Mohon tunggu...
Alis Nopi
Alis Nopi Mohon Tunggu... -

ringan aja,,yang penting bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan (Kepingan yang Hilang)

21 Juni 2013   20:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:37 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika dunia tidak sesederhana yang kamu pikirkan. Disini ada seseorang yang lahir dengan kemampuan bisa melihat masa depannya sendiri. Terkadang itu baik, namun tidak selalu memberi kebahagiaan.

Ketika dunia tidak selalu memberi satu jalan yang mudah, ia memaksa kita harus memilih hal lain. Ketika itu ada dia. Dia, seseorang yang bisa melihat masa lalu. Melihat melalui kehidupan lalu yang pernah ditempuh.

Ketika dunia berjalan dengan teman lamanya, takdir. Mereka memulai ceritanya, cerita kami. Aku dengan masa depan, bertemu dia dengan masa lalu.

“ Kita pernah bertemu di masa lalu, dan berakhir dengan tragis.”

“ Aku melihatmu di masa depanku, kita bahagia sampai ada akhir yang menyedihkan.”

“ Ini pertemuan pertama kita di masa ini. Lebih baik sampai disini.”

“Pilihan menarik.”

Aku dan dia berpisah, menghindari takdir yang seharusnya terjadi pada kita. Dunia memberi pilihan, kami memilih menghindar dari segala hal yang akan menyikiti hati ini. Kami belum siap, siap menerima takdir bahwa cinta kami akanberakhir biru diujung jalan.

Kami berhasil menghindar, namun apakah dunia dan takdir akan menyerah pada pilihan kami ?

***

Tiga belas bulan setelah pertemuan (Kepingan pertama aku dan dia)

Sejak pertama aku melihatnya, aku tak bisa melepaskan pikiranku tentang dirinya. Sedang apa dia sekarang, sedang memikirkan apa, sedang dimana dirinya, apakah ia baik – baik saja ?

Satu hal yang tidak bisa kuhindari, aku tak bisa tidak melihat masa – masa indah diwaktu yang akan datang, ketika aku bersama dirinya.

Anjani adalah wanita yang menyukai alam, mencintai hangatnya matahari,dan lebih suka diguyur hujan dibanding berlindung dibawah payung. Ia menikmati waktu dengan segelas teh hangat sambil melukis apa yang sedang ia pikirkan. Hahaha…ya terkadang ia memikirkan terlalu banyak hal sampai ia bingung ingin melukis yang mana terlebih dahulu. Anjani sangat cantik saat tersenyum, dan ia terlalu mudah tersenyum. Ia bisa terseyum hanya karena melihat rambutnya berantakan saat bangun tidur, ia pikir ini hal yang lucu. Ia suka menyapa orang lain walaupun orang itu tak mengenalnya. Kebiasaan yang paling lucu adalah saat ia berpikir tentang sesuatu ia akan menaruh sikunya di meja, kedua tangannya memegang pipinya yang tembem bersemu merah, kemudian ia akan mengetukan keempat jarinya dipipinya itu, tak lupa sambil tersenyum.

Aku sudah dibuat gila hanya dengan melihatnya dalam pikiranku. Tiga belas bulan aku menghindari bertemu dengannya langsung, tapi aku menyerah untuk melupakannya. Aku terpenjara melihat dirinya dipikiranku sendiri. Ya, aku memiliki kelebihan bisa melihat masa depan seseorang, dan aku selalu rindu melihat masa depannya.

Sampai detik ini aku sadar aku telah hanyut dengan Anjani. Aku memang belum memiliki kenangan indah bersamanya, kecuali pertemuan pertama yang sesaat itu. Tapi, bagaimana ini… aku benar – benar…. sedang,, jatuh cin..ta hanya dengan melihat dirinya dalam pikiranku. Bagaimana kalau bertemu dengannya langsung, bagaimana kalau aku benar – benar bersamanya ?

***

Tiga belas bulan setelah pertemuan (Kepingan pertama aku dan dia)

“ Anjani disini.” Sapaku melelaui ponsel.

“ Kamu dimana ?”

“ di jalan lagi cari makan siang.”

“ Kantin ?”

“ Enggak, aku mau makan di resto perempatan kantor kita. Kamu mau nitip ?”

“ Boleh.”

“ Nitip makanan atau mas – mas penjualnya ?” ledek aku jahil.

“ Dua – duanya juga engga nolak. Lagian temen kamu sudah lumutan nih jomblo setahun.” Balasnya memelas, “ Siapa tahu cocok.”

Aku tertawa keras mendengarnya, beberapa orang jadi menoleh kearahku.

“ Hati – hati Jani, jangan lupa mas – masnya yang ganteng plus tinggi ya.”

“ Siap nyonya.”Ucapku sebelum menutup ponselnya.

Setelah menutup telepon, ku langsung menyadari aku sudah berjalan cukup jauh, dan sampai di perempatan besar.Aku cukup menunggu lampu lalu lintas berubah merah untuk mobil, dan menyeberang lurus. Beberapa orang juga menunggu sepertiku, tapi bukan mereka yang merebut perhatianku tiba - tiba. Disana, ada diseberang sana. Laki – laki itu, dia berdiri diseberang sana.

Mungkin namanya Marlon, kita belum sempat saling mengenalkan nama. Tetapi ini bukanlah pertemuan pertama kita. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana ini bisa terjadi, tapi aku dapat melihat kehidupan lalu seseorang, salah satunya laki – laki itu.

Dahulu namanya Marlon. Dia pendiam, cerdas, dan bijak. Orang akan mudah menyukainya saat berbicara dengannya. Kata – katanya tidak pernah menyakitkan, dan ia pendengar yang baik, serta perhatiannya membuat orang lain tersentuh. Aku bisa melihat ketampanannya saat ia sedang memandang seseorang, tatapannya hangat dan dalam.

Satu hal yang penting, inilah pertama kali jantungku berdegub kencang saat aku melihat kehidupan lalu seseorang.

Aku pernah beretemunya 13 bulan yang lalu, otakku bagai film yang terputar ulang, aku melihat masa lalunya. Dalam sekejap aku mengenalnya, dan seperti saat ini, jantungku berderu kencang, dan membuat wajaku memanas seketika. Setelah peretemuan itu aku sadar ada yang salah dengan diriku. Aku tidak bisa berehenti untuk melihat kehidupan lalunya, aku bisa merasakan rindu yang hebat bila aku tidak memikirkannya. Semakin lama ia ada dalam otakku, semakin dalam pereasaanku.

Akhirnya hari ini terjadi, pertemuan kami yang kedua.

Lalu, apa yang harus aku lakukan ?

***

Sesuai penglihatanku, Anjani ada diseberang sana. Aku tahu kami saling memandang, dan aku yakin ia sedang memikirkan hal yang sama denganku.

“ Apa yang harus kita lakukan ?”

Saat pertemuan pertama kita 13 bulan lalu, kita sudah memutuskan untuk tidak saling mengenal, agar tidak tumbuh perasaan apapun yang akhirnya dapat membunuh hati ini.

“ Tapi aku terlanjur rindu denganmu….”

Aku melihat bayangan itu lagi, aku dan Anjani hidup bahagia berdua, saling tertawa dan mencintai sampai akhirnya…. Aku akan pergi, pergi meninggalkan Anjani selamanya. Aku meninggalkan dirinya dalam hidup yang sepi, dan tanpa harapan.

“ Bagaimana bisa aku membuatmu seperti itu… bahkan kamu tidak akan tersenyum lagi.”

“ Egoiskah kalau aku mau hidup bersamamu sampai detik akhir hidupku… ?”

***

Raut wajah itu lagi. Raut wajah yang pilu Marlon.

“ Apa yang harus aku lakukan ? aku….. berharap…. sekali saja, aku ingin kamu memandangku dan menenangkan jantung yang gila ini karena mu.”

Kehidupan lalu itu menceritakan, bagaimana ia bertemu denganku, dan betapa kebersamaan kami yang dapat membuat malaikatpun tersenyum. Aku melihat setiap hal yang kami lalui adalah kebahagiaan dan harapan indah. Semua sempurna, walupun pada akhirnya, akulah yang akan meninggalkan ia dalam penderitaan tanpa ujung. Ketika aku tak ada lagi di dunia, ia melalui hari tanpa jiwa indahnya, dan menggali lubang suram yang membuatnya lari dari kehidupan, dan menyusulku.

“ Mengapa harus berakhir seperti itu. Tidak adakah akhirnya yang bahagia untuk kita ?”

Lampu hijau untuk pejalan kaki menyala. Aku berjalan pelan dengan ragu, namun tanpa sadar aku berjalan mengarah padanya.

***

Waktu seperti membeku, aku berdiri didepannya

“ Jangan ada perkenalan, dan jangan menaruh hati. Kita berpisah saja sekarang. Itu ucapanmu dulu.” Aku melihatnya lekat – lekat, “ Kamu mengingatnya?”

“ Aku…. Salah. Kita berdua memilih jalan yang salah saat itu.” Ucap Anjani

“ Perpisahan itu… membuat kita bertemu lagi pada akhirnya. Takdir kah ?”

Anjani tersenyum indah, “ Namaku Anjani, bolehkah aku mengenalmu, aku akan terima resiko apapun yang harus kulalui besok.”

“Aku tak mau egois, tapi aku lebih tak sanggub menghindarimu lagi.”

Anjani mengangguk, “ Mungkin tidak ada akhir yang indah untuk kita berdua, tapi lebih baik memiliki kenangan indah yang kecil namun sebenarnya, daripada aku tidak memiliki sama sekali.”

“Aku Marlon….”

Lampu hijau untuk kendaraan telah menyala, aku menggenggam tangan Anjani untuk mendekat denganku, “ Aku tak mau menjadi bodoh, karena takut dengan takdir, dan melewatkan dirimu.”

“ Ayo kita cari kebahagiaan kita, walau hanya sedetik.”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun