Mohon tunggu...
alisaid
alisaid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar nulis

Belajar mikir

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Tranformasi Gerak Organisasi sebagai Pengingat bagi Pemimpin

31 Januari 2022   13:23 Diperbarui: 31 Januari 2022   14:00 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Dalam pikiran saya wujud sebenarnya teknologi kala menyelesaikan sebuah karya Astri Savitry, dengan analisa yang menarik cukup memacu pikiran saya untuk menganalisa terkait hal ini. Namun yang akan kita ulas disini adalah wujud generasi abad ini di tengah perkembangan globalisasi. Kita mulai dari seorang filsuf abad 21 Harari yang tak mungkin para sainstivik abad ini tak mengenalnya, benar pada salah satu karya nya, dia menuangkan ketakutan akan dunia saat ini terlebih lagi ancaman “paling mematikan” dari algoritma dan artificial intelligence (AI) yang akan berimbas pada manusia dan mahluk hidup “Tak Mampu Berubah” lainnya. Dari kedua ancaman  tersebut harari membagi ini dalam dua hal  Pertama, teknologi dapat membantu mempermudah pekerjaan. Kedua, teknologi dapat menggantikan sebagian besar peran manusia. Teknologi sejatinya memang membantu manusia, tetapi apakah yang dimaksud dengan membantu? Manusia mana yang akan terbantu? Manusia kaya ataukah manusia miskin? Pada akhirnya teknologi, dalam penjelasan Harari, akan semata membantu segelintir kelas yang memiliki kekayaan (modal) saja. Sementara teknologi berkembang, manusia tanpa modal (kapital, kesempatan, skill, dan lain sebagainya) akan tergantikan. Kondisi saat ini, teknologi telah banyak menggantikan pekerjaan manusia, misalnya: dalam bidang pertanian, penanaman padi ataupun pemanenannya hanya dibutuhkan satu dua mesin spesifik sehingga dapat menggantikan tenaga (sekaligus upah) dari banyak pekerja.

            Melalui teknologi, sebuah usaha hanya membutuhkan satu orang saja yang mampu mengoperasikan mesin penanam dan pemanenan padi tersebut. Sebuah pilihan yang mengunggulkan efisiensi dan meminggirkan beberapa aspek lainnya. Aspek-aspek yang tersisihkan tersebut membawa manusia kepada pertanyaan baru—seberapa jauh teknologi akan menyingkirkan manusia? Walau beberapa opini membela tudingan negatif atas perkembangan teknologi dengan dalih terciptanya lapangan pekerjaan baru untuk menunjang teknologi baru, padahal tidak semua orang akan tertampung dalam bidang profesi yang senada. Melalui gap ini, akan muncul perkembangan manusia super, yang mungkin akan hadir dalam perkembangan teknologi dikemudian hari. Penggolongan manusia super dengan manusia biasa dapat terjadi ketika manusia biasa sepenuhnya tergantikan oleh teknologi yang dikuasai oleh manusia super (orang yang memiliki modal). Manusia super mengendalikan manusia biasa melalui algoritma-algoritma saat ini.

       Algoritma menjadi ancaman yang serius bagi peradaban manusia. Menurut Harari, manusia sesungguhnya memang sudah dikendalikan oleh algoritma itu sendiri. Pemikiran dan pengetahuan manusia mulai sedikit demi sedikit dikendalikan oleh Google, hati manusia dikendalikan oleh algoritma YouTube dan Instagram, hasrat, keinginan dan dorongan manusia sudah dipengaruhi oleh marketplace online seperti Amazon, Lazada, Alibaba dan lain-lain. Dalam pengambilan keputusan, manusia juga sudah dikendalikan misalnya dalam pemakaian Google Maps dimana selama perjalanan kita akan diberi hasil keputusan berdasarkan lagoritma tersebut. Walau manusia masih dapat menggunakan kesadarannya saat menggunakan media atau aplikasi tersebut, tetapi ia berada dalam sebuah ruang di mana keputusan dikendalikan oleh sesuatu yang berada di luar dirinya. Yang mengkhawatirkan dari kehadiran lingkungan algoritma ini adalah ketika segala keputusan yang seharusnya dipilih oleh manusia bebas menjadi ditentukan hasil pemutusan algoritma. Contoh lain misalnya, dalam memilih pasangan, algoritma akan menyarankan calon pasangan dengan kemungkinan-kemungkinan yang disesuaikan kepada satu sama lain melalui kriteria-kriteria tambahan, bukan melalui perasaan atau panggilan lainnya. Seluruh algoritma ini juga menjadi semakin berkuasa dalam media sosial. Di samping itu Harari juga mengatakan bahwa manusia adalah algoritma itu sendiri. Ia mencoba menggambarkan susunan tubuh manusia yang terdiri algoritma-algoritma (kode DNA) yang menggerakan tubuh manusia berdasarkan kesadaran manusia itu sendiri. Sebelum dikendalikan oleh algoritma. Bagi Harari, manusia harus memahami dirinya sendiri, seperti pepatah Yunani Kuno: gnothi seauton.

            Harari mencoba memaparkan kebajikan kepada manusia untuk memahami dan mengakui siapa sebenarnya manusia di tengah zaman kebingungan ini. Ia juga berusaha membuka mata manusia mengenai kesalahan demi kesalahan yang telah diperbuat manusia. Seberapa kejamnya manusia pada dirinya sendiri, pada sesama, dan pada alam di mana ia hidup. Manusia harus mencoba mengakui sisi gelapnya dan memahami seberapa cerdas manusia selama ini. Membawa manusia pada kerendahan hati bahwa manusia bukanlah pusat dunia, namun kita hanyalah bagian dari dunia. Ia mengajak manusia untuk mengkaji apakah kebajikan dan keadilan manusia sudah benar dan masih relevan. Kenyataan-kenyataan terkait yang dipaparkan Harari dalam buku-bukunya dapat diterima sebagai wacana yang mampu membuat manusia berefleksi dan siaga atas kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Masa depan yang diimajinasikan manusia tidak seindah sebuah trailer film. Bagi Harari, nilai yang penting bagi pengambilan keputusan kita adalah, “Lebih baik kita memahami pikiran kita sebelum algoritma menciptakan pikiran kita untuk kita.

Tidak Ada Sekat

            Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi bernama internet yang memfanakan sekat-sekat ruang fisik dalam berkomunikasi. Secara mendasar, orang tidak lagi harus bertatap muka untuk berkomunikasi. Pola dan gaya bekerja manusia yang tadinya kental dengan nuansa pertemuan langsung pun berubah menjadi pertemuan tidak langsung melalui medium perangkat digital dalam aktivitas pekerjaan. Ini merupakan era di mana pola relasi kerja tidak lagi bersifat tradisional. Dampaknya, Pola kerja generasi milenial saat ini pun memiliki lebih banyak pilihan dalam memilih pola geraknya. Berbagai profesi baru bermunculan yang tidak lagi bersandar pada pemikiran bahwa bekerja harus bersama satu employer terus menerus. Profesi-profesi independent seperti vlogger, desainer, programmer, researcher, filmmaker, content creator bahkan gamer semakin jamak ditemui di kalangan anak muda generasi milenial. Mereka cenderung tidak bekerja menetap di satu perusahaaan dalam waktu lama. Sebagian bahkan memilih menjadi profesional mandiri atau menjadi pekerja lepas (freelancer). Meski demikian, perubahan gerak pemuda yang terjadi tersebut bukanlah tanpa konsekuensi. Karakter generasi milenial yang berbeda dengan generasi sebelumnya dalam memandang makna gerakan juga menimbulkan konsekuensi-konsekuensi bagi organisasi untuk mengelola sumber daya manusia yang sesuai dan adaptif dengan kelompok milenial sebagai angkatan yang banyak membuat terobosan besar saat ini.

            Situasi tersebut mau tidak mau wajib direspon oleh tiap kelompok terlebih lagi organisasi, khususnya dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimilikinya Kreatifitas dan kemampuan belajar yang cepat dari generasi muda, sebenarnya menjadi keuntungan bagi organisasi jika mampu mengakomodir karakter dan kemampuan mereka. Namun di sisi lain, generasi muda juga memiliki potensi mengikuti panggilan jiwa dan idealismenya dalam bekerja. Para milenial juga tergolong idealis dengan pola relasi kerja yang humanis. Sebagai generasi yang tumbuh besar dengan keleluasaan informasi, mereka berkarakter open minded, menjunjung tinggi kebebasan, dan berani. Sehingga mereka cenderung responsif dan kritis jika sistem di tempat bekerjanya tidak mendukung aspek-aspek seperti keterbukaan informasi atau malah mengekang kreatifitas mereka.

Anteseden Kerja       

            Dalam beberapa referensi mengatakan bahwa dalam berproses milenial lebih mengejar kemungkinan berkembangnya diri mereka di dalam sebuah pekerjaan. Mereka juga kurang cocok dengan atasan yang suka memerintah dan mengontrol serta lebih menyukai dialog berkelanjutan dalam pola relasi kerja (on going conversation). Oleh karena itu, generasi muda terhitung cukup kalkulatif dalam mempertimbangkan kondisi organisasi dengan yang memimpin. Sangat mungkin ketika situasi di organisasi tidak lagi sesuai dengan idealisme mereka, mereka memutuskan untuk keluar mencari peluang dan tantangan baru. Jika itu yang terjadi, maka organisasi justru akan kehilangan orang-orang potensial dan mengalami tingkat turnover yang tinggi. Oleh karenanya, strategi pendekatan dan pengelolaaan SDM yang tepat harus dikembangkan oleh organisasi dalam mengakomodir karakter generasi milenial sebagai kelompok productive.

            Lain sisi keterbukaan memberikan tanggungjawab adalah isyarat kepedulian dalam bekerja untuk menciptakan peluang inovasi melalui kebebasan serta mengaktifkan perspektif dan mempelajari pengetahuan baru dalam pekerjaan. Milenial adalah generasi yang haus akan pengetahuan yang mampu membawa mereka menjalankan pekerjaannya dengan lebih baik. Perspektif mereka terhadap suatu hal tidaklah kaku karena karakter mereka yang terbuka dengan segala fenomena (growing mindset) sehingga mereka juga tidak selalu terpaku pada satu metode dalam melaksanakan pekerjaan. Dalam hal ini, organisasi dituntut untuk lebih kreatif dan fleksibel dalam mengembangkan metode berorganisasi. Sehingga hal tersebut bisa membuka kemungkinan bagi milenial untuk mencari pengetahuan baru yang bisa membantu mereka melaksanakan pekerjaan.

            Gagasan adalah elemen vital bagi milenial dan menjadi bagian dalam membangun kapasitas diri. Terwujudnya gagasan menjadi sebuah karya yang aplikatif merupakan salah satu tujuan para milenial dalam bekerja. Oleh karenanya, memberikan ruang yang sistematis bagi produksi dan implementasi gagasan dalam tiap beraktivitas perlu dilakukan oleh organisasi agar para milenial bisa terus mengembangkan kreatifitas dalam pekerjaannya sekaligus juga merasa dihargai ide-idenya. Kemampuan memproduksi gagasan yang dapat dikonversi menjadi karya, produk atau layanan yang baru atau inovatif serta bermanfaat menjadi sebuah tantangan para pekerja milenial saat ini. Sebagai generasi yang kondang dengan karakter kreatif, inovatif dan produktif, generasi milenial menyambut hangat tantangan tersebut dan berlomba-lomba mengembangkan dan membuktikan kapasitas diri mereka melalui aktifitas pekerjaan yang didominasi oleh ketajaman dan kebaruan gagasan. Terlebih pekerjaan yang membutuhkan kreatifitas memang semakin dicari dan dibutuhkan di era digital. Teknologi boleh berkembang pesat, alat-alat tercipta semakin canggih, namun kreatifitas yang muncul dari olah pikir yang kemudian berkontribusi atas munculnya karya-karya peradaban tetap tidak bisa tergantikan. Alat secanggih apapun tetap tak akan mampu menciptakan karya yang bermanfaat jika tidak ada konstruksi gagasan dan kreatifitas yang membuat alat tersebut berfungsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun