Mencari Dicari
“Mencari apa yang dicari?. Menunggu apa yang ditunggu?. Aku merasa dikejar waktu.” Lirik lagu yang dilantunkan Iwan Fals.
Gelisah. Mungkin kesimpulan dari sepenggal lirik tersebut terwakili “Gelisah”. Apa yang mendasari?
Entahlah, “Gelisah” begitu abstrak bahkan sulit untuk diartikan dengan gaya bahasa apapun. Karena terkadang merupakan ke-mentok-an atau kadar yang mendasari pertanyaan “mengapa” dan “kenapa”, tidak mampu terjawabkan. “Gelisah”. Subjektivitas dari kualitatif yang tahap titik kejenuhannya berada di tingkat yang tak terbatas.
“Mencari apa yang dicari?”. Saat seseorang menginginkan sesuatu atau merindukan sesuatu, pasti dia akan mencari apa yang diinginkan atau dirindukan—dicari. Jadi, jelas ketika sesuatu yang dicari telah dicapai, dia akan beranjak kembali untuk mencari sesuatu yang baru. Atau kejenuhan yang didapat, dicapai setelah “memiliki” apa yang selama ini dicari. Tentu ini sangat materialistik, karena sesuatu tersebut terlihat dan berupa benda.
Bisa membayangkan jika “Gelisah” terhadap, kemustahilan. Abstrak—abstrak. Karena secara psikologis kita diseret dalam sebuah harapan akan harapan. Pengandaian yang tak henti-hentinya menggapai apa yang diharapkan. Bahkan tidak nyata. Saat “Gelisah” ingin memiliki yang dicari bersifat materi, maka “Gelisah” telah hilang. Namun, berbeda jika yang dicari pun bersifat abstrak—mustahil, kadar “Gelisah” yang tak pernah sampai meskipun Klimaks sudah diubun-ubun.
Betapa “Gelisah” hidup dalam pencarian tersebut. Yang masih “mencari apa yang dicari”.
Dalam sejarah, perang Salib dalam perebutan Kota Suci Jerusalem. Apa yang dicari?, Salahuddin Al-Ayyubi saat menang besar, dan penyerahan oleh Orang Kristiani. Saat ditanya oleh orang Kristen, “Apa arti Jerusalem untuk Anda?”. Salahuddin menyahut, “Nothing but Everything”. Tidakkah kita dapat melihat bagaimana perang yang berkecamuk. Diawali dengan apa yang dicari, dan kegelisahan telah memberikan asupan doktrin-doktrin atas sebuah tindakan meraih apa yang dicari. Baik, Jerusalem telah berada ditangan Muslimun. Apa hasil akhir yang diharapkan?, masih belum selesai dan masih mencari lagi.
Karena itu juga hidup tak pernah berhenti. Beberapa waktu yang lalu, ada pertandingan Sepakbola antara Arema IPL VS Al-Ittifaq di stadion Gajayana Malang. Saya pun menyaksikan pertandingan tersebut bersama sanak dan teman. Kita tak pernah berhenti ber-komentar, juga seluruh penonton yang hadir dan menyaksikan. Hasil akhir 0-2 yang dimenangkan tim tamu. Haruskah malu,? Bukan saatnya kita malu. Karena kebobrokan sepakbola Indonesia jika diukur dengan tim sekelas Ittifaq, seharusnya kalah 0-5 saat itu. Jadi kita sudah selangkah untuk maju. “Mustahil menang”, logika mengatakan kalah kami terima paling tidak jangan banyak-banyak. “Bahkan yang materi pun bisa semi-abstrak”, karena pembenahan strategi untuk mencari apa yang dicariberkaitan dengan bola masih nihil. Dan ini menjadi titik embrio yang baik. Tingkat kegelisahan yang masih “Galau”.
Lalu, kilasan cerita-cerita tentang sebuah pencarian yang dicari, mereka menunggu. “Menunggu apa yang ditunggu”, harapan, cita-cita, keinginan, hasrat, dan hal-hal kecil yang menunggangi sebagian yang besar. Menunggu merupakan kata kerja yang absurd, menyebalkan, dan di ranah keadaan ini “Ke-gelisah-an” semakin menjadi-jadi.
