Beruntung rasanya merasakan atmosfir suasana reformis setelah pasca kejatuhan orde baru. Suasana pelik dibawah represifitas pengekangan kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat  sebagaimana dirasakan pada regim Orde Baru sudah tidak ada lagi. Euforia kemerdekaan dalam mengemukakan pendapat sebagaimana UU Dasar 1945 dalam bentuk  patisipasi aktif aktif sebagai warga negara semakin terbuka.
Ruang publik dipenuhi berbagai kreatifitas dan innovasi warga untuk menyampaikan berbagai pikiran terbuka soal kemajuan negeri di alam dan suasana yang lebih demokratis. Berbagai lembaga sipil tumbuh dengan subur, lembaga negara untuk menjamin hak-hak warga dalam Kepemiluan  dibentuk oleh negara dan berbagai lembaga pemilu independen tumbuh bak jamur di musim hujan.  Tentu dengan berbagai konsekuensi plus minus. Selanjutnya sudah bagaimana antusiasme warga dalam mengikuti  pemilu yang demokratis tersebut?
Pembentukan KPU dan Panwaslu sangat penting dalam  mendorong partisipasi warga. Jika di pemilu selama 4 kali masih berkutat pada asas dan dalil legalitas, payung, dan terus melakukan perbaikan dalam sistem pemilu maka di tahun 2024 adalah fokus bagaimana menarik antusiasme warga untuk ikut berpesta demokrasi dengan riang dan gembira.Â
Jika awal reformasi,warga sangat bersemangat untuk ikut pemilu langsung . Â Seperti seekor burung yang keluar dari sangkar, aura kebebasan yang digambarkan dengan tingginya partisipasi pemilih pada waktu itu bisa menjadi cerminan baik bahwa antusiasme warga ikut Pemilu benar-benar murni dari reaksi masyarakat atas alam kebebasan demokrasi pada saat itu. Harusnya Pemilu langsung yang kita lakukan pada tahun 1999 menjadi rujukan kita semua bagaimana menumbuhkan partisipasi warga. Namanya pesta demokrasi, panitia,peserta bahkan penonton harus terlibat secara aktif dalam seluruh rangkaian proses ini.
Jangan panitia dalam hal ini KPU dan Panwaslu saja yang sangat bersemangat,tetapi pemilih hanya diam dan jadi penonton saja.Bahkan anggota atau peserta hanya datang,cucuk dan pulang.
Membangun antusiasme bisa dimulai dari persiapan.Berbagai kebudayaan lokal bisa menjadi identitas pesta.Bukan hanya membangun stigma tapi lebih kepada mendekatkan pemilu sebagai sistim demokrasi modern kombinasi dengan tradisi dan budaya setempat.
Jargon-jargon  jangan terpusat.Tetapi melekat dari keberagaman etnis dan budaya.Kita senang dengan maskot KPU yang basisnya adalah salah satu spesies dari bumi Indonesia . Model pengembangan simbol berbasis lokalitas perlu dikembangkan. Para budayawan , sastrawan bahkan para filsuf negeri ini harus dilibatkan tentu agar tergali konektifitas budaya setempat dengan  demokrasi modern dalam konteks pemenuhan hak sipil, demokrasi dan kemajuan suatu bangsa.
Memberi warna keberagaman etnis dalam dalam hari H Â di Pemilihan Umum lewat berbagai atraksi, busana lokal, penggunaan atribut berbagai daerah di tahun-tahun sebelumnya bisa menjadi aspirasi yang harus dimodifikasi. Perpaduan demokratisasi warga lewat Pemilu dan proses kewarnaan ragam budaya dari berbagai atraksi, prinsip, nilai suatu daerah bisa diadopsi . Tentu dalam kerangka menumbuhkan antuasiasme warga terlibat dalam pemilu berbasis ciri budaya dan khas mereka.
Contoh simpelnya adalah saat hari H, bisa dilakukan dengan atraksi tari bersama peserta Pemilu. Misalnya dengan tarian Sumba yang lagi viral saat ini,atau dengan lagu pembuka Pariban dari Jakarta sebuah lagu dari Tapanuli yang dinyanyikan di setiap pesta, atau sebagaimana dilakukan oleh Panitia Pemilu di beberapa daerah di Jawa dengan menggunakan berbagai pakaian daerah.Â
Contoh lain misalnya saat kampanye berbasis keragaman budaya melalui karnaval, pawai makanan khas lokal, atau tari massal Papua bisa menjadi satu sistem dalam proses pelaksanaan Pemilu yang selama ini bersifat Luber, menjadi Luber Plus+ penuh antusiasme. Penuh keriangan karena peserta melakukannya sekaligus mempromosikan budaya dimana mereka berada.
Memang fleksibilitas model penyelenggaraan ini terbuka, tapi alangkah baiknya jika ini menjadi konsep bersama yang dikembangkan dari pusat, dengan syarat mengembangkan budaya setempat.Â