Di rest area jalan tol, saya mampir menikmati secangkir "Kopi Kenangan". Istimewa kali ini karena ditemani sahabat Malaikatku yang juga sedang menikmati dan menyeruput kopi dingin dalam genggamannya. Saya sempat melirik cup gelasnya yang tertulis " Kopi Tobat". Pantas saja cuaca yang tadinya terik serta merta menjadi sejuk saat dia duduk di depan saya. Iseng dia bertanya dengan muka datar," Elo gak Jumatan ya, bro?".Â
Dengan agak malu saya segera menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. "Tadi pas masih di jalan tol, sholat Jumat sepertinya sudah dimulai, jadi saya pikir-pikir nanti sajalah sesampai di rumah, sekalian saya ganti dengan sholat dhuhur. Kalau di rest area ini, musholahnya juga agak sempit dan panas jadi tanggung rasanya, toh waktu dhuhur cukup panjang. Â
Alhamdulillah, sejak angka penderita virus Covid-19 sudah mulai melandai, aktifitas dan kesibukan kantor sudah mulai berjalan. Saya sudah hampir setiap hari menghabiskan waktu di kantor ataupun di perjalanan. Jadi kondisinya sudah mulai kembali seperti semula. Kembali sholat saya lakukan di ruang Control IT yang sempit di dekat meja kerja atau kadang saya lakukan sesampai di rumah saja". Jurus ngeles tingkat Dewa coba saya keluarkan.
Dia memandang saya dengan dingin sambil berkata," Lha, kemarin saat pandemi masih parah-parahnya kamu tercatat berteriak paling kencang waktu Masjid ditutup, kegiatan ibadah sholat ditiadakan, shaf sholat minta dijaga jarak supaya tidak saling kontak, sampai elo hampir tiap hari berkoar di media sosial kalau pemerintahmu sekarang punya agenda terselubung menghalangi orang beribadah.Â
Ada niat untuk melakukan penistaan agama, agenda komunis yang hendak menghancurkan Islam, dan masih banyak tuduhan yang elo semprotkan di aplikasi media sosialmu, dengan alasan supaya dapat pengakuan dari orang-tuamu dan teman-temanmu. Sekarang setelah pintu Masjid bebas di buka selebar-lebarnya, bahkan aturan jaga jarak sudah ditiadakan, tetap saja saya lihat kosong melompong. Inikan yang kalian namakan konsistensi?", katanya dengan nada agak tinggi namun tetap terasa lembut.
Mendengar kata-katanya, wajah saya jadi tertunduk dengan perasaan campur aduk. Antara sedih dan rasa berdosa berkelindan dalam otak dan jiwaku. Perlahan kupaksa kepalaku mendongak untuk mencoba meminta pengertian dan maaf baginya, namun dia sudah hilang seketika dari hadapanku. Berkelebat secepat kilat dan lenyap ditelan suara-suara mobil yang mampir di parkiran untuk istirahat. Yang tersisa hanyalah seekor burung Murai dalam sangkar yang tergantung tepat di belakang sahabat saya tadi duduk. Tiba-tiba saja burung itu berkicau merdu dan mengeluarkan kata-kata,"Ko pi taubat dulu brader,"Â dengan aksen Makassar.
Salam Hangat dan Salam Sehat...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H