Mohon tunggu...
Alis Nopi
Alis Nopi Mohon Tunggu... -

ringan aja,,yang penting bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta 40 Tahun Kemudian

12 Maret 2013   12:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:55 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Buku yang dijual di tukang loak, adalah buku dengan sejarahnya sendiri. Mungkin buku itu dulu mempunyai makna yang dalam bagi seseorang, atau itu hanya sekedar buku yang sudah usang dan tak bermakna lagi. Namun, akan menjadi sebuah catatan bersambung, disaat buku itu mempunyai sejarah tak terselesaikan. Saat kamu menemui buku seperti itu, apa yang akan kamu lakukan?

“ Oh My Lord….. aku sudah cek kesana, ternyata itu alamat rumah reyok gak berpenghuni sama sekali. Gila, aku ngerasa bego deh setelah dengan polosnya aku ke alamat ini demi ngasih buku dan surat ini.” OmelNiya panjang di ponsel

“ Gue bilang apa kan ?” timpal spontan Lea, “ itu buku jaman jabot. Ya kali yang punya masih hidup. Tanggal disuratnya saja 40 tahun yang lalu.”

“ Ya sudahlah, yang penting aku ada niat baik. Kalau enggak begini, aku merasa bersalah enggak menyampaikan surat terakhir laki – laki itu.” Niya menghela napas, membuang kekesalannya, “ Aku jalan pulang deh sekarang. Aku tutup dulu ya teleponnya.”

Niya memasukan ponselnya kedalam saku celananya. Disatu sisi ia masih belum rela dengan akhir sia – sia seperti ini. Bagi dirinya, surat yang ditemukan dalam buku loak yang baru ia beli kemarin, bukanlah surat tanpa arti. Surat ini sangat penting bagi laki – laki yang menulisnya, laki – laki pemilik buku ini. Surat ini yang seharusnya dibaca bukan oleh dirinya, tapi oleh perempuan lain, yang mungkin adalah cinta sejati laki – laki itu.

Bagaikan berdiri diatas dua tebing, dipisahkan oleh jurang tanpa dasar. Kita tidak bisa menuruni tebing ini, dan saling bertemu ditengah jurang itu.

Aku Indonesia, dan engkau nona cantik bermata biru, berkulit putih seperti boneka, yang kuketahui engkau Belanda.

Sempatkah surat ini sampai ditanganmu, sebelum engkau kembali ke negaramu.

Ellen, sempatkah aku mengatakan cintaku telah menjadi milikmu.

Ellen….. seandainya takdir tak berpihak pada kita, mungkinkah cinta tetap bersemi tanpa harus bersama.

“ Maaf mbak, mau ngapain ya ?” tiba – tiba satpam yang entah dari mana menegur Niya yang tadi sempat larut dengan surat itu. “ Kalau lagi baca, jangan sambil berdiri ditengah jalan.”

Niya salah tingkah, “ Ehm.. anu… saya lagi cari alamat Pak. Tapi ternyata alamatnya sudah tidak berpenghuni.”

“ Maksudnya rumah ini ?” tunjuknya ke rumah yang persis rumah hantu.

“ Iya. Ini rumah Ellen Schwerin. Tapi mungkin…… dulu banget ya.”

Satpam itu ikut manggut – manggut, “ Mungkin. Saya juga enggak tahu nama itu. Susah banget mbak.”

“ Makanya saya bilang mungkin.” Balas Niya setengah hati

“ Sekarang mah sudah mau dirubuhin mbak. Mau dibuat restoran sama cucunya si Oma Bule.”

Niya melongo sebentar. “ Siapa pak ? Omanya siapa ?”

“ Itu…. Ya elah istrinya Profesor Sudrajat.” Pak satpam ikut diam, karena Niya juga diam, “ Masa kagak tahu, Profesor nikahin bule dulu banget, terus pas professor meninggal, sekeluarga pindah deh, makanya rumahnya terlantar gini.”

“ Bule Belanda bukan pak ?” tanya Niya kelewat semangat

“ Enggak tahu, namanya Ellen Sudrajat.”

Niya menghentak kakinya dengan kesal, “ Tadi kan saya ngomong tentang yang namanya Ellen.” Niya gregetan, “ Ya sudah, jadi sekarang mereka tinggal dimana ?” lanjutnya penasaran.

***

Wanita cantik, tanpa cela walaupun kerutan dibeberapa tempat menandakan ia sudah berusia tua. Itulah foto wanita yang mungkin bernama Ellen Schwerin, atau menjadi Ellen Sudrajat setelah ia menikah professor itu. Ia tidak menikahi laki – laki yang menulis surat itu, tapi ia tetap menikahi seorang Indonesia.

“ Saya terkejut kamu mencari ibu saya.”

Niya tersenyum malu, “ Maaf tante, tidak bermaksud usil atau mengganggu. Ceritanya dua hari yang lalu saya beli buku ini di tukang loak, buku karya NH. Dini. Saya juga kaget, sewaktu membuka setiap halaman, ada surat yang tertinggal didalamnya. Surat ini ditujukan untuk Nyonya Ellen Schwerin. Karena menurut saya surat ini penting bagi pemiliknya, jadi saya harap saya bisa memberikan langsung pada Nyonya Ellen.”

“ Sayangnya ibu saya sudah meninggal.”

Niya kecewa berat mendengarnya, ia bahkan seperti patah hati. Niya merasa, kalaupun mereka tidak bersama, tidak bisakah Ellen tahu bahwa ada laki – laki yang benar – benar mencintainya. Walaupun semua terlambat, tidak bisakah ada sedikit akhir bahagia untuk mereka.

“ Tapi….” Ibu melanjutkan dengan sedikit ragu, “ Saya senang kamu membawa buku itu kembali bersama surat ini. Mungkin ini harta yang berarti bagi ibu saya dan…..”

“ Ma, aku pulang.” Seru seorang laki – laki seumuran Niya dengan cueknya. Ia bahkan tidak melihat keadaan saat masuk keruangan dan memotong tanpa sopan pembicaraan ini.

“ Aji. Jangan langsung ke kamar, sapa dulu tamu ini.” Tegur ibunya dengan sangat halus “ Maaf Niya, anak saya terlalu cuek begini.”

Aji datang menghampiri dengan langkah tidak niat, sedangkan semakin dekat Aji mendekati mereka, semakin Niya diam seribu bahasa dan otaknya hampir lumpuh tak bisa berpikir saking terkejutnya.

“ Lah Niya ya ? Kok elo sampai kesini.” Sapa Aji yang kaget juga melihat Niya dirumahnya.

“ Kalian saling kenal ?”

“ Iya Ma, Niya temen SMA aku dulu sebelum kita pindah. Kaget juga bisa ketemu lagi disini.”

Ibunya tertawa dengan sangat bahagia, “ Dunia kecil ya… takdir ini namanya.”

‘ Dia adalah Aji… ya dia Aji, teman SMA. Bukan, bukan hanya itu. Dia adalah teman sekelas yang pernah aku taksir. Astaga, nama belakang Aji adalah Sudrajat, kenapa aku lupa. Takdir ? ini kelewat takdir namanya. Empat tahun tidak bertemu, yang aku tahu sampai detik ini aku masih sangat menyukainya. Aji yang dulu aku puja dan menjadi cinta monyet, sekaligus cinta diam – diamku. Aji yang selalu mencuri perhatianku, dan membuatku bahagia hanya dengan melihatnya. Dan detik ini juga, sejuta kembang api sedang menyala dan berloncatan dihatiku, aku …. aku terlalu gembira karena akhirnya bisa bertemu lagi dengannya.”

“ Ngapain Ni ?” tanyanya.

“ Kamu ingat gak, sewaktu pindahan rumah. Oma kehilangan buku, buku itu sekarang kembali pada kita. Niya yang datang kesini untuk mengembalikannya.”

“ Oh buku dari Opa itu ? Terus suratnya juga ada didalam ?” tanya ringan Aji.

Niya mengerutkan keningnya. ‘Aji tahu darimana tentang surat itu, lalu siapa tadi yang dia bilang, Opanya yang memberi ini ke Omanya ?’

“ Iya buku itu.”

“ Maaf, jadi penulis surat ini adalah suami Nyonya Ellen ?” tanya Niya penasaran

“ Iya betul. Ini surat cinta mereka. Di akhir surat ada tulisan DS, itu kepanjangan Dahlan Sudrajat, nama ayah saya.”

“ Jadi mereka tidak berpisah, mereka happy ending, menikah, dan punya anak, dan punya cucu.”

Aji dan ibunya tertawa keras karena pertanyaanku, tapi Niya tidak membencinya, ia malah ikut tertawa saking senangnya.

Tadi ia sudah berpikir ini adalah akhir tragis dari cerita cinta Nyonya Ellen, dan pemujanya. Namun semua tidak berakhir dengan air mata, mereka ternyata telah menemukan dasar dari jurang itu, dan bertemu ditengahnya. Mereka bersatu dalam takdir. Mereka tumbuh dan saling mencintai sampai akhirnya maut memisahkan. Kisah anak pejuang dan nona Belanda bukan sastra miris menyayat perasaan, tapi cerita lama yang berkembang hingga menjadi cerita berikutnya.

Ellen … cerita indah diantara kita, mungkin bukan tentang kita saat ini, melainkan cerita pertemuan setelah pepisahan, cerita harapan tentang perasaan yang tumbuh atas dasar cinta kita berdua.

Ellen, sempatkah kau mendengar ini semua… –DS-

“ Ini kan lucu, gara – gara surat ini Oma dan Opa kamu bersama, dan sekarang Niya dan kamu ketemu setelah sekian lama pisah, ya kan?”

Niya dan Aji hanya saling bertukar pandangan penuh arti, lalu tersenyum geli mendengar ucapan itu.

‘ Apa ini benar – benar takdir ?’ ucap penuh tanya dihati Niya

‘ Gila Niya kenapa berubah cantik banget gini ?’ Aji bergumam sendiri, ‘ pas dia masih culun aja gue suka sama dia, apalagi sekarang. Gue gak boleh pengecut kaya dulu lagi. Pasti ini memang sudah jalannya…..”

Ketika sebuah buku lama telah berpindah tangan, maka buku itu akan memulai sejarah baru, dengan semburat arti mendalam bagi pembacanya saat ini.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun