Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lady Gagu, Pada Siapa Harus Mengadu

12 Maret 2012   04:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:11 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari yang cerah, Kabayan memutuskan mengajak Nyi Iteung ke kota untuk menjual hasil panen timun yang lumayan banyak. Tapi karena harganya sedang jatuh –heran, dari dulu kabar harga jual hasil pertanian jatuh terus, padahal kalo beli di pasar pasti bilangnya naik, rencana Kabayan ngajak Nyi Iteung pergi ke kebun binatang akhirnya batal demi hukum, hukum ekonomi. Akhirnya Kabayan hanya berani ngajak Nyi Iteung ke warung kupat tahu di pinggir jalan.

Setelah Kabayan dan Iteung duduk di bangku kayu, seorang anak belasan tahun perempuan berparas manis datang menghampiri lalu menyodorkan kertas menu yang dilaminating beserta secarik kertas dan pulpen. Ia menyerahkannya pada Kabayan yang langsung memberikannya pada Nyi Iteung. Iteung melongok isi menu, tak banyak tulisan di situ, hanya ‘kupat tahu pedes, sedang, tanpa cabe’ terus ‘kupat tahu tanpa tahu atau kupat tahu tanpa kupat.’ Iteung bingung lalu melirik Kabayan, “Kang, kalau menunya sedikit, ngapain pake daftar menu segala ya?” tanya Iteung pada Kabayan. Kabayan juga ikut bingung, “Ya sudah tulis saja, biar gaya meureun (barangkali)...” jawab Kabayan setengah berbisik. Nyi Iteung lalu menuliskan pesanannya dan memberikan kertas itu pada anak perempuan yang menunggunya dengan sabar, karena memang tak ada pengunjung lain di warung kaki lima itu selain Kabayan dan Iteung.

Setelah menerima pesanan, anak perempuan itu berlalu sambil menganggukkan kepalanya dan tersenyum pada Kabayan dan Iteung. Tak lama, ia kembali dengan dua piring kupat tahu pesanan beserta dua gelas teh tawar yang masih hangat. Anak perempuan itu tersenyum, mengangguk, lalu menyajikan hidangannya. Tanpa kata-kata. Ia pun pergi lagi setelah melakukan pekerjaannya melayani pembeli itu.

Saat menikmati hidangannya, seorang perempuan tua menghampiri Kabayan dan Iteung lalu duduk di dekat mereka, “Kumaha Jang, ada yang kurang dari kupa tahunya?” tanya perempuan yang kelihatannya yang punya warung itu. Kabayan menggeleng, “Enak Bi..” jawabnya. Ia lalu teringat pada anak perempuan tadi, “Si Neng yang tadi teh siapa Bi, anaknya?” tanya Kabayan sambil mencoba mencari anak itu, dan ternyata si anak sedang mencuci piring.

Si pemilik warung tersenyum, “Bukan Jang, itu teh anak tetangga saya, namanya si Lilis. Saya pekerjakan di sini, kasian, soalnya dia nggak sekolah...” jawab si pemilik warung. “Kok nggak sekolah? Memang umurnya berapa Bi?” kali ini Iteung yang penasaran dan ikut bertanya. Bi Warung menerawang, “Dua belas tahun Nyi. Saya sebetulnya mau nyekolahin dia, saya bilang, saya mau membiayainya. Tapi anaknya nggak mau...” jawab Bi Warung.

“Kok nggak mau sekolah?” tanya Kabayan. Bi Warung menggeleng, “Di sini nggak ada sekolahan untuk dia, saya dulu masukin ke sekolah normal, tapi dia malah jadi bahan ejekan teman-temannya...” jawab Bi Warung. “Kenapa?” tanya Nyi Iteung. Bi Warung menarik nafas panjang, “Dia bisu dan tuli. Di sekolah normal, dia paling tua di kelasnya, terus ia juga nggak bisa ngapa-ngapain, nggak bisa nangkep pelajaran. Akhirnya ya berhenti dan bantuin saya jualan di sini...” Bi Warung melanjutkan ceritanya.

Kabayan dan Iteung saling melirik, dalam hati, mereka jadi tau kenapa tadi mereka harus menuliskan pesanan, tidak menyebutkannya saja. “Memangnya nggak ada sekolah untuk dia Bi?” tanya Kabayan. Bi Warung menggeleng, “Di kota Kabupaten ada, tapi kan jauh, ongkosnya saja berapa buat ke sana, belum lagi biaya-biaya yang lain. Orang tuanya nggak mampu, bapaknya tukang ojek, ibunya buruh tani. Saya juga hanya bisa bantu biayain kalo sekolahnya di sini, dan di sekolah normal...” jawab Bi Warung. “Saya sempet ngobrol dengan anaknya, pake bahasa isyarat, anaknya juga cerita, kalaupun dia sekolah tinggi-tinggi, belum tentu nantinya dapat kerjaan yang lebih baik, apalagi dia hanya perempuan, jatuhnya ya paling dinikahin orang, itu juga kalo ada laki-laki yang mau sama orang cacat... katanya begitu, akhirnya dia lebih milih langsung saja kerja di sini, jelas, langsung dapat duit...” lanjut Bi Warung.

“Tapi kan kasihan Bi, masak nggak sekolah sama sekali.. apa nggak ada bantuan dari pemerintah?” tanya Nyi Iteung. Bi Warung menggeleng, “Jangankan merhatiin sekolahnya, minta surat miskin dari kelurahan saja susah, katanya keluarganya nggak terlalu miskin, soalnya bapaknya punya motor buat ngojek itu...” jawab Bi Warung lagi.

“Lah kantor pendidikan masak nggak mau ngurusin, Bi?” tanya Kabayan. Bi Warung menggeleng, “Mereka cuma mau ngasih surat pengantar ke sekolah yang ada di kota kabupaten, nanti urusan segala sesuatunya diurus di sana! Ada juga sih el es em yang mau bantu, tapi syaratnya si anak harus mau tinggal di Bandung, disekolahinnya di sana. Anaknya nggak mau, soalnya dia punya adik dua yang harus diurus pagi dan malam harinya...” lanjut Bi Warung.

Kabayan dan Iteung saling melirik. Tak lama cerita terpotong karena kedatangan pembeli lain. Si anak segera menghampiri mereka dan melakukan ritual kerjanya. Kabayan dan Iteung menyelesaikan makannya, lalu mendekati Bi Warung untuk  membayar makanan. Karena ada sisa kembalian, Kabayan menyodorkannya pada anak perempuan itu, tapi anak itu menolak dengan gerakan tangan, lalu memperagakan sesuatu dengan tangannya. Bi Warung menerjemahkannya, “Dia nggak mau terima Jang, katanya dia di sini kerja, hanya terima upah dari saya....” kata Bi Warung.

Kabayan dan Iteung saling berpandangan, lalu berpamitan dengan segudang pikiran di kepalanya masing-masing.

Jogja, 12 Maret 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun