Mohon tunggu...
Alira Arwaa
Alira Arwaa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjelajahi Post-Truth: Perilaku Lama Era Digital

20 Mei 2024   16:55 Diperbarui: 20 Mei 2024   17:13 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Post-Truth Dulu dan Sekarang
Oleh: Syamsul Yakin dan Alira Arwaa
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung  Kota Depok dan Mahasiswa UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Post-Truth bukanlah fenomena baru yang hanya terjadi sejak munculnya media online, tetapi telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebohongan sering kali dipersepsikan sebagai fakta, sementara kejujuran dianggap sebagai kebohongan.Jadi, post-truth itu perilaku lama dengan kemasan baru. Tentang apa itu post-truth, dapat diresapi dari informasi Nabi SAW berikut ini.

Bersumber dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan. Pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berceloteh".  Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Nabi SAW menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan publik" (HR. Ibnu Majah).

Dalam hadis ini, Nabi Muhammad SAW memperingatkan akan masa di mana pendusta dibenarkan dan orang jujur didustakan. Hal ini menunjukkan bahwa post-truth bukanlah sesuatu yang baru, melainkan perilaku yang sudah ada sejak dulu.

Ketika pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, ini jelas post-truth sudah terjadi sejak masa lampau. Orang tidak lagi bisa digiring oleh opini dari sumber berita valid. Mereka lebih percaya hoaks yang mempermainkan emosi dan akal sehat. Jelas, sejak dulu post-truth mampu mengalahkan  rasionalitas. Tentu jika dibiarkan akan mengancam kohesivitas sosial, laju pembangunan, dan keunggulan dan kemandirian bangsa.

Secara psikologis, post-truth muncul berturut-turut dari rasa ketakutan akan kejujuran orang lain dan kekhawatiran akan kekalahan dalam persaingan, seperti kelemahan dalam tata-kelola kepribadian, ilmu, dan kerja keras. Post-truth adalah potret orang-orang kalah yang memaksa untuk menang,  meski dengan intrik, agitasi dan kampanye hitam. Maka jadilah pendusta dibenarkan sedangkan orang jujur  didustakan. Tak bisa disangkal praktik politik modern telah diterpa post-truth.

Berikutnya, ketika para pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat membuktikan  bahwa watak dasar media sosial tidak anti-humanisme. Artinya, sejarah membuktikan bahwa hoaks, fake news, dan hate speech sudah lebih dulu meluas sebelum berkembangnya media  konvergensi.  Dengan kata lain, watak internet itu humanis, demokratis, dan pluralis. Namun sayang,  di era disrupsi, banyak orang diserang tanpa tahu yang menyerang. Seseorang dikhianati tanpa kenal yang mengkhianati.

Kondisi seperti ini diperparah oleh munculnya Ruwaibidhah, representasi masyarakat online yang instan, hipokrit, anti-sosial, dan bandit. Ruwaibidhah adalah musuh bangsa-bangsa, bahkan musuh peradaban. Di tambah lagi dengan watak Ruwaibidhah yang sebenarnya marginal dengan watak agresornya jadi berada di tengah. Tak hanya itu, dengan kemampuan retorikanya, ia malah berkasil mengontrol keadaan, baik ekonomi dan politik. Ruwaibidhah inilah yang sudah mencoreng wajah media sosial, yang seharusnya digunakan secara arif dan bestari.

Untuk menghadapti tantangan ini , tarkadang kita perlu bermental progresif dan berwatak futurolog dengan mengusung adagium "tomorrow is today", atau menjadi pengendali perubahan, Bukan sebaliknya menjadi penumpang, jadi kaum romantis-konvensional yang memegang teguh tajuk "yesterday is today". Bila tidak, kita akan tergilas katalis perubahan yang liar dengan kecepatan nano-second. Ingat, ketika flatform berubah kita harus melakukan shifting (pergeseran). Selain itu, kita juga harus melakukan reposisi, dari "penumpang" era digital kepada "pengendali” dalam menghadapi perubahan yang terjadi dengan cepat di era digital ini.

Dengan memahami akar masalah post-truth dan mengadopsi sikap proaktif, kita dapat mengatasi tantangan ini dan memastikan bahwa kejujuran dan integritas tetap menjadi nilai yang dijunjung tinggi dalam kehidupan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun