Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Seru Juga Kalau Cicak Beneran Lawan Buaya

13 Agustus 2012   22:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:49 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkumpulan Pemirsa TV Pos Ronda Cibangkonol (PT-PRC) yang untuk sementara dikomandani oleh Mang Juned kembali mengadakan pertemuan sore, selepas ashar sambil ngabuburit. Kali ini, materi yang akan dibahas adalah soal ‘Cicak Lawan Buaya Jilid 2’ yang katanya sudah dimulai meski nggak diakui. Yah ini, menurut media adalah perseteruan kembali antara KPK dengan Polri untuk yang kedua kalinya, mengingatkan pada perseteruan lama, zaman KPK yang dianggap sebagai cicak harus berhadapan dengan polisi yang ditempatkan sebagai buaya beberapa tahun ke belakang. Istilah itu rame setelah petinggi polisi yang terseret kasus menyebut kasus itu dengan sebutan yang populer itu, bahkan sampe ada yang bikin logo dan lagunya segala macam. Kasus itu rame tahun 2009 saat terjadi penahanan dua petinggi KPK oleh polisi.

Kali ini, nggak ada yang terang-terangan menyebut perebutan penanganan kasus antara KPK dan polisi itu sebagai ‘Cicak lawan Buaya jilid 2’ tapi itu yang rame disebut di media. Dan yang sekarang, giliran KPK yang bergerak duluan dengan menjadikan petinggi polisi sebagai tersangka kasus korupsi simulator SIM, dan polisi ikutan melakukan pengusutan yang sama meski dengan tersangka yang berbeda. Rebutan kasus inilah yang kemudian disebut sebagai cicak lawan buaya jilid dua itu.

“Dulu kan cicaknya menang karena dukungan banyak orang. Nah, kira-kira sekarang bakal menang lagi nggak?” tanya Mang Juned yang memimpin diskusi. Mang Usup angkat tangan lalu mengemukakan pendapatnya, “Dulu cicaknya menang karena semua cicak bersatu. Jadi meski judulnya cicak lawan buaya, buayanya cuma satu, cicaknya keroyokan. Sama aja dengan dongen semut lawan gajah dan semutnya menang, itu karena semutnya keroyokan. Coba kalo semutnya satu dan gajahnya satu, belum tentu semut itu bisa menang...” kata Mang Usup.

“Yeeh, dimana-mana, kalau yang namanya hewan kecil melawan yang gede itu memang selalu keroyokan....” kata Mang Juned, “Jaman manusia purba juga begitu waktu mereka ngalahin mamot, gajah purba itu. Manusianya banyak, gajahnya satu. Coba kalo dibalik, ya memang pasti kalah manusianya. Yang kecil-kecil itu hanya akan kuat kalo mereka bersatu....” lanjutnya.

“Ya kalo mau seru, satu lawan satu dong, tapi harus pake wasit. Jadi menangnya enak. Pasti kan kemenangannya cicaknya juga lebih seru. Bayangin aja kalo seekor semut atau cicak menang lawan seekor gajah atau buaya. Nah, wasit di sini adalah buat berperan mempimpin jalannya pertandingan biar per (fair maksudnya). Wasitnya jangan bengong saja kayak sekarang  atau malah belain gajah atau buaya misalnya –kayak dulu, tapi belakangan aja dia belain cicak karena takut dianggap nggak membela yang kecil...” lanjut Mang Usup. “Lagian, bikin istilah kok nggak nyambung pisan (banget, sekali), masak cicak lawan buaya. Yang satu di darat sembunyi di pojokan rumah, yang satu di rawa atau sungai, sembunyi di bawah air. Kalo menurut saya mah, dua-duanya sama-sama pengecut, menyerang mangsanya dengan diam-diam. Nggak per kayak semut dan gajah yang berani terang-terangan...” lanjut Mang Usup.

Mang Odon ikutan nimbrung, “Bener Sup. Kalo gajah lawan semut, kan tarungnya jelas, di darat, atau kalau harus tarung di air juga sama-sama per, karena sama-sama bukan binatang air. Nah kalo cicak lawan buaya, tandingnya mau di mana? Di darat menguntungkan cicak, di air menguntungkan buaya, kalo mau netral ya tanding di udara, sama-sama nggak bisa terbang...” kata Mang Odon.

“Yeeeh, ini teh bagaimana, malah ngurusin perumpamaannya saja! Kita ini mau mendiskusikan esensinya, KPK lawan polisi. Terserah lah mau dinamain apa, cicak lawan buaya kek, semut lawan gajah kek, manusia lawan dinosaurus kek...” kata Mang Ubed yang mencoba menengahi dan mengarahkan diskusinya.

“Aaah, kalo itu sih nggak seru...” kata Mang Usup. “Yang itu sih cicaknya nggak melawan buaya. Toh yang buayanya juga melawan sesama buaya. Cuma berani-beraninya saja cicak itu masuk dan ngobrak-ngabrik kandang buaya...” lanjutnya. “Nah, justru itu! Karena cicaknya berani masuk kandang buaya, buayanya pada malu terus nyari buaya yang bikin masalah...” kata Mang Ubed.

“Iya, tapi buaya yang dicari oleh cicak nggak sama dengan yang dicari oleh buaya yang lain itu, jadi seolah-olah buayanya itu melindungi buaya gede yang jadi biang keroknya. Jadi apa yang dilakukan oleh buaya itu keliatan nggak per, sekadar menutup malu...” kata Mang Usup. “Di sini lah harus ada wasit yang menentukan, siapa yang boleh ngurusin kasus buaya nakal itu. Lah, wasitnya sendiri malah diam saja. Gemes saya liat wasitnya, nggak punya kredibilitas. Nggak punya lisensi PIPA (maksudnya FIFA) kali ya...” sambungnya.

“Sebentar...” Mang Odon nimbrung lagi, “Ini kan ceritanya pertarungan antara cicak dan buaya. Kalo itu terjadi kan bener-bener seru, cicaknya rame-rame juga tetep seru, apalagi ternyata buayanya juga rame-rame. Tapi kita ini, rakyat yang banyak ini diibaratkan apa? Cicak, kadal, tokek, biawak, atau buaya?” tanyanya.

“Kita ini cuma siraru (laron) Mang... jumlahnya buaaanyaaaak banget, tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Nggak punya senjata. Keluar sarang buat terbang nyari persembunyian baru. Yang namanya laron, ya makanan empuk cicak, kadal juga doyan, kodok doyan, ikan doyan, tokek hobi, biawak juga doyan, buaya juga pasti mau kalo banyak jumlahnya...” kata Kabayan yang akhirnya urun pendapat.

Semua melirik Kabayan, “Kok laron sih, perumpamaannya yang enak dong, kalo reptil lawan reptil, ya kita juga harus diumpamakan sebagai reptil...” protes Mang Ubed. “Lah, dimana-mana, reptil itu predator, mau gede mau kecil, dia dilahirkan jadi predator, memangsa yang lebih kecil. Sementara laron makan apa? Cuma makan kayu busuk, itu juga waktu masih jadi rayap, bukan waktu jadi laron. Waktu jadi rayap juga tetep aja jadi makanannya reptil. Nggak ada ceritanya rayap makan cicak, apalagi rayap makan buaya...” jawab Kabayan.

Peserta diskusi pun bubar satu persatu, tanpa sempat menentukan siapa yang bakal menang. “Emang enakan jadi wasit ya Don... siapapun yang kalah atau menang, dia nggak rugi...” kata Mang Usup pada Mang Odon saat berjalan pulang. Mang Odon mengangguk, “Iya, tapi kalo cicak lawan buaya, memang wasitnya apa ya?” tanyanya. “Wasitnya paling batu, buaya nggak bisa makan, cicak apalagi, dan rayap juga nggak pernah makan batu!” jawab Mang Usup. Mang Odon mengangguk-angguk, “Kayaknya wasitnya emang batu, dieeem aja nggak ada geraknya sama sekali...”

Jogja, 14 Agustus 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun