“Urip mung mampir ngguyu,” seingat saya adalah celetukan yang dipopulerkan oleh seniman Butet Kertarajasa yang kira-kira terjemahannya adalah “hidup hanya numpang ketawa.” Jargon ini juga dipakai jadi judul buku yang sama dengan judul lengkap “Urip Mung Mampir Ngguyu: Telaah Sosiologis Folklor Jogja” karya DR Sidik Jatmika, M.Si. Siapa yang lebih dulu menggunakannya, saya tak paham, entah Butet atau mungkin DR Sidik yang meminjamnya. Atau keduanya hanya ikut mempopulerkannya. Konon, jargon ini adalah plesetan dari ungkapan senada yang sudah lebih dulu populer, “urip mung mampir ngumbe,” alias hidup cuma numpang minum.
Dari kedua ungkapan di atas, entah mana yang benar dan salah. Bisa benar keduanya, bisa salah satunya, atau bisa salah keduanya. Terserah sudut pandang Anda. Kalau memang keseharian ada hanya disibukkan dengan urusan ‘ketawa’ seperti Butet yang memang pengusaha tawa, mungkin ‘mampir ngguyu’ bisa cocok. Bisa juga tepat buat yang memang hobinya ketawa-ketawa, meski tak jelas apa yang diketawakan dan siapa yang diajak ketawa itu. Terus, kalau keseharian Anda memang lebih banyak diisi dengan urusan minum-meminum, seperti penjual teh botolan atau air minum kemasan, bisa saja ‘numpang ngumbe’ lebih pas. Dan lebih pas lagi buat yang memang hobinya menikmati berbagai jenis minuman, dari yang sehat sampai yang berbahaya, dari yang bebas hingga yang dilarang. ‘Mumpung urip, puas-puaske ngumbe’ dengan penutup ngumbe oplosan sampai hidupnya berakhir...
Atau tidak keduanya. Atau, Anda mau mengisi kata akhirnya dengan sesuatu yang sesuai dengan keseharian Anda. Misalnya, saya, sebagai dosen dan penulis (ngakunya) bisa menulis begini; “urip mung mampir ngibul,” karena menurut perasaan saya, waktu menulis dan mengajar mahasiswa, porsi ngibul saya lebih banyak (boleh percaya atau tidak, hanya tolong dihargai kejujuran saya ini, hehe...). Bebas, silakan dicoba sendiri untuk mengisinya.
Tapi saya sedang tak ingin membahas soal jargon itu, baik keduanya, maupun versi saya tadi. Saya sedang ingin membahas terjemahan bebasnya, ‘hidup itu hanya numpang bla-bla-bla...’ Kata ‘numpang’ itu yang sedang ingin saya kibulkan. Saya kok nggak merasa perlu mengisi titik-titiknya untuk menggambarkan hidup saya. Selama ini, hidup saya rasanya baru sampai pada kalimat ‘hidup itu cuma numpang.’ Dari lahir sampai tamat SMA hidup saya numpang di rumah orangtua. Lulus SMA di Ciamis, terus ‘numpang’ kuliah dan hidup di Makassar. Pindah ke Jakarta, saya ‘numpang’ cari pengalaman dan ‘numpang’ belajar kerja sambil kuliah lagi. Hidup di Jakarta dinggap khatam, saya pindah ke Jogja untuk ‘numpang’ hidup karena dapat kerjaan di Jogja, kota tempat sebagian besar hidup Butet numpang ngguyu.
Yang jadi pangkal kegalauan hingga kepikiran menulis ini, karena sampai sekarang, saya masih juga harus menumpang hidup di rumah kontrakan. Lima tahun di Jogja, sudah dua kali mengontrak rumah yang berbeda. Kontrakan pertama harus dakhiri dengan ending yang kurang menyenangkan, tuan rumah menaikkan harga sewa tanpa mau memberesi rumah yang dikontrakkannya. Benerin pager besi berderit sejak saya mengontraknya saja, tak dikabulkan, mau diurus ke MK nggak punya dasar hukum dan nggak punya duit nyewa seorang pengacara sekalipun, apalagi sampai 95 orang pengacara. Apa boleh buat, meski betah, terpaksa harus pindah ke rumah kontrakan kedua.
Menjelang tiga tahun di rumah kontrakan kedua, kejadian serupa berulang. Tuan rumah menaikkan harga sewa, meminta sewa dua tahun sekaligus, dengan ancaman; angkat kaki jika tidak setuju dengan ‘syarat dan ketentuan yang diberlakukan.’ Apa boleh buat, terpaksa harus dipikirkan serius, karena pindah ke tempat lain juga bukan opsi yang bener-bener bagus, meski tetap dipertimbangkan dengan alasan perasaan yang sedikit tersinggung. Mentang-mentang ‘numpang’...
Padahal, saya ngontrak... bukan numpang! Jika ngontrak saja saya bisa diperlakukan seenaknya, apalagi jika statusnya numpang.. numpang makan, numpang hidup, numpang tidur, numpang ngguyu... pastilah statusnya jauh lebih tidak berdaya.
Apadaya, maksud hati menghilangkan status ‘numpang’ itu juga bukan perkara mudah. Harga tanah di perkotaan seperti Jogja, sudah termasuk sangat tinggi, bahkan hingga ke pelosok pinggiran kota sekalipun. Belum lagi biaya membangunnya. Mau ambil kredit, statusnya sebetulnya tak jauh beda ‘numpang pinjam duit’ agar dibayarkan dulu oleh bank, yang lebih kejam dalam menentukan sewa dan bunga.
Satu-satunya harapan, adalah menunggu kebjakan pemerintah baru negeri ini. Kali aja punya program untuk menyediakan perumahan yang terjangkau buat masyarakat. Jelek-jelek, saya punya status PNS yang bisa dipakai buat jaminan (status yang laku buat mengajukan berbagai jenis kredit sebetulnya, mulai dari kredit rumah, kendaraan, kartu kredit, kredit tanpa agunan, hingga kredit panci atau kasur busa).
Tapi entahlah, saya kok nggak berani menunggu kebijakan itu terwujud ya... Sama sekali bukan tidak percaya sama pemerintahan baru nanti, bukan! Tapi, seperti lagunya band asal Jogja, Sheila on Seven ‘berhenti berharap,’ saya juga tampaknya harus berusaha berhenti berharap menunggu kebijakan rumah terjangkau itu diwujudkan. Syukur kalau bisa terwujud. Yang pasti, saya hanya nggak ingin mengisi jargon “urip mung numpang...” tadi dengan akhiran ngarep atau berharap. Tragis banget kan, kalau hidup yang singkat ini hanya diisi dengan berharap saja. Jadi, masih mending numpang ngguyu atau numpang ngumbe... senang hati dan senang perut...
Kalau sudah begini, apa boleh buat, sampai saat ini, saya masih harus mengisi titik-titik itu dengan kata ‘ngontrak,’ jadi, ‘urip mung mampir ngontrak...”
Jogja, 4 September 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H