Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

(MV-1) Komik, Fandom, dan Identifikasi Diri

29 Oktober 2012   19:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:14 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

(MediaView-1) Zaman masih duduk di bangku SD, saya bukan saja pecinta komik, tapi juga suka membuat komik. Untuk membaca komik, saya bukanlah pembeli yang baik, karena memang tidak mampu. Saya lebih banyak meminjam koleksi komik punya teman yang jumlahnya begitu banyak, hingga dia dibuatkan rak khusus komik oleh orangtuanya. Komik-komik yang dia koleksi adalah komik-komik buatan Marvel --yang sudah diterjemahkan tentu saja—seperti Superman, Spiderman, Green Lantern, Phantom, dan banyak lagi komik yang menyajikan tokoh superhero.

Pun, komik-komik buatan saya –yang saya buat di buku gambar dengan spidol berwarna—juga tak jauh dari pengaruh komik-komik itu. Belakangan, saya terpengaruh juga dengan film-film robot Jepang yang sedang in waktu itu, seperti Voltus dan lain-lain. Maka lahirlah komik --yang masih saya ingat betul – buatan saya adalah Victoria V yang rada-rada terpengaruh oleh robot-robotan yang merupakan gabungan dari beberapa personil dengan kostum berwarna-warni a la Google V. Ceritanya nggak jauh-jauh dari urusan serbuan monster luar angkasa yang mengobrak-abrik bumi, dan seperti biasa, dimulai dengan kalimat pembuka “Pada suatu hari...” hehe. Hebatnya, saya berhasil membuatnya hingga delapan seri –yang satu serinya tentu saja hanya satu eksemplar karena memang tidak diperbanyak.

Jika saya lebih suka membuat komik versi saya sendiri hingga menyewakannya dengan cara nongkrong di sekolah-sekolah yang masuk siang, teman saya punya hobi yang berbeda soal komik itu. Selain mengoleksi komiknya, ia juga rajin mengoleksi berbagai pernak-pernik yang berbau tokoh-tokoh komik yang dikaguminya. Seingat saya, dia adalah penggemar Spiderman. Dan jauh sebelum Hollywood membuat seri filmnya yang diperankan oleh Tobby Maguire, kawan itu sudah mengoleksi berbagai barang yang berciri Spiderman, mulai dari boneka plastik (figure), bantal, gantungan kunci, hingga kostum Spiderman. Konon, koleksi teman saya itu makin banyak setelah versi film Spiderman muncul, padahal saat itu usianya sudah lewat seperempat abad, alias sudah bukan anak-anak lagi.

Bagi dia, pengakuannya belakangan, mengoleksi pernak-pernik Spiderman itu bukan saja soal hobi, tapi juga sebagai identitas diri, bahwa dia adalah penggemar berat Spiderman yang sudah senior –bukan dimulai dari filmnya, melainkan jauh ke belakang, ketika Spiderman baru dikenal di kalangan pecinta komik saja. Bukan itu saja, kegiatan mengoleksi itu juga didasari oleh identifikasi diri pada sosok Peter Parker, sosok di belakang tokoh manusia laba-laba itu. Ia merasa bahwa ia punya nasib sama dengan Peter Parker, menyukai satu perempuan (Parker menyukai Mary-Jane Watson yang sempat diperankan oleh Kirsten Dunst), tetapi begitu sulit untuk menyatakannya, dan akhirnya ia bersembunyi di balik topeng.

Sosok bertopeng itulah yang justru disukai oleh si perempuan. Ia –teman saya—bersembunyi di balik ‘topeng ‘ sebagai penyiar radio di Bandung, dan perempuan yang disukainya adalah penggemar acara radionya, tanpa ia tahu bahwa si penyiar pujaannya itu adalah teman baiknya di kampus (di radio ia menggunakan nama udara yang berbeda). Berkali-kali teman perempuannya itu mengajak bertemu tapi sebagai penyiar radio, dan teman saya menghindari kopi darat itu, dengan alasan, ia tak mau bertemu langsung karena takut perempuan yang disukainya itu tahu siapa dirinya yang sebenarnya!

Gejala yang dialami oleh teman saya itu, disebut oleh para peneliti media sebagai fandom. Menurut McQuail, fandom sendiri merujuk pada sebuah terminologi fanatisme yang disebabkan oleh media. Fandom sendiri mempunyai beberapa tingkatan yang berbeda, mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Tingkatan fandom paling rendah adalah fandom ketertarikan terhadap media –misalnya ‘penggemar film’,  ‘penggemar komik Jepang’ dan mungkin ‘penggemar serial Korea.’ Dan versi fandom yang paling kuat sudah melibatkan tingkatan tinggi dari penanaman emosi dan aktivitas yang berpusat pada pribadi dalam media. Pada tingkatan ‘gawat’ ini, fandom sudah mengarah pada pencampur-adukan antara fiksi dan kenyataan.

Pada tingkatan rendah, fandom banyak digunakan untuk kepentingan bisnis media, misalnya Spiderman bukan saja dipasarkan filmnya, tapi juga dijual berbagai pernak-perniknya. Jenis ini terutama banyak ditemukan pada penggemar film seperti Star Wars yang dari pernak-perniknya saja sudah bisa menghasilkan jutaan dollar lainnya di luar film. Jelas ini tidak berbahaya, kecuali bahaya bagi orang tua anak yang tidak mampu, tapi maksa ingin punya pernak-pernik yang harganya tak murah itu.

Tapi pada level yang lebih tinggi, fandom bisa meleset menjadi semacam penyakit psikis yang rada gawat. J. Jensen menghubungkan fandom dengan pandangan kritis terhadap ketidakdewasaan dan irasionalitas, sebuah keluaran dari budaya massa dan sebuah contoh perilaku massa. Pada tahap ini, fandom banyak mengarah pada sesuatu yang negatif. Mungkin pernah mendengar bagaimana seorang anak yang jatuh dari sebuah gedung tinggi karena mencoba terbang meniru tokoh Superman yang merupakan idolanya. Atau kasus gulat (wrestling) hiburan a la ‘Smackdown’ yang pernah memakan korban anak-anak patah tulang di Indonesia beberapa tahun lalu.

Nah, gejala identifikasi diri dengan tokoh komik seperti yang dialami teman saya, bisa jadi masuk dalam golongan fandom yang ‘sudah agak gawat’ karena sudah masuk ke dalam jiwanya. Beruntung, ia tidak mengalaminya secara akut, atau kebablasan, misalnya sampai ia nggak mau menikah dengan perempuan kecuali perempuan pujaannya itu –alhamdulillah, dia sudah menikah sekarang, bukan dengan si ‘Mary-Jane’-nya itu.

So, buat penggemar komik, selama hobi membaca dan mengoleksi komik beserta pernak-perniknya itu sebatas untuk fun, tentu tak masalah. Banyak juga penggemar komik yang kemudian menjadi komikus atau pembuat film animasi yang tentu bisa menjadi profesi yang menjanjikan. Kabar bahwa banyak komikus Indonesia yang menggarap beberapa scene komik produksi DC dan Marvel bisa jadi sebuah contoh baik. Tapi yang harus diwaspadai tentu saja gejala fandom itu, terutama di kalangan anak-anak yang masih labil jiwanya. Di sini, peran orangtua sangatlah penting untuk mendampingi anak-anaknya dalam membaca komik, supaya anak bisa membedakan mana dunia fiksi dan dunia nyata.

Semoga bermanfaat!

Jogja, 30 Oktober 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun