[caption id="attachment_271071" align="alignnone" width="438" caption="Adnan Januzaj (www.belfasttelagraph.co.uk)"][/caption]
Jang Edwin, anak Pak Kades Cibangkonol, selalu enak kalau diajak ngobrol, karena wawasannya luas. Meski Kabayan tidak terlalu faham soal sepakbola, kali ini ia begitu tertarik dengan kisah yang dibawa Jang Edwin. Kisahnya tentang seorang pesepakbola muda yang memiliki latar belakang keluarga dari beragam negara. Saat namanya mencuat karena sebuah prestasi, semua negara yang memiliki ‘hubungan’ dengannya, merasa memiliki hak untuk ‘memiliki’ si anak.
“Namanya Adnan Januzaj, lahir di Brusel Belgia 5 Februari 1995. Ia adalah anak dari pasangan orangtua campuran Kosovo-Albania…” Jang Edwin buka kisah, “Orangtua Januzaj pindah ke Belgia saat perang berkecamuk di Kosovo, wilayah yang dulu merupakan bagian dari Yugoslavia yang kini sudah pecah menjadi banyak negara antara lain Serbia, Montenegro, Bosnia-Herzegovina, Slovenia, Macedonia, dan Kosovo. Saat tinggal di Belgia, bakat sepakbola Januzaj sudah terlihat, dan pada usia 10 tahun, Januzaj kemudian bergabung dengan tim sepakbola besar di Belgia, Anderlecht..” lanjut Jang Edwin.
“Tahun 2011, ketika Sir Alex Ferguson masih memegang kendali di Manchester United, ia merekrut Januzaj dengan menebus sekita 300 ribu pound dari Anderlech. Di MU, ia diberi nomor punggung pertamanya, 44. Sampai akhir kepemimpinan Sir Alex, prestasi terbesarnya hanya menjadi cadangan yang tidak diturunkan saat melawat ke markas West Bromwich Albion. Namanya baru masuk tim utama MU di musim 2013-14 ini. Laga kompetitif pertamanya saat ia diturunkan menggantikan Robin van Persie di Community Shield yang berakhir dengan kemenangan 2-0 melawan Wigan. Di liga sendiri ia baru turun dua bulan kemudian saat MU menang 2-0 melawan Crustal Palace, menggantikan Ashley Young menit 68. Nah, nama Janujaz mulai mencuri perhatian –sekaligus mulai mendatangkan masalah—ketika ia tampil sejak menit awal saat MU melawan Sunderland, 5 Oktober minggu lalu. Saat MU yang memang sedang bermasalah sejak David Moyes menggantikan Sir Alex tampaknya akan kembali mendapatkan masalah dari tuan rumah Sunderland, Januzaj menjadi pahlawan. Ia memasukkan dua gol berturut-turut saat MU tertinggal satu gol terlebih dahulu….” lanjut kisah Jang Edwin.
“Di sinilah masalah itu muncul. Januzaj yang belum pernah membela timnas manapun mulai menjadi rebutan. Yang pertama kali mengklaim Januzaj adalah Marc Wilmots, pelatih Belgia. Bagi Wilmots, Januzaj harus membela tanah kelahirannya, apalagi ia tinggal di Belgia hingga usia 16 tahun…” lanjut Jang Edwin. “Tapi klaim atas Januzaj juga datang dari Timnas Albania, negara asal ayahnya. Kosovo juga mengklaim berhak atas servis Januzaj yang ibunya berasal dari sana. Nah, Turki juga merasa ‘berhak’ atas Januzaj karena kakeknya berasal dan masih tinggal di sana…” lanjut Jang Edwin. “Nah, belakangan, Inggris yang menjadi tempat tinggal Januzaj sekarang juga berminat memboyongnya, seperti yang disampaikan pelatih Inggris Roy Hodgson…”
Kabayan yang mendengar kisah itu garuk-garuk kepala, “Waduh, terus dia harus milih mana? Atau negara mana yang lebih berhak dibela si Adnan itu?” tanyanya. Jang Edwin tersenyum, “Turki lemah, karena si Adnan ini hampir tak punya hubungan kuat, hanya karena kakeknya berasal dari sana. Kosovo juga lemah, ibunya dari sana, dan yang jadi persoalan adalah kemerdekaan Kosovo belum diakui PBB, dan Timnas Kosovo juga belum jadi anggota UEFA dan FIFA. Albania lumayan kuat karena menganut kewarganegaraan ius sanguninus yang mengakui Januzaj karena orangtuanya berasal dari sana. Maklum, Albania dulunya kan wilayah kekuasaan Otoman seperti Turki yang merupakan negara leluhur Januzaj. Tapi, Belgia yang juga mengakui ius soli alias tempat kelahiran merasa jauh lebih kuat, apalagi Januzaj lahir dan besar di sana, bahkan pernah bergabung dengan klub sepakbola di sana…” jawab Jang Edwin.
“Lah terus kenapa Inggris ikut-ikutan?” tanya Kabayan. “Berdasar aturan, Inggris memang tidak atau belum kuat. Aturan FIFA menyebut, seseorang berhak membela sebuah negara ‘lain’ jika ia sudah tinggal sekurangnya 5 tahun setelah melewati usia 18 tahun. Nah, menurut aturan ini, si Adnan baru boleh membela Inggris saat usianya 23 tahun nanti. Undang-undang di Inggris Raya juga menyebut, seseorang bisa mendapatkan hak kewarganegaraan di Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia, dan Wales jika ia menempuh pendidikan selama 5 tahun sebelum usia 18 tahun, padahal si Adnan ini baru pindah ke Inggris di usia 16 tahun…” jelas Jang Edwin.
“Jadi Inggris lemah atuh Jang?” tanya Kabayan. Jang Edwin mengangguk, “Dalam hal ini Belgia memang lebih ‘berhak’ dibela oleh si Adnan. Tapi jika pemerintah Inggris benar-benar membutuhkan jasa si Adnan, mereka bisa saja mengabulkan permintaannya, seandainya si Adnan mengajukan diri, apalagi jika Timnas Inggris member rekomendasi…” jawab Jang Edwin.
“Berarti kan pilihan ada di si Adnan ini, terus anaknya milih mana?” tanya Kabayan lagi. “Ya sejauh ini sih anaknya belum menentukan pilihan, jadi ya secara hukum Belgia masih di atas angin dan Albania juga masih punya kesempatan. Kalau Inggris, ya silakan saja dirayu anaknya biar mengajukan diri…” jawab Jang Edwin.
Kabayan merenung sebentar, “Kalau Indonesia, bisa mengklaim nggak?” tanyanya. Jang Edwin ngakak, “Mengkalim sih nggak bisa Kang, posisi kita mah sama dengan Inggris, harus anaknya yang minta atau kita rayu. Persoalannya kan, emang dia mikir mau jadi warga negara kita?”
Kabayan nyengir, “Iya lah, kalau disuruh milih pasti dia lebih milih Inggris. Tapi bisa juga dia milih Belgia. Di Inggris kan persaingannya berat, sementara di Belgia mungkin dia akan dapat tempat lebih layak..” kata Kabayan. “Sebetulnya Jang, dari contoh si Adnan ini, kita bisa belajar apa sih, hikmahnya apa?” tanya Kabayan lagi.
Jang Edwin merenung sebentar, “Ya kita bisa belajar dalam hal menghargai seseorang yang memiliki bakat dan kemampuan buat mengharumkan bangsa. Banyak contoh atlet kita yang berprestasi diiming-imingi jadi warga negara lain dan mereka memilih itu. Kan nggak salah juga mereka begitu, apalagi kalau perhatian dan penghargaan kita terhadap mereka sangat kurang. Kalau posisi kita kayak Inggris yang memperhatikan kesejahteraan atlet, mana mungkin ada atlet kita yang pindah kewarganeraan hanya gara-gara jaminan masa depan yang nggak jelas di sini…” jawab Jang Edwin.
Kabayan mengangguk-angguk, “Ya bener sih Jang. Kalau saja saya nggak punya rasa nasionalisme kuat, mungkin saya sudah pindah jadi warga negara Inggris…” kata Kabayan sambil menerawang. Jang Edwin mesem, “Memangnya Inggris butuh apa dari Akang?” tanyanya. Kabayan nyengir, “Yaa barangkali mereka perlu pengganti Mister Bin…” jawabnya. Jang Edwin ngakak.
Bahan Bacaan:
http://www.bbc.co.uk/sport/0/football/24441165
http://en.wikipedia.org/wiki/Adnan_Januzaj
http://eudo-citizenship.eu/docs/ius-soli-policy-brief.pdf
Jogja, 8 Oktober 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H