Tidak bisa dipungkiri bahwa wabah virus corona secara perlahan tapi pasti telah membawa dampak buruk di hampir semua sektor secara global. Banyak negara terdampak melakukan lockdown dan membatasi pergerakan arus keluar masuk barang maupun orang. Prosedur keluar masuk suatu negara bahkan antar daerah semakin diperketat bahkan beberapa negara melakukan penutupan sama sekali.Â
Mereka melarang warganya bepergian ke negara lain dengan alasan apapun sekaligus menutup pintu bagi pendatang dari negara lain. Hal ini tentu berpengaruh terhadap sektor yang selama ini banyak menggantungkan aktifitas dan prosesnya produksinya dari menyuplai barang maupun tenaga ahli (expert) dari luar.
Salah satu sektor yang terdampak dalam hal ini adalah sektor pemeliharaan pembangkit listrik. Beberapa pembangkit listrik baik milik pemerintah maupun swasta atau biasa disebut IPP (Independent Power Producer) yang selama ini menggantungkan kegiatan pemeliharaan besar maupun kecil akhirnya terkendala untuk mendatangkan pasokan barang, alat maupun tenaga ahli dari pihak manufacturer.Â
Kebutuhan atas hal tersebut biasanya didasari oleh adanya perjanjian kontrak kerjasama yang mengikat yang mengharuskan pihak tersebut melibatkan pihak manufacturer dalam kegiatan pemeliharaan. Namun terkadang hal tersebut juga didasari masih adanya kekurang-percayaan untuk menggunakan produk dan jasa dari lokal yang sebenarnya mampu apabila diberikan kesempatan.
Dengan adanya pembatasan arus masuk dari dan ke Indonesia, beberapa perusahaan pembangkitan baik perusahaan milik negara maupun IPP yang memiliki jadwal pemeliharaan berkala akhirnya harus mencari jalan atau opsi lain supaya jadwal pemeliharaan tersebut tetap dapat dilaksanakan tanpa menunggu ketersediaan suplai alat dan tenaga ahli dari luar. Beberapa perencanaan maupun yang sudah terikat kontrak berakhir dengan pembatalan.
Perlu diketahui bahwa wabah Covid-19 yang menyebabkan konsumsi listrik rumah tangga maupun industri menurun secara signifikan sehingga banyak pembangkit yang selama ini beroperasi penuh mau tidak mau harus berhenti total (shutdown). Masa shutdown tersebut banyak yang dimanfaatkan untuk melakukan pemeliharaan dan perawatan mesin pembangkit guna mengantisipasi lonjakan kebutuhan listrik pada saat wabah Covid-19 sudah berlalu dan roda perekonomian sudah mulai bergerak.Â
Penyerapan anggaran pemeliharaan juga menjadi salah satu alasan untuk tetap melaksanakan pemeliharaan ditengah kondisi yang kurang menguntungkan saat ini. Walaupun beberapa perusahaan pembagkitan pelat merah mau tidak mau harus mengurangi pengeluaran anggaran terkait dengan kondisi perusahaan itu sendiri, terkecuali dalam kondisi darurat (emergency).
Kondisi ini sebenarnya menjadi momentum untuk memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada. Beberapa perusahaan pembangkit mulai memberikan kesempatan kepada pihak lokal dalam hal penyediaan barang maupun tenaga ahli untuk menggantikan kebutuhan yang selama ini disuplai dari luar.Â
Perjanjian  kontrak yang sudah disepakati dan sifatnya mengikat pun memberikan celah ruang untuk dilakukan pengecualian dikarenakan adanya kondisi yang bisa dianggap Force Major. Ini sekaligus menjadi tantangan buat perusahaan lokal untuk meningkatkan kemampuan dalam memproduksi barang dan  tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi yang dibutuhkan.
Pelibatan pihak lokal dalam hal produksi barang untuk pembangkit listrik berteknologi tinggi tentu membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang tidak singkat. Namun momentum ini seharusnya menjadi pembelajaran kepada kita untuk mulai berpikir ke arah sana. Ketergantungan terhadap produk berteknologi tinggi perlahan harus segera bisa dikurangi.Â
Awalnya dapat dimulai dari teknologi menengah, transfer teknologi dan kesempatan untuk terlibat lebih banyak dalam proyek-proyek pemeliharaan yang biasanya ditangani oleh tenaga kerja asing. Ini tentunya dapat mendukung program pemerintah dalam rangka peningkatan kandungan lokal dalam industri pembangkitan.Â