Hari itu sore menjelang malam. Matahari merah belum lama terbenam. Sementara bulan dengan tanpa malu mulai merayu bintang yang sedang sendiri. Kesepian, ditinggal kekasih entah kemana. Dilengkung langit sebelah barat terlihat awan tipis bergerombol seperti mendiskusikan sesuatu. Mungkin mereka sama-sama merindu kekasih yang hilang, yang pergi dan atau yang menghianati. Seperti halnya bintang, seperti halnya diriku.
Saat itu kita berjumpa lagi,setelah sekian lama. Dirumahmu. Ya dirumahmu. Aku masih ingat sekali betapa terkejutnya kamu melihatku untuk pertama kalinya. Setelah sekian lama. kau jawab salamku dengan terbata-bata seolah tak percaya bahwa itu adalah benar aku. Mungkin kamu heran, atau mungkin bingung bagaimana bisa atau untuk keperluan apa aku datang. Tanpa memberi kabar atau berita apapun sebelumnya. Ah tapi pastilah kamu dapat memaklumi hal itu. Bukankah dari sejak masa kita masih pacaran dulu aku memang sudah seperti itu.
Kulihat kamu masih tetap cantik seperti ketika terakhir kali kita bertemu_dulu sekali. Rona merah dipipi serta lekukan disudut bibir yang kau suguhkan membuat anganku terlontar dalam putaran waktu yang telah lalu. Pada masa dimana aku bisa dan biasa menyentuh,meraba,mengelus, mencium_ serta” me-me”yang lainnya _dirimu sepuas hatiku. Oh. Andai aku kuasa atas putaran waktu pastilah aku telah kembali dan menghentikannya tepat pada saat-saat terindah paling mengesankan antara kita berdua. Andai saja. Namun aku,dan pastinya juga kamu,serta semua manusia diatas bumi ini pasti telah tahu bahwa yang demikian adalah hal yang mustahil. Kuasa atas kenyataan memang ada namun bukan ditangan kita yang manusia. Oh..._masih tetap_andai.
Untuk beberapa saat lamanya kau hanya berdiri saja memandangiku. tidak mempersilahkan masuk,tidak menjabat tanganku. Tidak memelukku apalagi menciumku. Tidak pula bertanya apa maksud kedatanganku menemuimu. Melihatmu berlaku demikian aku hanya bisa tersenyum. Dalam hati,aku berharap engkaupun melakukan hal yang sama. Tersenyum. Ya. Tersenyum dengan Senyumanmu yang seperti dulu. Senyuman yang masih saja kuingat hingga kini, mungkin takkan terlupa hingga nanti. Tapi tidak. Kamu tidak tersenyum sedikitpun. Hanya diam. Mematung. Sekilas kulihat intan air mata menggenang di sudut matamu.
Dari dalam rumah muncul seorang anak laki-laki berlari-lari kecil menghampirimu sambil membawa mobil-mobilan berwarna merah dengan aneka warna lampu yang menyala berganti gantian. “siapa om itu ma?”. Oh rupanya itu anak lelakimu. Mana bapaknya? Suamimu? Ya. Lelaki itu. yang telah merebutmu dariku. Yang menjadi pilihanmu. Yang dibangga-banggakan orang tuamu itu. Yang telah memporak porandakan segala impianku. Yang menjadi titik lebur hidupku. Ya. Lelaki itu. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin bertemu_untuk yang pertama dan semoga pula untuk terakhir kalinya.
Lima belas menit berlalu,dan kamu masih diam membisu. Sementara anak lelakimu telah menghampiri dan menyalamiku. “om temennya mama ya?”. Oh anak lelakimu sungguh lucu, manis , pintar dan tentunya juga menggemaskan. Andai ayahnya adalah aku.oh..._sekali lagi_andai.
Dalam temaramnya lampu kulihat intan dimatamu telah meleleh perlahan melewati rona merah dipipimu, terus kebawah hingga ke dagu sedetik kemudian jatuh kelantai. pelan namun jelas kudengar tangis dan senggukkanmu. Kenapa kamu menangis? Kamu ingin minta maaf? Menunjukkan sesal yang demikian besar? Kamu ingin menjelaskan bahwa semua hal yang telah kamu tempuh, semua perbuatan yang telah kamu lakukan adalah semata-mata karena keadaan mengharuskan demikian? Kamu ingin memberi tahu bahwa tidak sedikitpun niatan dihatimu untuk menghianatiku?untuk menghancur leburkan harapan dan cita-citaku? Oh... Tidak perlu. Tidak perlu begitu. Bukankah sudah tak terhitung berapa kali kau melakukan semua itu? Dulu.
“ Mama nangis? Kenapa mama nangis? Om,kenapa mama nangis?” Oh... Anak lelakimu yang manis,tentu heran melihat mamanya menangis. Andai dia telah tahu tentang aku, tentang kita, pasti dia takkan lagi heran dan bertanya “mengapa” melihat mamanya menangis.
Malam terus saja berjalan, rembulan yang sedang kasmaran dan tahu memanfaatkan keadaan terus saja mencumbu bintang yang mulai terlihat kelelahan. Sementara segerombolan awan mulai berarak pulang menuju peraduan. Sedangkan kamu yang menangis terus saja menangis. Sesenggukan.
“ mama nangis?kenapa mama nangis?” pertanyaan yang sama terus diulang berulang-ulang hingga pada akhirnya muncul sesosok laki-laki di pintu pagar. Dengan berlari anak lelakimu menyongsong laki-laki itu.” Papa...” Ini dia yang kutunggu. Tak salah lagi,sosok lelaki dipintu pagar itu pastilah suamimu.“Pa...dari tadi mama nangis terus pa....” Kurasa inilah saat yang tepat.
Kamu masih saja terus sesenggukan sementara laki-laki yang kupastikan sebagai suamimu itu menatapmu dan juga aku dengan wajah penuh keheranan. Darr!!!...Darr!!!...Darr!!!... Tiga kali terdengar suara yang memekakkan telinga. Tiga kali pula peluru keluar dari moncong pistol yang ada dalam genggaman tanganku. Peluru pertama tepat mengenai pelipis kiri lelaki bangsat bajingan tengik anjing setan itu, tembus keatas telinga sebelah kanan. Peluru kedua menerjang kepala anak lelakimu, kali ini bagian belakang tembus hingga jidatnya meninggalkan lubang sebesar jari kelingking. Sedangkan peluru yang ke tiga melubangi dada kirimu sebelah atas menembus jantung. Sebenarnya aku berharap peluru itu mengoyak hatimu,namun urung karena aku tahu dengan pasti bahwa telah sekian lama kau tak lagi memilikinya.