Mohon tunggu...
Lukman Hakim
Lukman Hakim Mohon Tunggu... -

Mencoba menjadi orang yang bijak serta moderat, menjunjung tinggi azas obyektivitas menjauhi justifikasi apalagi stereotipisasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebatang Rokok dalm Isu Global

27 Oktober 2011   00:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:27 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi masih buta, ketika Sukirno (67) tengah sibuk menyiapkan kuah, daging sapi, lontong, sambal, dan bumbu-bumbu untuk keperluan jualan di depan rumahnya.

Begitu tiap pagi, penjual soto sapi yang tinggal di Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah ini memang harus adu cepat dengan pelanggannya yang sebagian pegawai swasta dan kantoran yang melintas di depan rumahnya sebelum jam tujuh pagi.

Setelah ‘berjibaku’ dengan urusan sarapan pelangganya, ia baru mulai asyik dengan urusan sarapannya. Nasi? Bukan! Alih-alih mencampur irisan lontong dengan kuah daging sapi bikinannya sendiri atau mengambil nasi di dapur rumahnya, ia lebih memilih sebatang rokok dan secangkir kopi untuk ‘sarapan’. Makan nasi? “Mengkin wayah dhuhur (Nanti siang waktu dhuhur-red),” kata Mbah Kirno.

‘Sarapan’ rokok dan kopi sudah menjadi kebiasaan semenjak Mbah Kirno muda, waktu masih berjualan soto dengan pikulan keliling, di usia senja dia memilih mangkal di teras rumahnya yang kebetulan di pinggir jalan. Tentang keinginan berhenti merokok, ia mengelak, katanya kalau tidak merokok malah lemas, tidak semangat kerja. Lantas soal paru-paru atau sakit batuk? “Kulo nek leren ngeses malah watuk (Kalau berhenti merokok saya malah batuk-red),” sebuah keanehan dari jawaban Kirno.

Pola ‘sarapan’ ala Mbah Kirno cukup banyak dilakukan oleh perokok, seperti para petani dan tukang bangunan di berbagai tempat yang lebih memilih mengepulkan asap dari sebatang rokok sebelum beragkat mencari nafkah, termasuk dulu pada saat marak usaha tambang galian C di Semarang Barat, banyak pekerja yang lebih mengandalkan rokok sebelum mulai kerja di pagi hari dan baru makan nasi setelah beranjak siang, sebuah pekerjaan superberat yang harusnya ditopang banyak karbohidrat saat sarapan.

Pun kisah (fakta) seorang guru SMA di sebuah kabupaten di Jawa tengah, yang mesti menyiapkan diri dengan ‘ngeses’ satu atau dua batang rokok sebelum dan setelah mengajar, bahkan tak lupa memenuhi saku celana dan bajunya masing-masing dengan satu bungkus rokok.

Walhasil, fenomena ‘ngeses’ memang telah lama menjadi tradisi lintas profesi, mulai kalangan kuli dan penjual soto sapi, sampai kalangan berdasi dan bermobil mercy.

Dalam tradisi rokok, bukan sekadar menyulut lalu menghisap, tampaknya mereka menemukan spirit dan energi spontanitas pada sebatang rokok dalam menunjang aktivitas sehari-hari. Sebuah spontanitas yang tentu akan dianggap anomali ketika dihadapkan vis-à-vis dengan dampak rokok yang merugikan kesehatan, baik bagi perokok itu sendiri, maupun orang lain yang terpapar asap rokok (perokok pasif).

Ihwal kesehatan inilah yang mengangkat ‘menu sarapan’ Mbah Kirno  menjadi 'menu' internasional bertajuk kampanye antirokok dan antitembakau.

Tak kurang badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) terus melansir data statistik kandungan racun dalam rokok yang membahayakan kesehatan, lengkap dengan hasil penelitian pakar kesehatan dunia dari waktu ke waktu, yang terus ‘menghakimi‘ rokok sebagai ancaman paling berbahaya bagi kesehatan masyarakat, penyebar maut nomor wahid di muka bumi.

Kini WHO tengah gencar-gencarnya memasarkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebuah kerangka kerja konvensi untuk pengendalian tembakau dengan dalih melindungi generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan kesehatan. Di Indonesia, Kemenkes dan sejumlah LSM antitembakau tampil menjadi pengajur utama agar FCTC segera diratifikasi, beragam alas an dilontarkan, mulai dari pasal kesehatan, sampai pada kekhawatiran Indonesia akan dikucilkan dalam pergaulan internasional jika tidak segera meratifikasi FCTC.

Belum diratifikasinya FCTC muncul dari kegelisahan dan kecemasan sebagian masyarakat yang melihat kerangka pengendalian tembakau ini sebagai alat untuk mematikan usaha pertanian tembakau dan industri hasil tembakau (pabrik rokok), sebab pengaturan yang berlebihan mulai dari pajak tembakau yang tinggi, laranan promosi/iklan, sampai pada ketentuan labeling bungkus rokok, dipandang sebagai upaya yang secara perlahan tapi pasti bakal mematikan industri rokok dan usaha pertanian tembakau (termasuk cengkeh sebagai bahan campuran rokok kretek),

Dan sosok seperti Mbah Kirno tentu bukan pada kapasitasnya untuk menganalisa isu global rokok, bahkan sekadar menyadari betapa sebatang rokok telah menjadi isu kesehatan utama dalam kampanye antirokok pun tidak. Rokok hanya dimaknai sebagai kebiasaan lumrah di lingkungannya, menjadi kawan dalam aktivitas kesehariannya tanpa berpretensi pada nilai baik dan buruk. Baik dan buruk bagi Mbah Kirno bukan melekat pada sebatang rokok, tapi pada perilaku dan etika manusia itu sendiri, karena itu ia merasa tidak perlu memeras otak untuk melakukan pencitraan berlebihan terhadap rokok, sementara dunia meributkan rokok, is memilih menjaga rokok sebagai local wisdom. (Lukman Hakim)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun