Subuh-subuh Kabayan sudah bergegas ke pos ronda Cibangkonol. Jelas bukan untuk ronda, karena adzan subuh baru saja berkumandang, dan ia juga sudah shalat subuh dulu. Biasanya, kalau ronda, jam segitu itu bukan jam berangkat, tapi jam pulang. Sudah seminggu lebih, pos ronda Cibangkonol ramai sejak menjelang tengah malam hingga subuh dan bahkan pagi hari. Juga bukan oleh para peronda, tapi justru rame oleh para penonton sepakbola. Maklum, Piala Dunia kali ini, yang diselenggarakan di Brasil, disiarkan mulai jam 11 malem sampai subuh. Dan, warga Cibangkonol sangat mengandalkan televisi yang ada di pos ronda itu sebagai satu-satunya sumber tontonan dan informasi.
“Kumaha, Brasil masih main?” tanya Kabayan pada Mang Jaja yang sudah berada di pos lebih dulu, bahkan sudah dari tadi malam. “Telat! Sudah selesai. Lagian kenapa baru datang sekarang?” jawab Mang Jaja sambil balik nanya. Kabayan cengar-cengir, “Semalem nggak dapet ijin dari si Iteung, muntah-muntah terus, dia nggak mau ditinggal...” jawab Kabayan.
Mang Odon yang juga ada di pos ronda melirik, “Wah, jangan-jangan si Iteung hamil Yan, hebat atuh, kalau hamil pas piala dunia, besok anaknya dikasih nama siapa, Neymar, Mesi, Pan Persie, atau siapa gitu...!” katanya. Kabayan manyun sambil meraih teko berisi kopi yang sudah dingin dan menuangkannya ke dalam cangkir kosong, “Hamil apaan, masuk angin, kemarin naik motor ke pasar nggak pake jaket!” jawabnya. “Kirain, kalau hamil kan bagus Yan, akan bertambah nama anak-anak di sini yang punya nama pemain bola, kayak si Jidan, Ronaldo, Maldini.. kirain mau lahir Neymar Kabayan Junior...” kata Mang Odon.
“Sekarang Piala Dunia sepi ya Mang...” kata Kabayan, tak menanggapi omongan Mang Odon soal anak, maklum, sensi, sudah lama nikah sama si Iteung belum juga dikasih keturunan. “Sepi gimana? Tetep rame ah, buktinya yang nonton di stadion tetep banyak...” Mang Odon balik nanya. “Bener Yan, sepi, nggak berisik kayak pas di Aprika Selatan, berisik sama suara pupujela, terompet yang bikin pengang telinga itu. Di Brasil sekarang mah nggak ada terompet begitu...” timpal Mang Jaja.
“Bukan itu Mang...” kata Kabayan, “Di Brasil-nya mah tetep rame, yang sepi itu di sini, di Indonesia...” sambungnya. “Nggak rame gimana ah? semua pertandingan disiarkan, orang masih banyak yang nonton...” tanya Mang Odon, “Saya aja masih seperti yang dulu, setia maksa nonton meski tengah malam atau subuh sekalipun...” sambungnya.
“Yaa pertandingannya masih disiarkan, tapi yang berasa sepi itu suasananya.. coba liat dua tipi yang nyiarin piala dunia kali ini, pertandingan hanya ada pas siaran langsung, malem dan subuh, ulasan pendek, terjepit... belum ada bahasan, sudah ganti pertandingan berikutnya. Setelah pertandingan selesai, ya sudah, bubar.. hanya ada siaran ulang satu pertandingan sore hari, nunggu hingga malam buat pertandingan berikutnya...” papar Kabayan.
“Coba bandingkan dengan piala dunia sebelum-sebelumnya yang disiarkan tipi lain sebelum yang ini. Pertandingan oke, wajib lah.. tapi sebelum pertandingan, banyak acara yang dibuat, ada cewek-cewek yang mewakili negara peserta –meski itu orang Indonesia juga—ada kubu-kubu artis pendukung dua tim yang bertanding, ada hiburan musik bertema sepakbola, ada atraksi sulap dan sebagainya. Terus setelah pertandingan, ada ulasan, ada sosok bintang yang dibahas, ada siaran ulang dan seterusnya. Jam berapa aja kita nyetel tipi, walaupun sedang nggak ada pertandingan, isinya tentang Piala Dunia. Tapi sekarang?” sambungnya.
“Sekarang, jam berapa aja nyetel tipi saluran Piala Dunia, isinya... capres!” samber Mang Odon. Mang jaja dan Kabayan nyengir, “Nah itu dia,” kata Kabayan, “Makanya saya bilang, menurut saya mah Piala Dunia kali ini yang paling sepi, malah kayak hilang!” sambungnya.
Mang Odon dan Mang Jaja mengangguk-angguk, “Iya bener Yan. Dulu, suasana Piala Dunia itu terasa setiap saat, dari pagi hingga malam sebelum pertandingan, apalagi pas malam sampe subuh saat pertandingan. Sekarang, malem berasa musim Piala Dunia, tapi pas siang sampe sebelum pertandingan, yang berasa ya itu, berasa sedang menghadapi Piala Presiden!”
“Bener Yan, menurut saya mah, dua tipi yang nyiarin sekarang nggak terlalu serius nyiarin Piala Dunia, lebih serius ngurusin Pilpres... mending kalau netral..” timpal Mang Darman yang tadi keliatan sudah tidur, tapi ternyata enggak. “Bukan nggak serius, kalau menurut saya mah kayak nggak niat! Dilihat dari cara mereka mengemas acara yang biasa-biasa saja, komentator yang itu-itu juga, yang biasa ngomentari liga mingguan, tata panggung kurang megah, kuisnya sedikit...” timpal Mang Jaja, “Coba bandingkan sama tipi-tipi lain yang nyiarin Piala Dunia sebelumnya, berani nyewa gedung sendiri di luar studionya, pendukung acaranya banyak, acaranya lebih pariatip!” sambungnya.
“Kayaknya sih yang punya lebih suka ngurusin Pilpres, meski dia sendiri nggak jadi nyalon hehe...” kata Mang Odon, “Atau, jangan-jangan modalnya sudah keburu habis buat nyalon kemarin!” sambungnya sambil tertawa. Yang lain ikut tertawa. “Yaah, minimal kan nggak dipolitisir, seperti tuduhan orang itu..” kata Mang Jaja yang mengaku pendukung calon presiden yang sama dengan tipi itu.
“Dipolitisir sih enggak, kelihatannya... tapi bener kata si Kabayan, Piala Dunia kali ini seperti nggak diurus, seperti jadi anak tiri!” timpal Mang Darman. “Yaah nggak tau nanti, kalau sudah dekat-dekat putaran pinal, apa masih sepi begini atau enggak. Coba aja liat nanti, apalagi selain Piala Dunia dan Pilpres, juga sudah mau masuk puasa. Kita liat aja, mana yang lebih digarap, Piala Dunia, Pilpres, atau acara Romadon!” kata Mang Jaja.
“Yaah mudah-mudahan aja makin diurusin serius. Kalau sudah berhasil mengurangi politisasi Piala Dunia, semoga saja mereka bisa menghindari politisasi bulan puasa. Jangan sampe gelaran Piala Dunia sudah berasa ‘hilang’ kalah sama berita capres, suasana romadon ‘hilang’ juga!” kata Kabayan. “Ngomong-ngomong, ni pertandingannya sudah habis?” tanyanya.
“Sudah Yan, kalo kamu mau nonton buka di internet aja, kan ada aplikasinya, tinggal klik!” kata Mang Jaja. Kabayan manyun, “Klak-klik klak-klik, internet dari mana? Bukanya di mana? Bayarnya pake apa? Nonton di tipi aja nunggu gratisan, rame-rame di pos ronda pula!” katanya. Mang Jaja nyengir, “Ya kalo sudah merasa kamu miskin, terima aja apa adanya, nggak usah banyak protes!”
Kabayan tambah manyun, “Nasib... nasiiib!”
Jogja, 24 Juni 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H