Mohon tunggu...
Alir Bening Firdausi
Alir Bening Firdausi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Perempuan, hobi menulis dan membaca. Penulis 20 buku antologi. Penggemar hujan serta malam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Mesin Waktu, dan Sepotong Keadilan untuk Kekasihku

8 Juli 2024   12:30 Diperbarui: 8 Juli 2024   12:48 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melihatnya. Sosok wanita dengan mata menyala berdiri di tengah kerumunan. Tangannya menggenggam papan bertuliskan tinta merah penuh amarah: “Reformasi Dikorupsi”. Almamater hijau kebanggaan menyelimuti tubuh yang telah basah ditembaki meriam air oleh aparat. Dia berteriak bersama ribuan massa lainnya

“Kami mahasiswa bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.


“Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.”

Sosok itu persis seperti yang kulihat dalam selembar foto yang pernah ditunjukkannya kepadaku. Foto yang diambil sebelum demonstrasi dimulai, sebelum semuanya berubah dan melahirkan Adena yang baru—yang tak pernah bahagia bahkan setelah puluhan tahun.

Aku menemuinya di lokasi yang sama seperti yang Adena ceritakan kepadaku. Lokasi di mana aku seharusnya berada untuk menyelamatkannya, membawanya kabur sebelum terlambat. Begitu banyak waktu kukorbankan untuk bisa berdiri di sini, maka aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang hanya datang satu dekade sekali.

“Ikutlah denganku!” seruku setengah menggapai pergelangan Adena yang mungil.

Perempuan berambut lurus itu menatapku dengan curiga. “Kau siapa?”

“Tak penting aku siapa, aku hanya ingin menyelamatkan masa depanmu!” teriakku, putus asa.

“Aku akan tetap di sini!” jawab Adena, teguh pada pendirian. Ah, aku memahami keadaannya. Andai aku jadi dia, aku pun akan begitu. Untuk apa mengekor orang tak dikenal?

“Aku Dimas, suamimu di masa depan. Ikutlah denganku atau kau akan menyesal.”

Mata Adena terbelalak. “Hah, apa katamu?! Kau gila?!” sungutnya, disahut semburan meriam air yang kembali mendera, menghujani ratusan bendera merah-putih yang dikibarkan para mahasiswa. menjadi bukti saat ini Indonesia sedang berduka.

Hening di antara kami diisi teriakan aparat yang tampak mulai kesal. “MUNDUR! SEMUANYA MUNDUR!”

Sementara pikiranku masih berkelana mencoba mencari bukti apa yang hendak kugunakan untuk meyakinkan Adena. “Aku tahu kau memiliki tanda lahir di perut kananmu.”

Mata Adena terbelalak. “Kau tukang cabul! Dari mana kau tahu soal itu?!”

Sial. Sepertinya bukan itu yang seharusnya aku katakan. “Karena aku suamimu di masa depan,” jawabku cepat. “Aku juga tahu alasan sebenarnya kau mengikuti aksi ini. Kau sangat mengecam RUU Ketenagakerjaan yang mengancam pekerjaan ibumu. Tapi ketahuilah, jika kau meneruskan semua ini, kau akan ditangkap dan dianggap anarkis. Kau memang akan dipulangkan, tapi ibumu akan dihilangkan.”

Adena terpaku. “Dari mana kau tahu semua itu?”

“Karena aku suamimu di masa depan.” Aku menarik tangannya, berlari menerjang kerumunan, mencari tempat berlindung. 

“Buka, buka, buka pintunya … Buka pintunya sekarang juga!” Atmosfer kian memanas. Massa menyanyikan lirik yang digubah dari lagu Menanam Jagung berulangkalil seraya mendobrak barikade polisi dan merayapi pintu gerbang gedung Dewan Perwakilan Rakyat . Gas air mata ditembakkan.

Ternyata begini suasana lapangan aksi demo mahasiswa tahun 2019. Dua puluh tahun lalu, aku merupakan mahasiswa apatis. Tidak peduli dengan keadaan sekelilingku, apalagi keadaan politik. Politik tai kucing, sloganku saat itu. Sepuluh tahun setelahnya, aku malah bekerja untuk Komisi Orang Hilang yang fokus mencari keadilan. Salah satu kasus yang kutangani adalah aksi demo 2019 yang korbannya adalah mertuaku sendiri. Ibu dari Adena yang kunikahi pada 2026.

Lima tahun aku mati-matian mengumpulkan dokumen dan bukti penting. Namun, semuanya lenyap di satu malam, gedung kantor dibakar. Aku gila, terlebih ketika atasanku, Pak Bobby, mengamuk sebab aku gagal menyelamatkan harta berharga kami.

Oleh karenanya aku di sini. Berkelana dengan mesin waktu rahasia buatan sahabatku, profesor fisika lulusan universitas top dunia. Dia membuat mesin itu selama sepuluh tahun dan selama itu pula aku menantinya. Dari awal aku sudah bertekad pergi ke masa ini, mundur dua puluh tahun untuk menyelamatkan senyum juga kebahagiaan orang yang kusayangi.

Aku dan Adena berhenti di jembatan layang yang lengang. Dari atas sini, mata kami melihat detik-detik massa mulai kocar-kacir dan keadaan mulai kacau. Polisi melayangkan tongkat, memukuli mahasiswa yang menuntut keadilan. Aku berdesis ngeri.

Sedetik kemudian aku terkejut bukan main kala melihat sosok lain yang tak asing bagiku.

Pak Bobby.

Tidak mungkin salah, aku pernah melihat foto mudanya di atas meja kantor. Ia di sana, menggunakan setelan reporter berita, namun dipersenjatai tongkat hitam persis seperti polisi. Ia menarik paksa kerah seorang mahasiswa, membawanya menjauh entah ke mana. Menghilang.

Dadaku bergemuruh. Lima tahun aku jarang tidur demi mengungkap pelaku di balik penghilangan ibunda Adena di aksi demo 2019 dan … ah ternyata begitu.

Merupakan pilihan paling tepat bagiku untuk berdiri di sini walau harus kupertaruhkan segalanya. Perkataan orang bijak: lebih baik mencegah daripada mengobati mungkin benar adanya.

_____________________________

KONGSI
KONGSI

https://bit.ly/KONGSIVolume1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun