Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bye-bye, Hansip!

18 September 2014   09:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:21 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya tidak tahu apa profesi yang dipersiapkan Deddy Mizwar bagi Udin Nganga kelak jika serial sineton saban Ramadhan “Para Pencari Tuhan’ dihadirkan kembali. Mungkin saja Udin harus menjadi tukang ojek lagi, atau bantu-bantu warung seperti saat Asrul Dahlan sahabatnya punya warung soto batak. Yang jelas, profesi kebanggaan Udin, Hansip, harus ditanggalkan, begitu pula dengan seragam hijau muda semi dengan sepatu boot mirip tentara yang kerap kali dikenakannya dalam berbagai kesempatan. Bukan karena Udin sudah tak lagi berminat jadi Hansip, atau naik pangkat menjadi ‘mantu’ Haji Jalal. Tapi karena sebuah peraturan yang baru saja diteken presiden.

Udin dikisahkan tak pernah kenal presiden. Tapi presiden kita baru saja menandatangani sebuah Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2014 yang intinya adalah membekukan profesi Hansip –Pertahanan Sipil—yang belakangan ganti nama jadi Linmas (Perlindungan Masyarakat), meski dalam keseharian tetap saja sebutan Hansip jauh lebih populer, sekaligus untuk membedakan dengan ‘pasukan’ Linmas lain yang terdiri dari para pegawai negeri sipil. Dasar hukum lahirnya Hansip adalah Kepres No. 55 Tahun 1972 yang kemudian diperkuat dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Keamanan dan Pertahanan Negara yang mengakui hak setiap warga negara untuk membela negaranya.

Atas dasar aturan ini, pasukan Hansip dibentuk di setiap desa, dan anggotanya diangkat dari masyarakat dengan pembiayaan swadaya masyarakat pula. Hansip generasi awal dilatih oleh militer dan dipersenjatai, meski senjata Hansip yang paling terkenal bukanlah AK atau rrevolver, tapi sebuah benda hitam panjang yang kemudian dikenal sebagai ‘pentungan Hansip’ yang cukup ampuh mengusir pengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, paling tidak, buat mengusir orang pacaran di sembarang tempat seperti dikisahkan dalam lagu atau film. Dari sinilah asal mula istilah ‘kepergok Hansip’ yang jadi hukuman paling manjur buat pasangan mesum karena hukumannya yang lebih bersifat sosial ketimbang pidana.

Hansip diangkat dan digaji oleh warga. Besaran gajinya, ya sesuai dengan kemampuan warga. Misalnya saja ada pembukaan calon Hansip yang diumumkan di link ini: http://bangojie.wordpress.com/2013/10/18/pengangkatan-Hansip-baru-rt/ Nah, karena itulah, wajar kiranya jika Hansip terasa sangat dekat dengan warga, karena memang berasal dari warga, oleh warga, dan untuk warga. Beda halnya dengan pasukan keamanan non militer lain seperti Satpol PP –yang konon akan menggantikan posisi Hansip nantinya—atau dengan Satpam. Satpol PP (dibiayai pemerintah daerah) dan Satpam (dibiayai oleh swasta), punya citra yang kurang bersahabat dengan rakyat ketimbang Hansip. Satpol PP sering berhadapan keras dengan warga ‘pelanggar aturan’ pemda, misalnya pedagang kaki lima. Satpam sering dianggap terlalu galak membela pihak yang membayarnya.

Jika Peraturan Presiden yang ditandatangani tanggal 1 September dan diberlakukan sejak tanggal itu dijalankan, Udin Nganga dan Hansip-hansip lain yang mungkin kita kenal baik di lingkungan sekitar kita, harus pensiun dini dan alih profesi, bisa jadi Satpam jika ada yang mau menerima, atau jadi Satpol PP jika beruntung. Tapi sulit membayangkan mereka alih profesi ‘naik pangkat’ seperti itu, karena kebanyakan Hansip yang sering kita lihat adalah warga sepuh, tidak berpendidikan tinggi, atau ‘lugu-lugu galak’ seperti yang diperankan Udin Nganga, Hansip Malih, atau Hansip Bokir dalam film-film horor Suzanna. Alamatnya, para Hansip ini akan pensiun dini dan alih profesi yang mungkin jauh dari profesinya semula.

Saya tak ingin memperdebatkan soal aturan itu, karena tidak paham dan bisa jadi salah paham. Saya hanya membayangkan bagaimana sebuah profesi ‘sederhana tapi mulia’ seorang hansip, harus hilang dalam kamus sosial kita. Kisah-kisah Hansip –baik nyata maupun rekaan fiksi—sudah kadung melekat dalam ingatan. Rasanya aneh saja jika gambaran umum kita tentang sosok Hansip –berseragam lengkap, kadang dengan topinya, kadang dengan sepatunya, dengan senjata andalannya –pentungan—dan kadang masih dilengkapi ‘seragam’ tradisional seperti sarung yang melilit di pundak untuk mengusir dingin, tiba-tiba hilang dari ingatan visual kita. Aneh juga jika suatu saat di pos ronda kita, bukan Hansip dan peronda yang sedang asyik main gaple yang kita temukan, tapi seorang berseragam Satpol PP atau Satpam, yang dalam ingatan sosial dan visual jauh lebih kaku.

Soal keamanan, bisa jadi, penyerahan tongkat estafet dinas dari Hansip ke Satpol PP atau Satpam akan memberi jaminan yang lebih –karena persoalan visual, tongkrongannya, yang lebih meyakinkan dari Hansip. Tapi sekali lagi, kedekatan rasa warga dengan Hansip, rasanya masih sulit digantikan begitu saja. Kecuali, jika Satpol PP dan Satpam (atau apapun bentuk pengganti Hansip nantinya) bisa mengambil hati warga laksana yang dilakukan Hansip selama ini...

So, harus jadi apa Udin Nganga nantinya? Mungkin Deddy Mizwar sudah harus memikirkannya sebelum Ramadhan nanti tiba. Yang jelas, saya masih belum ‘ikhlas’ kehilangan sosok yang secara visual melekat dalam ingatan itu...
Jogja, 180914

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun