Barangkali bagi yang bukan urang sunda atau belum pernah tinggal lama di daerah dengan bahasa ibu bahasa sunda akan aneh membaca kata pabaliut.Â
Kata pabaliut kurang lebih untuk menggambarkan kondisi yang semerawut. Tapi itulah gambaran umum yang mendekati ketika memotret kondisi transportasi publik di Kota Bandung, Jawa Barat.
Kota Bandung dengan julukan kota kembang atau Paris van Java rasanya kurang cocok kalo dinisbatkan untuk memotret kondisi transportasi publiknya.Â
Rintisan moda transportasi publik yang sudah dijalankan oleh pemkot bandung dan Kementrian Perhubungan  seolah mandek dan mati suri.
Sebagai contoh bus trans metro bandung (TMB) menurut penuturan salah satu sopir dari 4 unit kini tinggal 3 saja yang melayani koridor sarijadi menuju cicaheum.Â
Hal yang sama untuk bus Trans Metro Pasundan (TMP) hasil inisiasi dari Kemenhub masih menemui banyak kekurangan karena kurangnya komitmen Pemprov Jabar atau dinas terkait lainnya.
Begitu juga dengan kondisi shelter atau tempat pemberhentian dan menaikan penumpang. Kondisinya sudah rusak, bau dan sangat tidak terawat.Â
Padahal ada beberpa shelter tidak jauh dari kantor pemerintah atau BUMN. Hal ini tentu sangat menyedihkan. Padahal ditengah gencarnya pemerintah mengkampanyekan penggunaan transportasi publik dalam rangka mengurangi kemacetan yang sudah parah di kota bandung.Â
Selain untuk mengurai kemacetan, memasalkan penggunaan transportasi publik juga dalam rangka upaya bangsa NKRI mengurangi emisi akibat polusi dari banyaknya kendaraan bermotor.
Kota Bandung sebagai kota wisata rasanya akan tercoreng namany, jika kondisi transportasi publiknya masih seperti ini.Â