Mohon tunggu...
Alisha Dyah Shafira
Alisha Dyah Shafira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Jember

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kemunculan China - ASEAN Free Trade Area dan Pengaruhnya terhadap Perdagangan Tekstil Indonesia

4 Maret 2023   21:24 Diperbarui: 5 Maret 2023   17:59 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Industri tekstil di sektor perdagangan Indonesia bukanlah perkembangan baru. Kata Romawi "Texrere", yang berarti menenun, adalah tempat kita mendapatkan kata "tekstil" seperti yang kita kenal sekarang. Ketika berbicara tentang perdagangan, tekstil biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, khususnya yang berkaitan dengan pakaian. Tekstil dapat digunakan untuk berbagai keperluan tambahan selain hanya untuk pakaian. Misalnya, industri otomotif menggunakan tekstil berupa kain pembungkus jok untuk mobil dan sepeda motor.

Sektor industri manufaktur, termasuk industri tekstil, penting bagi perekonomian Indonesia dari dua sisi: potensinya untuk menghasilkan ekspor dan cadangan devisa. Oleh karena itu, pemerintah harus terus berupaya mendorong perkembangan sektor manufaktur dengan memperhatikan kondisi perdagangan domestik dan global. Banyak cara untuk melihat kontribusi industri TPT terhadap perekonomian global, salah satunya adalah melalui kacamata perdagangan global.

Peningkatan ekspor tekstil global selama 29 tahun terakhir menunjukkan angka yang tidak menentu dari tahun 1980 hingga 2009. Rata-rata peningkatan ekspor tekstil global antara tahun 1980 dan 2009 adalah 4%. Laju pertumbuhan ekspor TPT dunia yang cenderung berfluktuasi setiap tahunnya menunjukkan perlunya terus memperhatikan hambatan perdagangan yang masih dihadapi industri TPT.

Biaya manufaktur yang meningkat, mesin-mesin usang yang digunakan di sebagian besar produksi tekstil, kapasitas industri yang tidak mencukupi, kebijakan perbankan yang tidak ramah, produktivitas pekerja yang rendah karena pola produksi yang tidak menguntungkan, cenderung padat karya, memiliki sedikit industri pendukung, inefisiensi, dan bantuan sektor jasa domestik yang tidak memadai, adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga bahan baku. Mengingat betapa terbukanya ekonomi Indonesia dan seberapa luas gagasan perdagangan bebas diterima di seluruh dunia, pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap hambatan-hambatan dan kebijakan baru sangat diperlukan.

Menjalin kerjasama perdagangan dalam semangat liberalisasi perdagangan baik secara multilateral maupun di bawah naungan China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) merupakan salah satu implementasi strategi kebijakan Indonesia.

Pada November 2001, pada KTT ASEAN ke-7 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, CAFTA diperkenalkan untuk yang pertama kali. Kepala negara anggota ASEAN dan China menandatangani framework agreement ini di Phnom Penh, Kamboja, tiga tahun kemudian, tepatnya pada 4 November 2004. Tujuan CAFTA adalah untuk menjembatani kesenjangan antara kedua pihak dengan memperkuat dan memperluas kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara kedua pihak, meliberalisasi perdagangan barang, jasa, dan investasi di wilayah baru, dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan. untuk kedua belah pihak. Ini juga bertujuan untuk memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara-negara anggota ASEAN yang baru.

China telah lama memposisikan dirinya sebagai produsen tekstil dengan kapasitas produksi yang tinggi dan harga yang sangat rendah. Hal ini tentunya akan memberikan pengaruh yang signifikan bagi Indonesia. Jadi perdagangan Indonesia, khususnya komoditas tekstil, melawan kekuatan ekonomi dan perdagangan besar-besaran yang dimiliki China. Ade Sudrajat Usman, yang menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) yang menyatakan bahwa :"Pangsa pasar tekstil dalam negeri akan terus tergerus oleh tekstil dari Cina, namun kita tidak boleh saling menyalahkan karena yang terpenting adalah bagaimana pemecahan permasalahan dari CAFTA".

Sejak tahun 2005 hingga 2007, ekspor tekstil Indonesia ke China secara umum meningkat, namun dari tahun 2008 hingga 2009, nilai ekspor mulai stabil dan akhirnya turun hingga tahun 2011. Penurunan pengiriman yang tajam dari tahun 2009 hingga 2011 dapat menjadi bukti yang sangat kuat bahwa agenda CAFTA secara signifikan merugikan ekspor tekstil Indonesia ke China.

Sungguh luar biasa bahwa produk tekstil diekspor dan diimpor dari China dan Indonesia. Hal ini disebabkan China dan Indonesia sama-sama memproduksi tekstil dalam skala yang cukup besar sebagai komoditas premium, meskipun secara umum masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena jumlah penduduk yang sangat besar sebagai pangsa pasar, Indonesia dan China sama-sama memiliki pangsa pasar yang terbuka untuk komoditas tekstil.

Indonesia juga mengimpor tekstil dari China selain mengekspornya ke negara tersebut. Pemangku kepentingan perdagangan mengimpor tekstil dari China, bersama dengan India dan sejumlah negara lain, sebagian karena harga yang rendah dan stok yang tersedia melimpah.


photo-2023-03-05-07-07-25-6403de4a4addee63f83ec772.jpg
photo-2023-03-05-07-07-25-6403de4a4addee63f83ec772.jpg
motif batik


Secara prinsip, Batik dan tekstil lainnya dari Indonesia memiliki karakter unik yang tidak dimiliki oleh barang-barang dari negara lain. Namun, upaya pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai promosi perdagangan ke China terkendala oleh kurangnya kesiapan industri tekstil Indonesia untuk bersaing dengan pengusaha China.

Pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan lainnya mulai mempertimbangkan langkah-langkah untuk dapat menyelamatkan sektor tekstil dalam negeri dengan menerapkan berbagai kebijakan guna menghadapi dominasi perdagangan tekstil China. Sejumlah kebijakan ditempuh, antara lain kebijakan dalam negeri yang mendukung sektor UMKM tekstil karena secara teori industri ini yang paling terkena dampak negatif penerapan CAFTA karena faktor teknis, kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni, bahan baku, dan sumber keuangan.

Kebijakan pertama adalah meningkatkan layanan perbankan, pasar modal, multifinance, dan asuransi untuk memperluas layanan keuangan, khususnya bagi pelaku UMKM, khususnya produk tekstil dan batik.

Kebijakan kedua adalah meningkatkan infrastruktur layanan keuangan, termasuk akses pasar, layanan penagihan dan pembayaran, kemudahan menabung dan berinvestasi, dan mendorong pelaksanaan transaksi komersial secara umum. Tanpa inisiatif untuk meningkatkan kemampuan kewirausahaan UMKM di Indonesia, peningkatan layanan dan infrastruktur pendukung tidak akan ada apa-apanya.

Kebijakan ketiga adalah meningkatkan kemampuan teknis dan manajemen bisnis, serta manajemen keuangan, penciptaan produk dan penjualan, serta kewirausahaan secara keseluruhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun