias mendaur ulang dirinya seolah dianggap sebagai orang yang merakyat dan peduli sama rakyat, meskipun mayoritas dari mereka ketika menjabat sikapnya tak mencerminkan wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat.
Lalu, yang belum pernah merasakan nikmatnya jabatan legislatif, ambisinya untuk meraih kursi legislatir tak kalah dengan ambisi caleg incumbent atau pertahana. Bahkan tak sedikit jumlah caleg yang tak kapok-kapoknya atau tak bosan-bosannya mencalegkan diri, meski sebelumnya sudah beberapa kali menyandang status sebagai caleg gagal. Ironisnya lagi, ada caleg yang hanya modal tampang doang,  ditambah modal semangat serta modal banyak berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar bisa terpilih.
Jabatan sebagai anggota legislatif  bukanlah jabatan sembarangan. Meski pada prinsipnya jabatan tersebut tak ubahnya seperti profesi perkerjaan lain yang mendapat upah atau gaji bulanan, atau tak ubahnya seperti jabatan pegawai negeri yang mendapat gaji dari negara. Meskipun hanya jabatan yang berpriodik (hanya 5 tahun), namun ada nilai lebih dari jabatan tersebut, yaitu status terhormat yang melekat di jabatan tersebut. Dikatakan sebagai jabatan terhormat karena orang yang berhasil menduduki posisi di jabatan tersebut dijuluki wakil rakyat yang terhormat, karena dipilih dan mendapat kepercayaan (mandat) dari rakyat melalui sebuah proses demokrasi.
Melihat kuatnya daya tarik jabatan legislatit, merangsang para caleg berusaha maksimal untuk meraih jabatan tersebut. Para caleg tak peduli dengan besarnya cost politik yang dikeluarkan agar bisa terpilih dan meraih jabatan sebagai anggota legislatif. Sampai-sampai ada yang berani mengambil resiko mengelontorkan uang untuk melakukan money politik atau membeli suara rakyat, agar berhasil meraih jabatan tersebut, dan cara ini seperti sudah mentradisi dan sudah menjadi rahasia umum. Ironisnya jumlah nominal yang digelontorkan untuk beli suara pemilih sangat kompetitif. Tak terbantah kalau terjadi persaingan harga pasaran suara, dan prakteknya memang terjadi di pemilihan legislatif sebelumnya dan kemungkinan besar tak mungkin tak terjadi pada pemilihan legislatif 2014 nanti.
Status sebagai wakil rakyat terhormat, begitu menggairahkan bagi para caleg untuk meraihnya. Sayangnya yang terlihat dari upaya sebagian besar para caleg yang tengah bertarung untuk meraih satatus tersebut, terkesan mengenyampingkan fungsi dan tujuan mulia yang melekat di jabatan yang mereka kejar itu, apalagi partai-partai politik lebih mengutamakan target meraih kursi sebanyak-banyaknya di lembaga legislatif, sehingga tak sedikit caleg yang dimajukan pun hanya sebatas caleg berpotensi untuk meraih suara.
Melihat ambisi para caleg, kursi jabatan yang diperebutkan seolah tak dianggap lagi sebagai  jabatan yang berfungsi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Kesan yang ditangkap, bahwa motivasi para caleg dengan daya upayanya untuk menang di pemilihan umum, di satu sisi hanya semata mengejar status sebagai wakil rakyat terhormat, dan di sisi lain karena melihat posisi wakil rakyat tersebut sebagai sebuah pekerjaan dengan gaji besar, dan sebagai pekerjaan dengan posisi jabatan politik yang punya kekuatan dan nilai tawar secara politik. Yang membuat lebih merangsang para caleg, jabatan tersebut adalah jabatan yang berpeluang meraih penghasilan materi dan fasilititas yang menjanjikan, di luar dari penghasilan resmi dari jabatan itu.
Jadi tak bisa dipungkiri dan sudah menjadi pemikiran di benak sebagian besar para caleg yang berambisi dan berusaha untuk menang, terutama caleg yang berani menggelontorkan uang untuk menang, termasuk para caleg incumbent atau pertahana, bahwa biaya yang mereka keluarkan saat mencaleg akan bisa kembali saat mereka berhasil meraih jabatan sebagai wakil rakyat.
Kalaupun para caleg mengumbar janji jika mereka terpilih akan memperjuangkan kepentingan rakyat, kebanyakan janji seperti itu hanya sebatas retorika dan dan dilontarkan sebagai bentuk cari simpati, karena pada kenyataannya jabatan tersebutlah tujuan utamanya. Logikanya, para caleg yang kelak terpilih, yang sebagian besar telah mengeluarkan biaya yang tak sedikit agar terpilih, tentu lebih mengutamakan kepentingan pengembalian biaya yang telah dikeluarkannya saat mencaleg. Kondisi demikian memang sudah menjadi preseden dan fakta yang dipertontonkan kebanyakan dari anggota legislatif hasil pemilihan legislatif sebelum-sebelumnya, dan berkemungkinan akan dipertontonkan oleh sebagaian besar anggota legislatif yang bakal terpilih di pemilihan legislatif 2014 nanti.
Penulis : M Alinapiah Simbolon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H