Di sepakbolanya sendiri terjadi anomali, pendukung Fenerbahce --sesama klub Istanbul selain Besiktas, menyindir Erdogan dengan menyebut 'duapuluh tahun kebohongan dan kecurangan.' Bukan langsung kepada Erdogan, tapi pada pendukung dan klub Konyaspor saat keduanya bertanding sehari sebelum laga Besiktas-Antalysapor itu. Sebagai informasi, Konyaspor selama ini dianggap sebagai klub yang pro-pemerintah (Erdogan). Lucunya, Erdogan sendiri selama ini terang-terangan sebagai penggemar Fenerbahce. Bukan saja rajin nonton langsung, bahkan hampir setiap musim, pemain Fenerbahce sering diundang ke istana menemuinya.
Sulit (Mustahil)-nya Menjauhkan Politik dari Sepakbola
Gelaran Piala Dunia Qatar yang baru saja usai, masih menyisakan cerita tentang infiltrasi politik ke dalam sepakbola. FIFA boleh saja mengklaimnya bebas politik, meski kenyataannya ya tak sungguh-sungguh bebas. Apalagi sang tuan rumah sendiri, punya isu terkait politik yang sensitif. Di satu sisi menghalangi masuknya isu LGBTQ yang disebut politis, di sisi lain juga tutup mata ketika isu Palestina muncul di pinggir lapangan.
Di Inggris pun demikian, mengaku sepakbolanya apolitik, tapi terang-terangan memberi ruang pada kampanye gerakan LGBTQ (dengan bahasa 'kesetaraan' atau 'sepakbola untuk semua') dan juga isu-isu terkait rasisme (seolah anti rasisme, tapi letoy ketika aksi rasisme muncul). Bahkan Roman Abramovich mantan pemilik Chelsea pun ditendang karena alasan apalagi kalau bukan karena politik.Â
Di negeri kita? Apa iya kita masih bisa mengatakan sepakbola kita bebas politik ketika dua menteri aktif menjadi pucuk pimpinan organisasinya? Apalagi salah satunya menteri olahraga.
Baiklah, saya tak mau debat soal itu. Bisa panjaaaang, dan leeebaaar.... Tak ada habisnya. Realitanya, takkan mudah --kalau tak bisa disebut mustahil---menjauhkan sepakbola dari politik, karena bagaimanapun, sepakbola terlalu seksi untuk tidak dilirik kepentingan politik alias dipolitisasi. Entah itu politisasi yang bener-bener urusan politik (tunggu sebentar lagi, akan banyak politisi yang menyapa para penggemar sepakbola di negeri ini), atau juga politik kepentingan lainnya, termasuk yang paling jelas tentu saja politik ekonomi dan ekonomi politik.
Balik lagi ke Turki, ketika hajatan-hajatan lain masih dibatasi atau dilarang, sementara pertandingan sepakbola diizinkan, tak ayal lagi, sepakbola langsung menjadi panggung menyuarakan aspirasi politik. Entah itu yang terang-terangan seperti yang dilakukan pendukung Fenerbahce, atau yang simbolis seperti yang dilakukan Besiktas. Atau jangan-jangan mundurnya Gazianstep dan Hatayspor juga bentuk protes politik karena merasa tidak diperhatikan?
Wallahualam.... Â Kita pun tak tahu akan berakhir seperti apa nantinya, apakah Erdogan akan mundur atau tidak lagi terpilih di pemilu mendatang. Kalaupun itu terjadi, bisa jadi bukan karena aksi para pendukung sepakbola itu secara langsung, hanya saja suara itu tersalurkan atau digemakan dari pinggir lapangan sepakbola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H