Terkadang apa yang ditunggu, jika berkaitan dengan material tentu sudah pasti akan sampai pada batas perjumpaan yang bisa menjadi tolok ukur tentang apa yang ditunggu. Misalkan saja, kita menunggu angkutan umum di terminal menuju satu tujuan. Katakan saja, di Terminal Purabaya kita menunggu bis jurusan Jakarta. Adanya kepastian apa yang ditunggu akan muncul, maka kegelisahannya sebatas hingga datangnya bis jurusan Surabaya-Jakarta.
Coba kita bandingkan kita berada di tengah gurun yang begitu sepi. Tidak ada kendaraan yang melewati gurun itu kecuali kendaraan pribadi. Bayangkan di gurun yang jarang dilewati dan kita menunggu angkutan untuk menuju kota. Bahkan belum tentu kendaraan pribadi mengangkut orang yang tak dikenal. Betapa “Gelisah” diri yang saat menunggu apa yang ditunggu hanya harapan tanpa kepastian jelas, karena kita berbicara tentang hal yang bersifat non-material.
Namun, ada hal lain tentang “apa yang dicari” dan ”apa yang ditunggu”, jika kita berbicara tentang esensi seperti katakanlah “Cinta”. Apa yang membuat para pecinta seakan selalu mabuk oleh anggur keindahan saat kebersamaan dan senggama dua insan manusia yang mengikat tali di bawah janji hidup selamanya dan selalu bersama—togheter-forever. Apakah ini yang dicari oleh pencari sebelum mereka bersama?, atau inikah yang mereka tunggu saat terbentang jarak ke-lazim-an dikekang?. Dulu mereka dikejar oleh waktu, namun saat bersama apakah sudah selesai?
Tidak. Sama sekali itu bukan “apa yang dicari dan apa yang ditunggu”. Karena sejatinya semua yang berwujud atau materi, bukanlah apa yang sejatinya kita cari dan kita tunggu. Bahkan seperti arti cinta yang tak pernah didefinisikan secara mutlak, mungkin mutlak tapi kondisional atau mungkin relatif—relativitas cinta. Saat itu, jika kita mencari arti yang sesungguhnya yang tak pernah pada penghujung, menunggu apa yang sesungguhnya hanya bisa ditebus dengan senggama panjang dan tak bisa kita mengatur waktu sebagaimana kita menunggu di dunia yang dahulu. Ada hubungan yang mempercayai transendental di sini. Hilangnya yang ber-materi, menjadi sebuah rangkaian panjang sejarah kehidupan manusia. “setiap yang mencari dan menunggu transendental”, akan menguraikan bagaimana dalam pencarian dan penantian kita mewujudkan diri seperti harapan dan keinginan akan yang dirindukan”—dan tercipta sebuah “laku” yang menuju transendental pula.
Rumit namun menyegarkan. Marx sebagai Nabi sosialis bagi Komunisme-pun yang mencari kesetaraan dan kesamaan sebenarnya diburu oleh waktu. Namun, mungkin terlalu bersemangat sehingga transendental dianggap menjadi candu. Siapa saja yang tak memahami tentang substansi waktu yang tak ada kata padanan pengganti kata “waktu”. Maka jika berlebihan kita akan terjerembab dalam, bahkan mencari-pun tidak, mununggu-pun tidak. Hanya ingin menegakkan “apa”? Namun, tak berlandas “mengapa?” dan “bagaimana?”.
Seandainya Marx tidak menggantung Tuhan yang transendental meskipun Akumulasi tentang materi sebagai ruh Tuhan, dan menerjemahkan ke-sosial-an yang dicari dan ditunggu memiliki makna yang bukan hanya yang menjenuhkan tetapi bahkan menyegarkan dan menyejukkan sepanjang dalam pencarian dan penantian. Dan emplementasinya ke-sosial-an pun akhirnya terlaksana.
sebenarnya Mencari apa yang dicari dan menunggu apa yang ditunggu. Sehingga kita tak mampu mengerti “apa”, mungkin bertanya “mengapa” dia menulis hal yang tidak jelas. “Bagaimana”. Di sana-lah, mencarilah dan menunggulah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H